Wednesday, September 25, 2013

Bakar Tongkang, Tradisi Tua dari Bagan Siapi-api



 Malam itu asap dupa dengan wewangiannya yang khas merebak penuh mistis di sekitar anjungan Provinsi Riau Taman Mini Indonesia Indah (TMII), asap itu bersumber dari ribuan suku tionghoa yang sebagian besar adalah masyarakat Bagan Siapi-api yang ada di Jakarta dan sekitarnya yang sedang melakukan sebuah ritual turun temurun bernama Bakar Tongkang. Acara ini digelar oleh masyarakat tionghoa dari Kabupaten Rokan Ilir.

Bakar Tongkang adalah sebuah tradisi suku tionghoa yang sempat dilarang di masa kekuasaan Orde Baru, namun tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh masyarakat tionghoa di Bagan Siapi-api pada saat itu. Ritual yang berakar dari tradisi bahari para leluhur orang tionghoa di Bagan ini, telah dilakukan sejak 128 tahun yang lalu dan tetap dilestarikan hingga kini. Masyarakat Bagan percaya bahwa ritual ini akan membuat laut senantiasa memberikan berkahnya bagi masyarakat Bagan yang menggantungkan diri pada hasil laut.

Tongkang yang dimaksud adalah sebuah perahu yang dibuat dengan ukuran sesuai petunjuk dewa, sedang desainnya konon merupakan bentuk tongkang yang digunakan warga tionghoa awal yang berlayar dari Desa Songkla-Thailand dan mendarat di Bagan pada tahun 1826. Ritual di TMII ini sebenarnya sekaligus merupakan agenda wisata pemerintah Riau, untuk lebih memperkenalkan tradisi Bakar Tongkang yang memang telah ditempatkan menjadi salah satu agenda wisata andalan provinsi ini. Warga Tionghoa dan pemerintah Riau mempunyai ambisi membawa tradisi Bakar Tongkang go internasional. Sebuah ambisi yang cukup beralasan, sebab selama ini di Bagan sendiri, tradisi ini telah menyedot perhatian wisatawan domestik maupun manca negara.

Pada perayaan terakhir, wisatawan dari Cina, Hongkong, Singapura dan Australia pun datang ke Bagan untuk menyaksikan secara langsung tradisi unik ini. Untuk perayaan di TMII, menurut Jhoni, salah seorang panitia penyelenggara, ukuran yang digunakan adalah 8 x 3.2 m dan untuk melengkapi upacara ini dilibatkan 12 orang yang trans atau kemasukan dewa-dewa tertentu. Kedua belas orang yang disebut Luk Thong inilah yang mengawal selama perjalanan arak-arakan tongkang. Penyelenggara,

Prosesi
Upacara Bakar Tongkang di TMII diawali dengan proses mengundang para dewa agar memasuki raga para Luk Thong. Orang-orang terpilih ini, melakukan sejumlah ritual dengan diiringi tetabuhan yang berbunyi sangat nyaring. Suasana menjadi sedemikian mistis, diantara asap dupa yang semakin pekat dan tetabuhan yang riuh rendah, sorak sorai umat membahana pada saat satu persatu Luk Thong mengalami trans yang ditandai gerakan kepala yang menggeleng-geleng dengan sangat cepat, dan mulai memukul-mukulkan sejenis bola besi yang tajam ke tubuhnya.

Suasana makin meriah tat kala, salah satu Luk Thong membuat Hu yang kemudian menjadi rebutan umat. Para Luk Thong yang pipinya ditusuk dengan paku ini, kemudian satu persatu digiring oleh serombongan penabuh dan pengiringnya untuk memberkati altar-altar yang ada. Umat yang berada di sekitar altar dengan penuh kesungguhan tampak mengacung-acungkan dupa dan mengucapkan permohonan, sementara para Luk Thong tampak seolah-olah sedang berkomunikasi dengan dewa di altar-altar tersebut. Setiap Luk Thong mewakili karakteristik dewa tertentu, ada yang membawa pedang dan juga gada berduri.

