Monday, December 30, 2013

8 Arah Positif Revisi UU Adminduk

Administrasi Kependudukan merupakan sesuatu yang vital bagi suatu bangsa karena data-data kependudukan yang valid akan sangat menentukan dalam mengambil berbagai kebijakan, dari pembangunan, pendidikan, kesehatan hingga pertahanan dan keamanan. Indonesia baru memiliki UU Administrasi Kependudukan tahun 2006, yakni UU Nomor 23 Tahun 2006 yang dalam perjalanannya ternyata memang membutuhkan perubahan sesuai  perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

Penyesuaian pertama terjadi melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ketentuan sidang di pengadilan bagi penduduk yang terlambat melaporkan kelahiran melebihi batas waktu satu tahun. Sedangkan perubahan kedua baru saja disahkan 26 November 2013 lalu oleh DPR RI. Perubahan yang terjadi sebagian besar tampaknya sudah memenuhi tuntutan masyarakat dan memberi arah yang positif menuju tertib adminduk di Indonesia.

Adapun 8 perubahan positif tersebut yakni pertama perubahan stelsel aktif dari penduduk ke negara, sehingga dokumen kependudukan dimaknai sebagai hak penduduk dan kewajiban negara. Jadi negara yang wajib bekerja serius agar semua penduduk memiliki dokumen kependudukan, bukan sebaliknya. Kedua, perubahan asas dalam pengurusan akta kelahiran dari asas peristiwa menjadi asas peristiwa yang dapat dilayani di domisili, sehingga pendatang ber-KTP DKI Jakarta tapi belum memiliki akta kelahiran misalnya, dapat mengurusnya di domisilinya meski lahir di luar Propinsi DKI Jakarta, tempat lahirnya tetap tercatat sesuai dimana peristiwa terjadi. Ketentuan ini adalah kunci penyelesaian kasus-kasus pendatang di kota besar yang pada umumnya tidak memiliki akta kelahiran dan kesulitan apabila diwajibkan mengurus akta kelahiran ke daerah asalnya sebagaimana ketentuan lama yang masih menggunakan asas peristiwa secara murni.

Ketiga, pemberlakuan KTP Elektoronik seumur hidup bagi WNI dan sesuai ijin tinggal bagi WNA, termasuk KTP-el yang sudah diterbitkan sebelum perubahan UU. Hal ini akan meringankan bagi rakyat yang selama ini setiap 5 tahun harus menyiapkan anggaran dan waktu untuk mengurus perpanjangan KTP. Di sisi pemerintah hal ini akan mengurangi beban anggaran dan pekerjaan terutama di kelurahan, sehingga tentu diharapkan energi yang ada dapat dialihkan untuk pekerjaan produktif lainnya.

Keempat, perluasan kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam hal Administrasi Kependudukan menjadi lintas daerah dan vertikal hingga ke tingkat kabupaten/kota, yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi menuju tertib adminduk. Hal ini juga mempermudah pengawasan, fasilitasi, pembinaan, pemantauan, evaluasi dan standarisasi syarat, prosedur seluruh administrasi kependudukan serta penyediaan blangko KTP Elektronik dan dokumen kependudukan lainnya di seluruh wilayah Indonesia oleh Kemdagri.

Kelima, penggratisan biaya pengurusan dan penerbitan seluruh dokumen kependudukan seperti Akta Kelahiran, KTP, KK, Akta Kematian dan lain-lain. Seluruh biaya untuk urusan administrasi kependudukan akan ditanggung APBN yang disalurkan ke pemerintah daerah melalui mekanisme Dana Dekonsentrasi dan Dana Pembantuan.

Keenam, seluruh peraturan pelaksana UU Adminduk yang semula di level Peraturan Pemerintah diturunkan ke level Peraturan Menteri sehingga logikanya akan lebih cepat dan mudah untuk segera melengkapi perubahan UU ini dengan peraturan pelaksananya. Ketujuh, pengelolaan data kependudukan dipusatkan di Kemdagri, sementara pemprop dan pemkab/pemkot hanya berwenang menyajikan data, itupun yang sudah dikonsolidasikan dan divalidasi Kemdagri.

Kedelapan, penghapusan kata “Dinas” pada ketentuan mengenai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) karena memang tidak semua daerah memiliki Dinas Kependudukan, ada yang dalam bentuk Badan misalnya. Prioritas pembentukan UPT tidak lagi tergantung daerah tapi diatur melalui Permen, sehingga pelayanan catatan sipil yang selama ini dilakukan di tingkat kabupaten/kota akan turun ke tingkat kecamatan melalui pembentukan UPT Instansi Pelaksana. Unit ini diberi kewenangan menerbitkan akta kelahiran, kematian, perkawinan dan akta catatan sipil lainnya. Sementara di tingkat kelurahan dibuka peluang pengangkatan Petugas Registrasi dari luar PNS, sehingga tidak ada alasan bagi pemkab/pemkot tidak dapat menyediakan Petugas Registrasi di kelurahan. Petugas inilah ujung tombak pelayanan yang bertugas memproses pengurusan berbagai dokumen kependudukan di setiap kelurahan.  

Total perubahan UU ini berjumlah 31, namun sebagian adalah perbaikan redaksional, perubahan frasa negatif ke positif dan konsekuensi dari 8 perubahan di atas. Sungguh kita harus mengapresiasi Kemdagri atas perubahan progresif ini, sehingga sekarang kita bisa membayangkan akan dengan lebih mudah mengurus berbagai dokumen kependudukan, jauh dari pungli dan birokrasi berbelit-belit, dan pelayanannya dekat dengan rumah. Tantangan selanjutnya bagi Menteri Dalam Negeri adalah untuk segera menerbitkan 8 Permen terkait perubahan UU ini setelah disahkan Presiden, sehingga semua konsepsi segera menjadi realitas.


Eddy Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI)