Wednesday, September 25, 2013

Bakar Tongkang, Tradisi Tua dari Bagan Siapi-api



 Malam itu asap dupa dengan wewangiannya yang khas merebak penuh mistis di sekitar anjungan Provinsi Riau Taman Mini Indonesia Indah (TMII), asap itu bersumber dari ribuan suku tionghoa yang sebagian besar adalah masyarakat Bagan Siapi-api yang ada di Jakarta dan sekitarnya yang sedang melakukan sebuah ritual turun temurun bernama Bakar Tongkang. Acara ini digelar oleh masyarakat tionghoa dari Kabupaten Rokan Ilir.

Bakar Tongkang adalah sebuah tradisi suku tionghoa yang sempat dilarang di masa kekuasaan Orde Baru, namun tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh masyarakat tionghoa di Bagan Siapi-api pada saat itu. Ritual yang berakar dari tradisi bahari para leluhur orang tionghoa di Bagan ini, telah dilakukan sejak 128 tahun yang lalu dan tetap dilestarikan hingga kini. Masyarakat Bagan percaya bahwa ritual ini akan membuat laut senantiasa memberikan berkahnya bagi masyarakat Bagan yang menggantungkan diri pada hasil laut.

Tongkang yang dimaksud adalah sebuah perahu yang dibuat dengan ukuran sesuai petunjuk dewa, sedang desainnya konon merupakan bentuk tongkang yang digunakan warga tionghoa awal yang berlayar dari Desa Songkla-Thailand dan mendarat di Bagan pada tahun 1826. Ritual di TMII ini sebenarnya sekaligus merupakan agenda wisata pemerintah Riau, untuk lebih memperkenalkan tradisi Bakar Tongkang yang memang telah ditempatkan menjadi salah satu agenda wisata andalan provinsi ini. Warga Tionghoa dan pemerintah Riau mempunyai ambisi membawa tradisi Bakar Tongkang go internasional. Sebuah ambisi yang cukup beralasan, sebab selama ini di Bagan sendiri, tradisi ini telah menyedot perhatian wisatawan domestik maupun manca negara.

Pada perayaan terakhir, wisatawan dari Cina, Hongkong, Singapura dan Australia pun datang ke Bagan untuk menyaksikan secara langsung tradisi unik ini. Untuk perayaan di TMII, menurut Jhoni, salah seorang panitia penyelenggara, ukuran yang digunakan adalah 8 x 3.2 m dan untuk melengkapi upacara ini dilibatkan 12 orang yang trans atau kemasukan dewa-dewa tertentu. Kedua belas orang yang disebut Luk Thong inilah yang mengawal selama perjalanan arak-arakan tongkang. Penyelenggara,

Prosesi
Upacara Bakar Tongkang di TMII diawali dengan proses mengundang para dewa agar memasuki raga para Luk Thong. Orang-orang terpilih ini, melakukan sejumlah ritual dengan diiringi tetabuhan yang berbunyi sangat nyaring. Suasana menjadi sedemikian mistis, diantara asap dupa yang semakin pekat dan tetabuhan yang riuh rendah, sorak sorai umat membahana pada saat satu persatu Luk Thong mengalami trans yang ditandai gerakan kepala yang menggeleng-geleng dengan sangat cepat, dan mulai memukul-mukulkan sejenis bola besi yang tajam ke tubuhnya.

Suasana makin meriah tat kala, salah satu Luk Thong membuat Hu yang kemudian menjadi rebutan umat. Para Luk Thong yang pipinya ditusuk dengan paku ini, kemudian satu persatu digiring oleh serombongan penabuh dan pengiringnya untuk memberkati altar-altar yang ada. Umat yang berada di sekitar altar dengan penuh kesungguhan tampak mengacung-acungkan dupa dan mengucapkan permohonan, sementara para Luk Thong tampak seolah-olah sedang berkomunikasi dengan dewa di altar-altar tersebut. Setiap Luk Thong mewakili karakteristik dewa tertentu, ada yang membawa pedang dan juga gada berduri.

Setelah semua Luk Thong melakukan ritual di setiap altar, kemudian mereka diarahkan menuju Tongkang dan semuanya melakukan ritual di depan tongkang. Umat mulai berbaris di sepanjang jalan, dengan dupa di tangan bersiap-siap mengikuti arak-arakan menuju panggung utama dimana Tongkang akan di bakar di depan tamu undangan yang terdiri dari pemerintah Riau dan beberapa duta besar serta masyarakat umum. Dari Anjungan Riau, tongkang yang diangkat puluhan orang mulai diarak, pada posisi terdepan adalah beberapa replika dewa dari kertas yang rata-rata menunggang kuda, kemudian barulah tongkang dan dibelakangnya dengan dupa ditangan ribuan umat dengan khusyuk mengikuti, sementara di kanan kiri tampak masyarakat umum turut menyaksikan.

