Friday, September 6, 2013

Pancasila Paripurna


Intisari ajaran setiap Buddha adalah sama, yakni jauhkan diri dari perbuatan negatif, senantiasalah menambah perbuatan positif dan tekunlah melatih pikiran agar senantiasa tenang seimbang. Ketiga arahan itu akan menuntun setiap mahluk di alam semesta ini memasuki jalan menuju pencerahan ultimat.

Guna mendukung upaya menjauhkan perbuatan negatif, pada setiap kebaktian umat Buddha selalu mengulangi pembacaan Pancasila, yakni tekad untuk melatih diri menghindari lima hal negatif: pembunuhan, pencurian, ucapan yang tidak bertanggung jawab, tindakan asusila, dan mengkonsumsi hal-hal yang melemahkan kesadaran. Sedangkan anggota sanggha (para bhiksu dan bhiksuni) melatih ratusan Sila sebagaimana tercantum dalam Vinaya, yang merupakan salah satu bagian dari Tri Pitaka. Dua bagian lain dari Tripitaka adalah Sutta dan Abhidhamma.


Pada saat Purnama dan Tilem (bulan mati), umat Buddha menambah latihannya dengan tiga sila, hingga total menjadi 8 Sila, adapun sila yang ditambahkan adalah, berpuasa mulai pukul 12.00 hingga 06.00, menghindari kesenangan inderawi dan menghindari alas tidur dan duduk yang mewah. Hal ini telah dianjurkan Buddha kepada Visakha sebagaimana tercatat dalam Angutara Nikaya 8.043. Pada intinya ketiga sila tambahan tersebut adalah untuk melatih hidup sederhana dan meningkatkan pengendalian diri, sehingga dapat menyuburkan benih-benih kasih sayang di dalam diri.


Pemaknaan Holistik

Sampai di titik ini, upaya transformasi diri melalui latihan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan 8 sila di hari Uposatha, masih tampak sebagai praktik pribadi yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan lingkungan sosialnya. Pancasila seolah-olah latihan yang pasif karena tekanan pada kata menghindari berbagai hal negatif. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan kecenderungan agama Buddha dianggap merupakan agama yang pasif, lebih melihat ke dalam dan kurang melihat ke luar diri bahkan ada yang berpendapat hampir mendekati escapism karena seolah-olah menghindar untuk terlibat dalam berbagai persoalan sosial yang ada.

Pemaknaan yang lebih dalam dan menyeluruh telah dipaparkan oleh guru-guru Buddhis seperti Dalai Lama, Ajahn Sulak Sivaraksa, Maha Ghosananda, Thich Nhat Hanh dan sebagainya yang mempelopori istilah Engaged Buddhism atau secara harafiah diterjemahkan sebagai Buddhisme yang terlibat, yang menempatkan ajaran Buddha menapak di bumi, sehingga tidak hanya indah di dengar tapi indah juga praktiknya di setiap aktivitas hidup manusia.


Menghindari pembunuhan adalah praktik sila pertama. Pembunuhan tentu merupakan tingkatan tertinggi dari bentuk kekerasan, oleh karena itu menghindari pembunuhan juga mengandung makna memiliki komitmen terhadap sikap Ahimsa (tanpa kekerasan) dan penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan. Bentuk-bentuk kekerasan dapat berwujud, represifitas negara terhadap rakyat, politik apartheid, diskriminasi ras dan etnis, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), trafficking, pelanggaran HAM, perang dan sebagainya.


Upaya menentang, meminimalisir atau bahkan menghapus berbagai tindak kekerasan tersebut di atas ataupun dalam berbagai bentuk kekerasan lainnya, adalah bagian dari praktik sila pertama. Disamping itu penghargaan terhadap kehidupan dapat diwujudkan dalam bentuk pencegahan terhadap global warming, penyelamatan dan perlindungan satwa, penyelamatan lingkungan dan sebagainya.


Menghindari pencurian tidak hanya sebatas latihan pribadi menghindari mengambil barang yang bukan milik kita, tetapi juga bermakna anti terhadap perilaku korupsi, mendukung setiap upaya melakukan pemberantasan korupsi, dan mendukung sistem yang meminimalisir terjadinya korupsi. Bentuk lainnya, menentang sistem ekonomi yang tidak adil, yang hanya menindas yang lemah dan hanya menguntungkan yang kuat, juga merupakan bagian dari pelatihan sila kedua.


Sila ketiga, menghindari ucapan yang tidak bertanggung jawab, mengandung makna hanya berpihak kepada kebenaran dan tidak hanya menghamba dan menjilat kekuasaan sehingga menjadi oportunis. Praktik sila ketiga adalah berani melontarkan kritik terhadap berbagai ketidakadilan dan kepalsuan yang mungkin dilakukan oleh orang di sekitar, bahkan penguasa sekalipun.


Sebagaimana seorang intelektual harus memiliki kepekaan, keberanian dan kejujuran, demikian pula halnya dengan umat Buddha. Pada saat berhadapan dengan negara, penguasa, jangan hanya melaporkan hal-hal yang baik dan enak didengar tapi harus berani menyampaikan pil pahit apabila ada kebijakan-kebijakan yang tidak tepat dan merugikan orang banyak.


Pelatihan selanjutnya adalah menghindari perbuatan yang bertentangan dengan tata susila yang berlaku di masyarakat, termasuk mencegah terjadinya pedofilia, prostitusi, pornografi dan berbagai bentuk perbuatan asusila lainnya yang merusak moralitas masyarakat. Keterlibatan dalam upaya-upaya edukasi, pencegahan, advokasi, dan konseling terhadap korban dalam konteks ini, adalah bentuk pelatihan yang sesungguhnya.


Sila kelima, adalah latihan untuk menghindari konsumsi yang tidak tepat, yang dapat melemah kesadaran. Alkohol dan narkoba adalah contoh yang paling mudah, tetapi sesungguhnya terdapat hal-hal lain yang tidak kalah berbahaya bila dikonsumsi dengan tidak bijaksana seperti konsumerisme, hedonisme dan berbagai ideologi termasuk paham keagamaan itu sendiri. Sekedar contoh, promosi yang dirancang sedemikian menarik oleh perusahaan periklanan terbukti dapat melemahkan kesadaran seorang calon pembeli, sehingga akhirnya melakukan konsumsi yang tidak bertanggung jawab.


Jadi pemaknaan terhadap Pancasila sebagai tuntunan moral, tidak hanya terbatas pada praktik-praktik pribadi yang lebih sederhana, tapi dapat menjangkau hingga level masyarakat, bangsa, negara bahkan alam semesta. Sebagaimana doa umat Buddha yang demikian universal, Semoga Semua Mahluk Berbahagia, demikianlah praktik Pancasila harus menembus batas-batas literalnya dan menemukan kontekstualitasnya dalam kehidupan sehari-hari di bidang apapun.


Transformasi Diri dan Sosial

Praktik lima sila bagi umat awam, apalagi praktik ratusan sila bagi anggota sanggha, jelas bukan hanya sesuatu yang bersifat ke dalam saja tapi pada saat bersamaan juga berkorelasi dengan tindakan-tindakan nyata di berbagai level sebagaimana tersebut di atas.

Pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh terhadap latihan lima sila, akan membawa kita pada pemahaman bahwa proses melakukan transformasi diri tidak terpisahkan dengan proses untuk melakukan transformasi sosial. Pada saat seorang aktivis demikian konsisten mendorong perubahan sosial, di hampir setiap momentum aktivitasnya tersebut, sadar ataupun tidak sadar, ia juga sedang melakukan transformasi terhadap dirinya sendiri.


Sekedar contoh sederhana, seorang aktivis HAM yang menjalankan perannya dengan sadar adalah orang yang akan mengalami transformasi menjadi seorang yang memiliki kemampuan mendengar lebih baik, cinta kasihnya terhadap manusia dan kemanusiaan akan terpupuk dan keberanian yang tinggi untuk menegakkan keadilan bagi para korban. Kualitas Bodhisatwa ada pada orang-orang seperti ini.


