Enam tahun sudah Indonesia
memiliki Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 yang diakui sebagai sebuah dasar hukum yang maju, bahkan ada yang
menyebutnya revolusioner. Adapun hal-hal maju tersebut diantaranya adalah
perumusan konsep warga Negara Indonesia, yang tidak lagi bias ras tapi
berdasarkan status hukum, peka gender karena memberikan hak kepada perempuan
Indonesia untuk mempertahankan kewarganegaraan pada saat menikah dengan orang
asing, dan mewariskan kewarganegaraan ke anak-anaknya serta memberikan hak
berkewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak tersebut.
Rumusan tentang siapa yang
menjadi WNI juga sangat jelas, yakni orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara. Pada
penjelasan, diberikan rumusan mengenai orang-orang bangsa Indonesia asli, yaitu
orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan
tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.
Implikasi dari rumusan tersebut
adalah, seorang WNI asli bukan hanya mereka yang memiliki ciri-ciri fisik
seperti orang Jawa, Papua, Bali, Sasak, Papua, Dayak, tapi juga mereka yang
secara kasat mata tampak seperti seorang Amerika, Arab, Jepang, Tiongkok,
Korea, Afrika, percampurannya, dan lain sebagainya. Apalagi sekarang telah ada
Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, sudah tidak jamannya lagi
petugas-petugas di Imigrasi, Kependudukan dan pelayanan lain, membeda-bedakan
perlakuan atas dasar ras atau penampilan fisik.
Pembedaan perlakuan atau
diskriminasi, pernah dialami Suku Tionghoa karena dianggap tidak jelas
kewarganegaraannya, padahal hampir seluruh orang Tionghoa sudah menjadi WNI berdasarkan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan. Undang-Undang ini
mengatur dengan jelas bahwa setiap orang yang lahir dan tinggal di Indonesia 5
tahun sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah Warga Negara Indonesia. Namun akibat
pemahaman yang tidak utuh terhadap proses terbentuknya NKRI, dan benih-benih
diskriminasi yang telah ditanam Belanda selama masa penjajahannya, akhirnya
sepanjang masa orde baru terjadi diskriminasi, dengan menerapkan kewajiban
memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia disingkat SBKRI.
Dasar yang digunakan adalah interpretasi
yang bias terhadap Peraturan Penutup Pasal IV Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
tentang Kewarganegaraan, yang terbit menggantikan Undang-Undang Kewarganegaraan
sebelumnya yaitu UU No 3 Tahun 1946. Penggantian terjadi sebagai konsekuensi
perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi serikat, dan pembagian soal
kewarganegaraan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Menyesuaikan hasil
KMB maka UUD 1945-NKRI pun diubah dengan UUDS 1950-RIS yang tentu memiliki
dampak terhadap keseluruhan perundang-undangan yang ada.
Pasal IV Peraturan Penutup tersebut menyatakan bahwa Barangsiapa perlu membuktikan bahwa ia warga Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti yang menunjukkan bahwa ia mempunyai kewarganegaraan itu, dapat minta kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya untuk menetapkan apakah ia warganegara Republik Indonesia atau tidak, menurut acara perdata biasa. Ketentuan ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan khusus dalam atau berdasarkan Undang-Undang lain.
Ketentuan ini menyisakan
intepretasi, mengenai siapa saja orang-orang yang membutuhkan bukti
kewarganegaraan dan dalam hal apa bukti tersebut dibutuhkan. Ruang intepretatif
dan subyektif seperti ini tentu akan membuka peluang terjadinya berbagai
pembiasan dalam praktik di lapangan. Sejarah telah mencatat, bahwa suku
Tionghoa lah yang kemudian selalu diminta membuktikan kewarganegaraan Indonesianya
dalam bentuk SBKRI untuk berbagai keperluan.
Militer dan SBKRI
Paska KMB kondisi politik dan
keamanan di Indonesia sangat labil. Sistem parlementer tampaknya hanya
menghasilkan berbagai ketidakstabilan, ditambah militer yang sejak awal 50-an
terus berusaha masuk ke arena politik, dan sangat menentang sistem parlementer
dan UUDS yang tidak mengakomodir militer. Peristiwa 17 Oktober 1952
mengkonfirmasi hal ini, namun militer dibawah Abdul Haris Nasution kala itu,
gagal memaksakan agendanya kepada Sukarno dan akhirnya dinonaktifkan sebagai
KSAD. Nasution kemudian mendirikan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia yang berhasil mendudukkan dirinya menjadi anggota Konstituante, namun
pada tahun 1955 Nasution kembali diangkat menjadi KSAD.