Lampion-lampion yang di pasang sepanjang jalan menuju panggung utama menambah semarak suasana. Setelah tiba di panggung utama, acara dilanjutkan dengan mendengarkan sambutan dari pemerintah Riau yang diwakili kepala dinas pariwisata Propinsi Riau karena Gubernur Riau tidak dapat hadir. Sementara diantara undangan, tampak hadir Bupati Rokan Ilir,  anggota DPD Riau, duta besar perancis dan RRC.

Sorak sorai umat yang mengiringi prosesi persiapan pembakaran Tongkang menenggelamkan pengeras suara, sehingga seolah tak menghiraukan acara sambutan. Setelah sambutan selesai segera panitia, tokoh Tionghoa Bagan Siapi-api dan Bupati Rokan Ilir didaulat menuju panggung untuk menekan tombol kembang api yang memancar seperti air mancur di kanan kiri tongkang. Selanjutnya mereka juga melakukan penyulutan api untuk membakar tongkang. Segera saja api melalap tongkang yang terbuat dari kertas dari triplek beserta ornamennya yang khas tersebut. Masyarakat yang memegang dupa tampak semakin khusyuk memanjatkan permohonannya selama tongkang terbakar.

Uniknya, arah jatuh tiang tongkang adalah hal yang paling di nanti-nantikan, sehingga begitu tiang tongkang jatuh seluruh umat bersorak gembira. Menurut beberapa tokoh yang ditemui di lokasi, arah jatuh tersebut menandakan dimana rejeki akan melimpah, jika jatuhnya ke arah laut berarti usaha yang berkaitan dengan lautan rejekinya akan melimpah dan sebaliknya apabila ke arah darat, maka usaha-usaha di darat lah yang akan memberi rejeki berlimpah.    

Asal Mula Tradisi Bakar Tongkang

Dari penuturan beberapa orang panitia Bakar Tongkang di TMII ini, ritual masyarakat tionghoa Bagan ini sudah dimulai ketika 18 orang warga Tionghoa bermarga Ang, mendarat pertama kali di tanah Bagan pada 1826 Masehi. Pelayaran 18 orang yang berasal dari Cina namun sempat mendarat di Thailand sebelum akhirnya menyeberang ke Bagan ini, menggunakan tiga kapal kayu yang disebut wang kang atau tongkang. Satu diantara mereka adalah seorang perempuan. Leluhur masyarakat Tionghoa Bagan ini berasal dari Cina yang sempat bermigrasi ke Desa Songkla di Thailand pada 1825 Masehi. Mereka adalah, Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui.
Di Thailand mereka tidak menetap terlalu lama karena kondisi disana tidak aman. Akhirnya, para imigran ini kembali berlayar dengan menggunakan tiga kapal mencari daerah yang lebih aman. Hanya satu dari ketiga tongkang tersebut yang selamat pada saat mendarat di Bagan. Satu tongkang yang selamat ini dipercaya membawa patung Dewa Tai Sun di haluan dan Dewa Ki Ong Ya di rumah kapal. Merekalah yang menjadi penduduk awal di Bagan dan menggantungkan hidup sebagai nelayan, dan setelah berkembang mereka membangun bang liu atau gudang penampungan ikan.
Beberapa waktu setelah menetap dimulailah tradisi Bakar Tongkang, yang menurut Bapak Santosa salah seorang panitia, diadakan untuk mengucap syukur dan memohon rejeki serta kebulatan tekad untuk tetap bertahan di daerah perantauan. Sehingga mereka membakar semua benda-benda yang dibawa pada saat pertama kali mendarat, termasuk tongkang yang ditumpangi. Dari sinilah kemudian berkembang tradisi Bakar Tongkang yang masih dilakukan oleh keturunan mereka pada saat ini.
Meski sempat bernasib sama sebagaimana tradisi tionghoa lainnya pada masa orde baru, ritual bakar tongkang ini sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid dilakukan secara teratur dan terbuka setiap tahun. Bagan Siapi-api, sebuah kota yang sangat lekat dengan Bandar ikan ini pada masa keemasannya pernah menjadi penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Namun, akibat salah urus, maraknya penggunaan pukat harimau dan tidak pro aktifnya pemerintah pada masa lalu membangun Bagan Siapi-api secara berkesinambungan,
Bagan saat ini tidak lagi diperhitungkan sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia. Entah bagaimana perasaan 18 orang perintis tersebut melihat kondisi ini, yang pasti tradisi bakar tongkang sekarang telah menjadi salah satu agenda wisata andalan Pemprov Riau maupun Kabupaten Rokan Ilir, layaknya berbagai peninggalan nenek moyang dari masa lalu, seperti juga candi-candi dan benda peninggalan sejarah lainnya, tradisi tua ini memang dapat dimanfaatkan untuk menambah pundi-pundi daerah.
Namun satu hal yang harus benar-benar diperhatikan adalah bagaimana berlaku seimbang dan mengelola secara cerdas, sehingga ada keseimbangan antara usaha melestarikan dan pemanfaatannya sebagai obyek wisata. Selain hal tersebut, satu pertanyaan yang perlu dijawab oleh suku Tionghoa di Bagan adalah apakah sudah ada transformasi nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini dari kaum yang lebih tua kepada kaum muda Tionghoa disana? Sebab tanpa hal tersebut, sebuah tradisi hanya akan menjadi ritual tanpa makna yang membingungkan dan akhirnya ditinggalkan oleh generasi yang lebih muda.
Semoga ritual Bakar Tongkang ini tidak bernasib demikian, tidak menjadi tradisi yang kering, tapi menjadi tradisi yang sarat nilai, yang dapat dipahami dan dihayati tidak hanya bagi suku Tionghoa tapi juga anak bangsa lainnya. Nilai-nilai yang dapat dipelajari dari leluhur yang memulai tradisi ini antara lain, keberanian, keuletan berusaha, memiliki rasa syukur terhadap apa yang diberikan alam dan menghargai kepercayaan leluhur. Sesuatu yang mungkin tidak lagi dimiliki oleh kaum muda tionghoa saat ini, yang telah hanyut dan tersesat di dunia materialisme.
Alih-alih menghargai tradisi leluhur, saat ini kaum muda tionghoa telah banyak yang tercerabut dari akar budayanya sendiri, entah karena kepungan dunia materi maupun ideologi keagamaan yang tidak ramah terhadap budaya. Sehingga dapat kita saksikan saat ini, kaum muda yang hedon dan merasa modern padahal sejatinya bersandar penuh kegamangan pada tradisi yang sebenarnya asing bagi dirinya. Segelintir kaum muda yang masih berusaha mengenali dan memahami tradisi leluhurnya, semoga memiliki kekuatan dan kebulatan tekad sebagaimana nenek moyangnya dahulu untuk tidak hanyut dan ditaklukkan oleh mainstream. Sehingga tradisi akan memberikan manfaat yang jauh lebih berharga daripada sekedar materi. 

