Friday, August 30, 2013

Dari Jejak Purbakala hingga Tim Penyelamat; Usaha Menuntaskan Masalah Kewarganegaraan di Indonesia

Pendataan di kampung-kampung DKI Jakarta, 2008
UU No. 12 tahun 2006 telah menjadi suatu tonggak penting dalam kewarganegaraan RI. Berbagai kasus dan peraturan yang telah menyebabkan kaburnya identitas kewarganegaraan seseorang atau sekelompok orang seharusnya segera dapat diselesaikan setelah terbitnya UU tersebut diatas. 

Namun, pemahamam aparat birokrasi di tingkat menengah ke bawah ternyata masih dipenuhi dengan pemahaman dan prasangka mengenai kewarganegaraan yang tidak sejalan dengan UU kewarganegaraan yang baru. Bahkan kecenderungan mendiskriminasi etnis tertentu masih terus dipelihara, dengan motif mendapatkan keuntungan materi dari korban yang dipersulit. Oleh karena itulah, kemudian muncul kegiatan pendataan terhadap para pemukim keturunan India, Arab, Tionghoa, dan lain-lain yang status kewarganegaraannya tidak jelas (stateless) untuk ditegaskan oleh Menteri Hukum dan HAM bahwa mereka adalah WNI sehingga selanjutnya harus diperlakukan secara setara di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana amanat konstitusi.
                                                                              

Kegiatan pendataan, apabila dibicarakan dalam tataran wacana dan konsep seolah menjadi suatu kegiatan yang sangat mudah, padahal di lapangan tidak demikian adanya. Kesulitan muncul justru karena target pendataan adalah orang-orang yang tidak memiliki dokumen sama sekali, sehingga keberadaan mereka juga menjadi misteri tersendiri di tengah-tengah lautan manusia yang memiliki dokumen. Kendala kedua adalah, karena merasa tidak “resmi” para pemukim tanpa dokumen ini cenderung menghindar dan tertutup mengenai hal tersebut kepada orang baru, apalagi terhadap pegawai pemerintah. Kendala ketiga adalah, pada umumnya mereka tinggal di tempat-tempat yang terisolir, berpendidikan rendah, dan tingkat ekonominya lemah sehingga akses informasi pun sangat terbatas sehingga usaha sosialisasi standar tidak dapat menjangkau mereka. Jadi, mencari para pemukim tidak berdokumen sama sekali ini, bagai menjadi seorang arkeolog mencari jejak manusia purba.



Penemuan jejak-jejak purba di bidang arkeologi sebagian besar berasal dari temuan yang tidak terduga yang ditindaklanjuti oleh para arkeolog, dan pada satu lokasi temuan maka pencarian diperluas dari lokasi temuan pertama. Pada kegiatan pendataan, lokasi pencarian memang bisa dilokalisir pada kantung-kantung Tionghoa di suatu daerah, tapi itupun masih tidak membantu karena berbeda dengan jejak-jejak purba yang tidak bergerak, obyek pada pendataan adalah manusia yang lebih banyak merasa bahwa masalah kepemilikan dokumen-dokumen tersebut adalah masalah privat yang sensitif. Diperlukan metode yang tepat untuk dapat membuka tabir ketakutan panjang yang terjadi akibat diskriminasi parah yang dialami lebih dari tiga dasawarsa.



Sebenarnya langkah untuk menyelesaikan masalah ini telah dilakukan dua kali, yakni pada yakni di era 80-an dan 90-an dengan metode “pemutihannya.” Hanya saja pada kedua kesempatan tersebut, sikap pemerintahan orba yang koruptif, kolutif dan nepotis tetap melanggengkan diskriminasi untuk menangguk keuntungan bagi kelompok penguasa saat itu, sehingga masalah kewarganegaraan belum terselesaikan sepenuhnya. Meski demikian tetap kedua kesempatan tersebut merupakan gelombang penyelesaian masalah pemukim tidak berdokumen, meski kalau dipandang dari kaca mata hari ini metodenya terlihat kurang tepat. Dengan adanya dua gelombang penyelesaian masalah kewarganegaraan di atas, apa yang dilakukan hari ini adalah menyusuri sisa-sisa dari pemukim tionghoa tanpa dokumen yang tidak terselesaikan dalam dua kali gelombang penyelesaian sebelumnya.



Hidup tanpa dokumen sama sekali di jaman modern ini, adalah bagaikan kutukan yang sangat mengerikan bagi para pemukim. Anak-anak tak bisa sekolah tanpa akta kelahiran, status perkawinan tidak pernah jelas karena tidak bisa mengurus perkawinan tanpa KTP, mengurus KTP diminta membuktikan kewarganegaraan, malah terkadang mereka diberikan surat-surat seolah-olah mereka adalah WNA. Tanpa dokumen berarti tertutupnya lapangan pekerjaan yang layak, tanpa dokumen berarti masa depan yang suram dan penuh penderitaan.