Setelah semua Luk Thong melakukan ritual di setiap altar, kemudian mereka diarahkan menuju Tongkang dan semuanya melakukan ritual di depan tongkang. Umat mulai berbaris di sepanjang jalan, dengan dupa di tangan bersiap-siap mengikuti arak-arakan menuju panggung utama dimana Tongkang akan di bakar di depan tamu undangan yang terdiri dari pemerintah Riau dan beberapa duta besar serta masyarakat umum. Dari Anjungan Riau, tongkang yang diangkat puluhan orang mulai diarak, pada posisi terdepan adalah beberapa replika dewa dari kertas yang rata-rata menunggang kuda, kemudian barulah tongkang dan dibelakangnya dengan dupa ditangan ribuan umat dengan khusyuk mengikuti, sementara di kanan kiri tampak masyarakat umum turut menyaksikan.

Lampion-lampion yang di pasang sepanjang jalan menuju panggung utama menambah semarak suasana. Setelah tiba di panggung utama, acara dilanjutkan dengan mendengarkan sambutan dari pemerintah Riau yang diwakili kepala dinas pariwisata Propinsi Riau karena Gubernur Riau tidak dapat hadir. Sementara diantara undangan, tampak hadir Bupati Rokan Ilir,  anggota DPD Riau, duta besar perancis dan RRC.

Sorak sorai umat yang mengiringi prosesi persiapan pembakaran Tongkang menenggelamkan pengeras suara, sehingga seolah tak menghiraukan acara sambutan. Setelah sambutan selesai segera panitia, tokoh Tionghoa Bagan Siapi-api dan Bupati Rokan Ilir didaulat menuju panggung untuk menekan tombol kembang api yang memancar seperti air mancur di kanan kiri tongkang. Selanjutnya mereka juga melakukan penyulutan api untuk membakar tongkang. Segera saja api melalap tongkang yang terbuat dari kertas dari triplek beserta ornamennya yang khas tersebut. Masyarakat yang memegang dupa tampak semakin khusyuk memanjatkan permohonannya selama tongkang terbakar.

Uniknya, arah jatuh tiang tongkang adalah hal yang paling di nanti-nantikan, sehingga begitu tiang tongkang jatuh seluruh umat bersorak gembira. Menurut beberapa tokoh yang ditemui di lokasi, arah jatuh tersebut menandakan dimana rejeki akan melimpah, jika jatuhnya ke arah laut berarti usaha yang berkaitan dengan lautan rejekinya akan melimpah dan sebaliknya apabila ke arah darat, maka usaha-usaha di darat lah yang akan memberi rejeki berlimpah.    