Eddy Setiawan, Maret 2006


Wednesday, September 11, 2013

Peraturan Presiden Boros Subsidi



Harga BBM telah ditetapkan naik dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.500, sebagai kompensasi pemerintah berjanji akan membagikan BLSM kepada kelompok yang rentan terhadap dampak kenaikan BBM. Terlepas dari berbagai persoalan pembagian balsem kepada masyarakat, sesungguhnya kenaikan harga BBM ini harus dibarengi dengan kesungguhan pemerintah untuk menjadikan transportasi massal sebagai moda utama di seluruh kota besar di Indonesia karena hal ini sangat terkait dengan upaya melakukan penghematan penggunaan BBM.

DKI Jakarta dapat digunakan sebagai contoh, betapa kemacetan telah demikian merugikan kita semua. Menyitir data IPKC (2012) kerugian akibat kemacetan di DKI Jakarta saja sebesar Rp. 68 Triliun per tahun, baik karena BBM yang menguap di tengah kemacetan maupun kerugian akibat berbagai penyakit yang timbul dari polusi udara, apalagi kalau bicara kualitas hidup! Bandingkan angka tersebut dengan total investasi untuk membangun monorel penumpang Jabodetabek, monorel bandara dan monorel barang yang akan digarap konsorsium BUMN, yang hanya membutuhkan Rp. 12 Triliun, sedangkan monorel dalam kota yang dikerjakan Pemprop DKI Jakarta bersama pihak swasta hanya membutuhkan Rp. 8 Triliun. Jadi total investasinya hanya 1/3 dari kerugian akibat kemacetan.

Proyek-proyek tersebut sesungguhnya dapat dirampungkan dalam waktu paling cepat 18 bulan, namun entah apa yang terjadi diantara presiden dan para menteri terkait, hingga saat ini Peraturan Presiden yang diperlukan sebagai payung hukum pelaksanaan proyek monorel Jabodetabek tidak kunjung dikeluarkan. Apakah pemerintah sudah terlalu sibuk membagikan balsem dan mempersiapkan alat kontrol untuk mencegah penggunaan “BBM bersubsidi” oleh pemilik mobil sehingga lamban menyelesaikan perpres tersebut? Padahal pembangunan monorel, khususnya yang melayani rute dari daerah penopang seperti Bekasi dan Cibubur seharusnya menjadi prioritas, karena akan menghemat penggunaan BBM dalam jumlah besar dan mengurangi polusi udara serta menurunnya resiko berbagai penyakit akibat polusi yang ironisnya lebih banyak terjadi pada kalangan miskin yang tidak bermobil.