Bodhisatwa atau calon Buddha adalah orang yang bertekad untuk menolong semua makhluk tanpa batas, mereka selalu melatih enam kesempurnaan sehingga akhirnya dapat menjadi Buddha. Siddhartha Gautama, sebelum kelahirannya yang terakhir dan menjadi Buddha, telah lahir berkali-kali. Dalam setiap kelahirannya ia menyempurnakan diri dan mengabdikan hidupnya bagi manusia dan alam. Dalam kitab Jataka digambarkan seekor kelinci yang dengan tulus iklas menceburkan dirinya ke api demi menolong seorang pertapa yang kelaparan. Mungkin bisa dinilai kurang bijaksana, tapi itulah tindakan penyempurnaan paramitha.


Secara teknis disebut terdapat Sad Paramitha yakni Enam latihan kesempurnaan bagi calon Buddha yaitu kesempurnaan dalam kemurahan hati, perbuatan baik, kesabaran, semangat, ketenangan, perhatian dan kebijaksanaan.


Aksi bakar diri Biksu Thich Quang Duc di Vietnam 1963, aksi bakar diri biksu-biksu Tibet, rakyat Indonesia yang melawan penjajah bersenjata modern dengan bambu runcing, serta aksi bakar diri Sondang Hutagalung yang memprotes lambannya penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM, dari sudut pandang Buddhis hal tersebut bisa jadi merupakan wujud penyempurnaan salah satu paramitha. Mungkin kemurahan hati? karena mereka rela berkorban nyawa demi kepentingan orang lain, sebagaimana si kelinci mengorbankan diri demi seorang pertapa.


Sangat jelas bahwa transformasi diri dan transformasi sosial adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Kedua proses tersebut dapat berjalan dengan baik apabila pelaku-pelakunya juga senantiasa melatih pikirannya tenang seimbang, sehingga keputusan-keputusan yang dibuat adalah keputusan-keputusan yang matang secara spiritual.


Pikiran sebagai Penentu

Melatih pikiran agar tenang seimbang adalah upaya untuk menjaga agar seseorang senantiasa dapat mengarahkan dirinya untuk menghindari perbuatan negatif, dan memperbanyak yang positif. Pikiran adalah unsur yang sangat penting dalam agama Buddha, karena ia adalah pelopor dan pembentuk. Tanpa pikiran yang terlatih, seseorang akan dengan mudah terjerumus untuk berbuat jahat, dan justru menghindar pada saat ada kesempatan berbuat baik.

Pikiran kerap diibaratkan monyet liar, yang berlompatan dengan cepat tanpa arah tujuan. Hanya dengan pelatihan yang tepat melalui meditasi monyet liar ini dapat dijinakkan dan diarahkan. Pikiran memegang peranan penting dalam membangun persepsi dan pemahaman terhadap suatu gagasan, pikiran yang terlatih tidak akan memahami suatu ide atau gagasan secara parsial, sebagaimana kita memahami bahwa transformasi diri dan transformasi sosial adalah proses yang tunggal.


Kedua transformasi tersebut berjalan secara pararel, pada saat seseorang bermaksud melawan struktur kebencian, keserakahan dan kebodohan batin di dalam dirinya, pada saat yang sama ia juga harus menyadari bahwa keserakahan juga bermanifestasi dalam sistem ekonomi, politik, dan lain-lain. Kebencian bermanifestasi dalam militerisme, terorisme dan fanatisme keagamaan. Kebodohan dapat tersebar melalui sistem pendidikan, media dan iklan.


Disinilah relevansi dari pikiran yang tenang seimbang, karena hanya pada kondisi demikianlah kita dapat menghadapi secara bersamaan struktur yang menindas di dalam diri kita, maupun di luar diri kita. Pikiran yang tenang seimbang juga akan memungkinkan kita menjalani kehidupan yang penuh ketidakpuasan ini, dengan bahagia dan merespon berbagai fenomena yang terjadi secara tepat.

No comments:

Post a Comment