Pada medio tahun 50-an tersebut, partai-partai politik mengalami krisis kepercayaan akibat hiruk pikuk sistem parlementer, sehingga kekuatan di luar parlemen, yakni militer dan lembaga kepresidenanlah yang mendapat momentum. Apalagi kemudian terjadi peningkatan gangguan keamanan karena sejak Desember 1956 hingga Januari 1957 komandan regional militer di Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan serta Maret 1957 di Sulawesi Utara mengambil alih kendali pemerintah daerah, membentuk dewan militer dan menolak perintah Jakarta. Situasi ini kemudian mendorong Presiden Sukarno menyatakan keadaan darurat pada tanggal 14 Maret 1957, maka militer khususnya Angkatan Darat semakin jauh melangkah ke arena politik dan juga ekonomi.
Nasution kemudian mengembangkan doktrin Jalan Tengah yang nantinya berkembang menjadi konsep dwifungsi ABRI, yang melegitimasi keterlibatan militer di bidang politik dan lain-lain dengan status “golongan fungsional”. Doktrin-doktrin ini terus dikembangkan, sehingga nantinya setelah keadaan darurat berakhir pun, militer tetap mendapatkan akses penuh atas wilayah politik dan ekonomi. Keadaan bahaya telah menjadi pintu masuk militer ke politik, sedangkan untuk wilayah ekonomi, militer menggunakan momentum nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan pada akhir tahun 1957, termasuk properti sekitar 40 ribu orang Belanda yang diusir dari Indonesia. Semangat nasionalisasi terhadap berbagai hal yang berbau asing terus berlanjut. Melalui Instruksi Penguasa Militer kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan mulai dilakukan pembatasan terhadap ruang gerak sekolah swasta dengan pengantar bahasa asing.
Pada saat negara dinyatakan dalam
keadaan bahaya dan dipimpin penguasa militer inilah Undang-Undang Nomor 62
Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan disahkan dengan landasan UUDS 1950 sebagai
konsekuensi dari hasil KMB.
Undang-Undang ini seharusnya hanya berlaku selama satu tahun, karena
pada 5 Juli 1959, Presiden, Sukarno menyatakan kembali ke UUD 1945, bentuk
negara kesatuan, dibubarkannya sistem parlementer dan diberlakukan sistem
demokrasi terpimpin, melalui Dekrit Presiden. Dengan kembali ke UUD 1945,
bukankah berarti Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang masih berlandaskan UUDS
1950 tersebut harus diganti? Sayangnya, karena kondisi politik yang tidak
kondusif hingga berpuncak di tahun 1965, UU Kewarganegaraan yang masih mengacu
ke UUDS 1950 itu tetap dipertahankan, dan baru disesuaikan setelah reformasi.
Tragedi 1965 merupakan akhir dari
masa Orde Lama dan awal dari Orde Baru, awal masa kejayaan bagi dwifungsi ABRI
karena seluruh posisi strategis pemerintah, dikuasai orang-orang berlatar
militer. Jadi meskipun Sukarno telah mencabut keadaan bahaya pada Mei 1963,
tapi dominasi militer terus berlanjut, apalagi dengan digantikannya Sukarno
oleh Suharto yang berlatar militer. Kebijakan pada masa Penguasa Militer tampak
berlanjut, yang pada intinya berupaya melumpuhkan pilar-pilar kekuatan
masyarakat Tionghoa di Indonesia yaitu sekolah, organisasi, media massa, bahasa
dan budaya karena militer berpandangan orang Tionghoa adalah orang asing
sehingga merupakan ancaman.
Prasangka militer yang berlebihan
terhadap masyarakat Tionghoa, telah mengantarkan pada sebuah pelembagaan
diskriminasi melalui terbitnya tak kurang dari 50 peraturan dan dibentuknya
lembaga yang khusus mengawasi masyarakat Tionghoa yaitu Badan Koordinasi
Masalah Cina (BKMC) yang berada di bawah Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN).