Dari kondisi ini, tentu kita tidak bisa kemudian hanya berbicara seolah-olah mereka adalah angka-angka statistik yang dapat dibaca tanpa perasaan. Mereka adalah saudara kita yang hidup, berhasil menemukan 1 orang pemukim tanpa dokumen berarti kesempatan memberikan masa depan yang lebih baik kepada 1 orang manusia. Manusia yang telah turun temurun merasakan derita akibat ketidakjelasan status kewarganegaraan yang berujung pada ketiadaan dokumen sama sekali.



Jadi dalam kegiatan pendataan, jumlah besar tentu akan menggembirakan namun seberapa besar sisa-sisa pemukim tidak berdokumen di Indonesia? Tidak satu mahluk pun dapat memastikannya. Karena itu, jumlah sebenarnya bukanlah ukuran dalam kegiatan semacam ini. Bisa jadi di suatu kota korban yang masih tersisa ada 5 orang, bagaimana mungkin dipaksakan menjadi 5.000 orang demi memenuhi selera kita sebagai aktivis yang ingin membantu? Maka timbul pertanyaan, pendataan ini sebenarnya untuk kepentingan siapa? Memuaskan para pegiat, pejabat dan para funding dengan angka-angka yang besar atau menyelamatkan orang per orang demi para korban itu sendiri?



Para pegiat sosial dan pekerja kemanusiaan acap terjebak oleh angka-angka besar yang tentu memukau sebagai sebuah hasil kerja, tapi jangan lupa bahwa yang sedang dibicarakan disini adalah manusia, bukan sekedar angka. Analogi yang tepat mungkin adalah usaha tim penyelamat pada saat gempa di Sechuan terhadap para korban yang terjebak di reruntuhan gedung-gedung besar. Tim penyelamat, dengan bantuan anjing pelacak, berbagai alat berat yang harganya mahal serta biaya operasional yang besar dan segala cara tetap berusaha melakukan penyelamatan meski awalnya mereka tentu tidak tahu berapa orang yang masih hidup di antara reruntuhan tersebut? Alat berat dan tenaga manusia harus tetap dikerahkan, meski ternyata hanya ada 1 orang yang selamat.



1 orang menjadi penting karena yang diselamatkan adalah sebuah kehidupan, kehidupan seorang manusia yang sedemikian berharganya. Jadi dalam aktivitas pendataan, menemukan “hanya” 1 orang adalah sebuah hasil perjuangan yang harus dihargai dengan layak, karena yang dibicarakan adalah nasib seorang manusia, bukan sekedar angka tak bernyawa dan tak berperasaan. Bagaikan artefak purbakala yang penting untuk ilmu pengetahuan, demikianlah ia harus digali, dengan super hati-hati, dan ketelitian penuh, tiap inchinya bahkan harus ditiup dengan tekanan angin tertentu, kemudian dengan hati-hati disapu menggunakan kuas, agar tidak rusak oleh gesekan yang keras.

Demikian juga dalam hal pendataan pemukim, kompleksitas sejarah sosial politik yang melatarbelakangi munculnya para pemukim tionghoa yang tidak berdokumen sama sekali ini, membuat para pemukim tersebut bagaikan jejak purbakala yang tertimbun oleh berbagai material sejalan berlalunya sang waktu. Ia menjadi rapuh dan rentan terhadap berbagai alat yang mungkin digunakan untuk menemukannya. Dibutuhkan kerja keras, kesabaran, dan ketelitian ekstra serta seni dalam memaikan “kuas” yang sedemikian lembut untuk mengikis berbagai material keras yang menutupinya, sehingga akhirnya semua dapat ditemukan dalam kondisi seutuh mungkin.



Selain misi memberikan masa depan yang lebih baik dengan kepemilikan dokumen, hal terpenting yang tidak boleh dikesampingkan adalah proses pendidikan terhadap masyarakat untuk membangun kesetaraan dan senantiasa berani menegakkan kebenaran dan keadilan serta perlawanan terhadap diskriminasi selama proses pencarian pemukim berlangsung. Proses pendidikan ini menjadi penting agar masalah serupa tidak akan pernah terjadi lagi di masa depan, dan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam memperbaiki kondisi pemerintahan di tengah-tengah alam demokrasi.



UU No. 12 tahun 2006 membuka kesempatan untuk menuntaskan masalah kewarganegaraan di Indonesia, khususnya bagi para pemukim yang telah turun temurun di Indonesia. Mereka sebenarnya adalah WNI sejak dahulu, hanya saja mengalami kesialan akibat administrasi pemerintahan di masa lalu yang penuh kebingungan. Mudah-mudahan kali ini benar-benar menjadi misi terakhir untuk menuntaskan masalah kewarganegaraan RI, misi untuk menyelamatkan para pemukim tidak berdokumen yang masih tersisa.



Jakarta, Maret 2008.

Thursday, August 29, 2013

Blusukan dan Pengawasan Pelayanan Publik


Pelayanan publik profesional adalah dambaan semua warga
Pelayanan publik yang benar-benar melayani dan profesional merupakan dambaan setiap warga, apalagi warga DKI Jakarta yang telah demikian lama menghadapi birokrasi yang tidak ramah dan penuh setoran. Saking lamanya, sampai-sampai melahirkan sikap permisif terhadap berbagai setoran itu, namun era sudah berubah, pemerintahan Jokowi-Ahok telah bertekad memperbaiki birokrasi sehingga akhirnya nanti benar-benar melayani semua warga tanpa pembedaan.

Tentu kita semua menyambut baik dan memberikan apresiasi tertinggi terhadap langkah-langkah perbaikan nyata yang telah dilakukan gubernur dan wakil gubernur, mulai dari lelang jabatan hingga sidak-sidak ke tingkat kecamatan dan kelurahan yang hasilnya sudah bisa dirasakan masyarakat saat ini dengan membaiknya pelayanan di kelurahan.


Namun apabila ingin terjadi akselerasi reformasi birokrasi di DKI Jakarta, seharusnya tidak hanya gubernur yang melakukan blusukan dan sidak, tetapi juga anggota DPRD dalam rangka menyerap aspirasi warga dan melakukan fungsi pengawasan. DKI Jakarta memiliki 44 Kecamatan dan 256 Kelurahan,  kalau cuma mengandalkan seorang gubernur untuk sidak tentu tidak akan memadai, sementara  per tahun 2014 nanti jumlah DPRD DKI Jakarta adalah sebanyak 106 orang, jika separuhnya saja juga rajin blusukan maka logikanya aparat di tingkat pelaksana akan semakin tertib dan terarah melakukan reformasi.


Pelayanan publik yang baik tentu memenuhi asas kepastian, keterjangkauan, dan tidak diskriminatif, apalagi semenjak reformasi 1998 sudah terbit berbagai produk perundangan mulai UU HAM, UU Kewarganegaraan, UU  Adminduk, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis hingga UU Pelayanan Publik yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan tanpa diskriminasi. Namun perlu kiranya senantiasa kita ingatkan agar petugas pelaksana maupun masyarakat harus mendukung dalam implementasinya. Jangan sampai aturan bagus implementasinya gabus, misal untuk pencatatan perkawinan, jangan sampai masih dibedakan lagi antara Tionghoa dan yang lain tempat pelayanannya, yang satu di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sementara yang lain di Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebagaimana yang selama ini masih dipraktikkan di DKI Jakarta.


Praktik seperti itu bersandar pada Pergub Nomor 35 Tahun 2007 yang memang masih membeda-bedakan pelayanan berdasarkan golongan sebagaimana pembagian penduduk Hindia Belanda di jaman kolonial (staatblad), dimana untuk golongan Eropa dan Tionghoa dilayani di Dinas (Propinsi) sedangkan Pribumi di Suku Dinas (Kabupaten/Kota). Namun Pergub yang diskriminatif tersebut sudah diubah dengan Pergub Nomor 93 Tahun 2012, sehingga tidak boleh ada lagi perbedaan tempat pelayanan seperti itu. Implementasinya tentu membutuhkan pengawasan dan ketegasan sikap masyarakat, kita semua harus berani berkat tidak pada sikap dan perlakuan diskriminatif.  


Perubahan ke arah yang positif sedang berlangsung di DKI Jakarta, namun sangat tidak adil jika kita bebankan seluruh tanggung jawab perubahan itu ke satu atau dua orang saja, kita semua harus berpartisipasi jika merasa perubahan itu perlu dan penting. Petugas pelayanan publik harus berubah sesuai semangat jaman, demikian juga masyarakat. Jangan lagi permisif terhadap pungli, diskriminasi dan ketidakprofesionalan petugas pelayanan publik. Namun Pemprov DKI Jakarta juga perlu memikirkan adanya “insentif” khusus bagi PNS yang bertugas di bidang pelayanan publik sehingga seimbang reward and punishmentnya.


UU Pelayanan Publik juga mengamanatkan,  agar pelayanan publik itu selain profesional  juga terjangkau dalam artian lokasinya dekat dengan masyarakat. Pemprov DKI Jakarta sesungguhnya dapat membentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) misalnya, sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Kependudukan di seluruh kecamatan di DKI Jakarta, sehingga akan mengefisienkan banyak hal termasuk mengurangi kemacetan. Jadi penduduk cukup mengurus akta kelahiran, KTP, KK, Akta Pernikahan dan lain-lain di kelurahan, kelurahanlah yang memproses secara administratif, selanjutnya warga tinggal mengambil hasilnya di kelurahan. Inilah bentuk stelsel aktif negara dalam pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil. Inilah salah satu wujud Jakarta yang modern dan bermartabat yang pasti bisa direalisasikan sepanjang kita semua mau menjadi energi positif bagi Jakarta Baru.