Asal Mula Tradisi Bakar Tongkang

Dari penuturan beberapa orang panitia Bakar Tongkang di TMII ini, ritual masyarakat tionghoa Bagan ini sudah dimulai ketika 18 orang warga Tionghoa bermarga Ang, mendarat pertama kali di tanah Bagan pada 1826 Masehi. Pelayaran 18 orang yang berasal dari Cina namun sempat mendarat di Thailand sebelum akhirnya menyeberang ke Bagan ini, menggunakan tiga kapal kayu yang disebut wang kang atau tongkang. Satu diantara mereka adalah seorang perempuan. Leluhur masyarakat Tionghoa Bagan ini berasal dari Cina yang sempat bermigrasi ke Desa Songkla di Thailand pada 1825 Masehi. Mereka adalah, Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui.
Di Thailand mereka tidak menetap terlalu lama karena kondisi disana tidak aman. Akhirnya, para imigran ini kembali berlayar dengan menggunakan tiga kapal mencari daerah yang lebih aman. Hanya satu dari ketiga tongkang tersebut yang selamat pada saat mendarat di Bagan. Satu tongkang yang selamat ini dipercaya membawa patung Dewa Tai Sun di haluan dan Dewa Ki Ong Ya di rumah kapal. Merekalah yang menjadi penduduk awal di Bagan dan menggantungkan hidup sebagai nelayan, dan setelah berkembang mereka membangun bang liu atau gudang penampungan ikan.
Beberapa waktu setelah menetap dimulailah tradisi Bakar Tongkang, yang menurut Bapak Santosa salah seorang panitia, diadakan untuk mengucap syukur dan memohon rejeki serta kebulatan tekad untuk tetap bertahan di daerah perantauan. Sehingga mereka membakar semua benda-benda yang dibawa pada saat pertama kali mendarat, termasuk tongkang yang ditumpangi. Dari sinilah kemudian berkembang tradisi Bakar Tongkang yang masih dilakukan oleh keturunan mereka pada saat ini.
Meski sempat bernasib sama sebagaimana tradisi tionghoa lainnya pada masa orde baru, ritual bakar tongkang ini sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid dilakukan secara teratur dan terbuka setiap tahun. Bagan Siapi-api, sebuah kota yang sangat lekat dengan Bandar ikan ini pada masa keemasannya pernah menjadi penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Namun, akibat salah urus, maraknya penggunaan pukat harimau dan tidak pro aktifnya pemerintah pada masa lalu membangun Bagan Siapi-api secara berkesinambungan,
Bagan saat ini tidak lagi diperhitungkan sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia. Entah bagaimana perasaan 18 orang perintis tersebut melihat kondisi ini, yang pasti tradisi bakar tongkang sekarang telah menjadi salah satu agenda wisata andalan Pemprov Riau maupun Kabupaten Rokan Ilir, layaknya berbagai peninggalan nenek moyang dari masa lalu, seperti juga candi-candi dan benda peninggalan sejarah lainnya, tradisi tua ini memang dapat dimanfaatkan untuk menambah pundi-pundi daerah.
Namun satu hal yang harus benar-benar diperhatikan adalah bagaimana berlaku seimbang dan mengelola secara cerdas, sehingga ada keseimbangan antara usaha melestarikan dan pemanfaatannya sebagai obyek wisata. Selain hal tersebut, satu pertanyaan yang perlu dijawab oleh suku Tionghoa di Bagan adalah apakah sudah ada transformasi nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini dari kaum yang lebih tua kepada kaum muda Tionghoa disana? Sebab tanpa hal tersebut, sebuah tradisi hanya akan menjadi ritual tanpa makna yang membingungkan dan akhirnya ditinggalkan oleh generasi yang lebih muda.
Semoga ritual Bakar Tongkang ini tidak bernasib demikian, tidak menjadi tradisi yang kering, tapi menjadi tradisi yang sarat nilai, yang dapat dipahami dan dihayati tidak hanya bagi suku Tionghoa tapi juga anak bangsa lainnya. Nilai-nilai yang dapat dipelajari dari leluhur yang memulai tradisi ini antara lain, keberanian, keuletan berusaha, memiliki rasa syukur terhadap apa yang diberikan alam dan menghargai kepercayaan leluhur. Sesuatu yang mungkin tidak lagi dimiliki oleh kaum muda tionghoa saat ini, yang telah hanyut dan tersesat di dunia materialisme.
Alih-alih menghargai tradisi leluhur, saat ini kaum muda tionghoa telah banyak yang tercerabut dari akar budayanya sendiri, entah karena kepungan dunia materi maupun ideologi keagamaan yang tidak ramah terhadap budaya. Sehingga dapat kita saksikan saat ini, kaum muda yang hedon dan merasa modern padahal sejatinya bersandar penuh kegamangan pada tradisi yang sebenarnya asing bagi dirinya. Segelintir kaum muda yang masih berusaha mengenali dan memahami tradisi leluhurnya, semoga memiliki kekuatan dan kebulatan tekad sebagaimana nenek moyangnya dahulu untuk tidak hanyut dan ditaklukkan oleh mainstream. Sehingga tradisi akan memberikan manfaat yang jauh lebih berharga daripada sekedar materi. 

Eddy Setiawan, Maret 2006


No comments:

Post a Comment