Berbagai strategi untuk meng-Indonesia-kan “orang asing” ini dilakukan,
diantaranya dengan asimilasi, penggantian nama, larangan bahasa dan budaya
hingga kewajiban memiliki SBKRI. Dalam prosesnya, orang-orang Indonesia ini
“diasingkan” terlebih dahulu baru kemudian diproses untuk memperoleh SBKRI,
karena sesungguhnya SBKRI adalah hasil dari naturalisasi atau pewarganegaraan
yakni proses bagi seorang WNA yang mendaftar menjadi WNI. Pada kasus
orang-orang Tionghoa ini, mereka tidak memiliki persyaratan sebagai WNA seperti
paspor asing, visa, KITAS dan lain-lain, karena memang sesungguhnya mereka
sudah hidup beberapa generasi sejak masa Hindia Belanda.
Pada masa Orde Baru berbagai
urusan administrasi mensyaratkan SBKRI, padahal untuk mendapatkan SBKRI
bukanlah perkara mudah karena harus berhadapan dengan sekitar 10 instansi
pemerintah dengan punglinya masing-masing, prosedur yang panjang dan rumit,
sehingga biaya untuk menyelesaikan 1 SBKRI bisa menghabiskan jutaan rupiah. Hal
ini tentu menimbulkan banyak keluhan dari masyarakat Tionghoa, dan telah
direspon pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996
tentang SBKRI yang mencabut ketentuan tentang penggunaan SBKRI sebagai
persyaratan. Kepres ini menyatakan Bagi
Warga Negara Republik Indonesia yang telah memiliki KTP, atau KK, atau Akta
Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut,
cukup menggunakan KTP, atau KK, atau Akta Kelahiran tersebut. Namun
pelaksanaan di lapangan tidak berubah, terutama karena sumber terbitnya SBKRI
masih berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.
Era Baru Kewarganegaraan
Masa-masa suram itu kini sudah
berlalu bersamaan dengan timbulnya era reformasi 1998, era keterbukaan.
Berbagai peraturan dan ketentuan pun ditelaah kembali, diantaranya yang
bersifat diskriminatif seperti Undang-Undang Kewarganegaraan di atas misalnya. Dimulai
dari lahirnya UU Hak Asasi Manusia yang menjadi pembuka jalan bagi berbagai
peraturan perundang-undangan lainnya yang menyangkut hak-hak sipil, politik,
ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
Presiden Abdurrahman Wahid dengan
tegas dan berani kemudian mencabut berbagai peraturan warisan kolonial yang
dipakai orde baru untuk tetap memposisikan suku Tionghoa sebagai komunitas buffer atau komunitas antara meminjam
istilah Mona Lohanda, yang selalu terjepit diantara penguasa dan rakyat, yang
dengan mudah dikambinghitamkan pada kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan
bagi penguasa. Strategi ini terbukti ampuh bagi Belanda maupun Orde Baru yang
memiliki 3 pilar utama yaitu ABRI, Birokrasi dan Golkar untuk melanggengkan
kekuasaanya.
UU Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun
1958 yang masih mengandung berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif,
sesungguhnya telah beberapa kali diusulkan untuk diamandemen sejak reformasi
namun baru tahun 2006 lah berhasil disahkan UU Kewarganegaraan yang baru yakni
UU Nomor 12 Tahun 2006, yang dinilai banyak pihak sudah jauh lebih maju dan
adaptif terhadap perkembangan jaman serta peka gender. Dalam penjelasan
Undang-Undang Kewarganegaraan secara tegas menyatakan bahwa secara filosofi
Undang-Undang Kewarganegaraan sebelumnya masih mengandung ketentuan-ketentuan
yang belum sejalan dengan Pancasila, antara lain karena bersifat diskriminatif,
kurang menjamin HAM, kesetaraan gender dan perlindungan anak.
Oleh karena itu UU
Kewarganegaraan saat ini memberikan paradigma baru tentang definisi Warga
Negara Indonesia, yang tidak lagi berdasarkan pada suku atau ras akan tetapi
berdasarkan pada status hukum. Sepanjang seseorang memiliki akta kelahiran atau
KTP atau KK yang diterbitkan instansi berwenang yang menyatakan dirinya adalah
Warga Negara Indonesia, maka seluruh syarat dan prosedur dalam mengurus
berbagai keperluan administrasinya haruslah sama dan setara dengan warga
lainnya. Tidak boleh lagi ada pembedaan syarat dan prosedur karena perbedaan ciri-ciri
fisik, karena setiap Warga Negara Indonesia bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan sebagaiman diamanatkan UUD 1945. Bahkan UU Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis mengatur ketentuan sanksi bagi siapapun yang masih
melakukan diskriminasi, baik berupa denda hingga penjara.
Jika kita kaitkan dengan kasus di
lapangan, saat ini terkadang masih ada petugas pelayanan publik yang masih
mempersoalan kepala judul (heading) pada
akta kelahiran, orang-orang yang lahir sebelum terbitnya UU Adminduk pada tahun
2006 yang masih dibedakan antara Golongan Eropa, Golongan Tionghoa dan Golongan
Pribumi Kristen dan Non Kristen, ataupun dengan menggunakan kode Staatbladnya
yakni 1809, 1917, 1933 dan 1920. Akta kelahiraan Indonesia saat ini memiliki
kepala judul Warga Negara Indonesia, tanpa tambahan golongan/staatblad kecuali
masih menggunakan stok lama yang masih terdapat kode “Stbld…..” di bawah
heading Warga Negara Indonesia.
Akta kelahiran sebelum tahun 2006
masih mengacu pada ketentuan pembagian penduduk berdasarkan golongan di Hindia Belanda
yang sesungguhnya merupakan wujud politik pecah belah Belanda di bidang
kependudukan, yang telah dihapus melalui UU Administrasi Kependudukan Nomor 23
Tahun 2006. Pada banyak kasus, petugas pelayanan publik kerap mempersulit
masyarakat yang memiliki akta kelahiran dengan kondisi tersebut dengan alasan
kewarganegaraannya belum jelas. Menurut aturan yang ada, seorang petugas yang
meragukan kewarganegaraan seorang warga harus membuat surat tentang hal itu,
sehingga yang bersangkutan dapat memprosesnya ke pengadilan negeri melalui acara perdata biasa untuk menegaskan
status kewarganegaraanya. Praktiknya, petugas tidak pernah mengeluarkan surat
tentang keragu-raguannya itu, melainkan hanya penyampaian secara lisan sehingga
masyarakat hanya menemui jalan buntu.
Cara pandang petugas terhadap heading Akta Kelahiran tersebut perlu
diluruskan, karena penggolongan di masa Hindia Belanda dulu tidak ada kaitannya
dengan kewarganegaraan. Seluruh golongan tersebut statusnya sama yakni kawula Belanda
atau dalam konteks penjajahan Inggris disebut British Subject. Pada masa
Hindia Belanda tersebut belum ada WNI karena negara bernama Indonesia belum
lahir.
Selain itu, Undang-Undang Administrasi Kependudukan saat ini juga telah
menghapuskan berbagai bentuk penggolongan pada akta kelahiran. Sementara Kewarganegaraan
RI yang berlaku saat ini, telah dengan gamblang menjelaskan bahwa sepanjang
seseorang lahir di Indonesia, dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain
atas kehendaknya sendiri maka sudah pasti orang tersebut adalah WNI, bahkan
anak-anak dari orang yang tidak jelas status kewarganegaraannya pun diberikan
hak menjadi WNI, sehingga sudah tidak perlu lagi ada keragu-raguan hanya karena
akta kelahiran seorang WNI ber-heading
golongan Tionghoa.
Praktik-praktik seperti ini harus segera
dihapuskan sesuai semangat berbagai perundang-undangan saat ini, karena cara
pandang seperti ini adalah benih-benih lahirnya SBKRI versi baru, ibarat virus Trojan
yang terus berevolusi demikianlah kita harus mewaspadai berbagai sikap,
perilaku dan aturan yang mungkin masih terjangkit virus lama diskriminasi sehingga
bisa dicegah timbulnya kembali pembedaan-pembedaan perlakuan terhadap WNI yang
hanya melemahkan bangsa ini.
Jakarta, September 2012.
No comments:
Post a Comment