Mari kita hitung jumlah kendaraan yang masuk ke Jakarta dari daerah sekitarnya untuk membuktikan hal tersebut. Menurut data Jasa Marga (2013) jumlah kendaran yang masuk ke Jakarta setiap harinya adalah sebanyak 1.465.000 mobil melalui berbagai jalan tol yang ada. Tol Jagorawi dan Cikampek adalah penyumbang terbesar yakni sebanyak 940.000 mobil/hari, jadi wajar saja jika setiap hari para pengguna tol harus rela membuang-buang BBMnya akibat kemacetan di JALAN TOL!

Bayangkan apabila 50% dari pengguna tol Jagorawi dan Cikampek beralih menjadi penumpang monorel, dengan asumsi penggunaan BBM rata-rata 10 liter/mobil/hari maka penghematan yang terjadi adalah 4.700.000 liter x Rp. 6.500 = Rp. 30.055.000.000/hari atau setara dengan Rp. 10.819.800.000.000/tahun, belum termasuk penghematan karena berkurangnya kemacetan yang berarti kerugian sebesar Rp. 68 Triliun akibat kemacetan sebagaimana dilansir IPKC jika dianggap akan berkurang separuhnya, ini berarti penghematan Rp. 34 Triliun sehingga total penghematannya sekitar Rp. 44 triliun, 1/3 dari apa yang diistilahkan pemerintah sebagai “subsidi” BBM di APBN. Belum termasuk penghematan dari monorel bandara dan Tanjung Priok bahkan belum menghitung peningkatan produktivitas yang tercipta apabila semua infrastruktur ini segera terwujud.

Lalu mengapa sampai sekarang Peraturan Presiden yang dibutuhkan agar proyek ini segera bisa direalisasikan belum juga turun? Mana bukti suistanable growth with equity dengan 4 pilar pembangunan ekonomi sosial yang dicanangkan Bapak Presiden yaitu pro-growth, pro-poor, pro-job dan pro-environtment? Jangan sampai tarik ulur kebijakan terjadi hanya karena hitung-hitungan politik menuju 2014, padahal realisasi berbagai infrastruktur tersebut sudah amat sangat mendesak! Bagi DKI Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Rakyat sedang menunggu era baru yang mengarusutamakan transportasi publik, semoga presiden dan para menterinya tidak lamban mewujudkan Perpres untuk hal-hal yang bersifat produktif dan bisa berdampak pada perbaikan lingkungan hidup, bahkan bisa menghemat penggunaan BBM yang berarti juga menghemat devisa karena sampai sekarang pemerintah masih hobi impor BBM. Pada kasus monorel ini, hanya untuk jurusan Jakarta-Cibubur saja setiap hari keterlambanan akan diboroskan Rp. 120 Milyar uang negara. Apalagi sesungguhnya draft Perpres sudah masuk di Menko Perekonomian sejak Maret 2013 artinya sudah 6 bulan berlalu hingga hari ini, jangan sampai justru setelah rakyat dikurangi “subsidinya” dengan kenaikan BBM, malah rakyat harus mensubsidi Perpres karena lambannya kerja para pejabat.

Eddy Setiawan, Direktur Kajian Institut Nagarjuna

Tuesday, September 10, 2013

Sejarah Agama Buddha: Engaged Buddhism



Ajaran Buddha pada beberapa dekade lalu, sering dipandang sebagai ajaran yang hanya berfokus pada diri sendiri, pesimistis bahkan ada yang menilainya mendekati escapism. Kesan ini muncul karena Buddhisme yang berkembang di Asia dalam praktiknya lebih menekankan pada aspek transformasi diri yang terkesan lepas dari pengaruh lingkungan dan struktur sosial, politik, budaya, hukum dan lain-lain di sekitarnya. 

Kecenderungan ini semakin menguat karena secara budaya politik, Asia di dominasi oleh pemerintahan otoriter dimana keseragaman dan penyeragaman merupakan hal yang dianggap wajar, termasuk dalam pemikiran di bidang agama. 

Pemerintahan otoriter telah membentuk komunitas agama menjadi bagian dari status quo, sehingga agama hanya diarahkan sebagai bagian dari kehidupan pribadi dan tidak ada kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintahan otoriter senantiasa berusaha menekan bahkan menghilangkan partisipasi civil society, termasuk komunitas agama sebagai salah satu kekuatan civil society yang ada. Hal ini telah memposisikan agama hanya sebatas alat legitimasi kekuasaan, yang minim bahkan tanpa kritik sosial sehingga akhirnya menggiring pada bentuk-bentuk aktivitas yang terbatas pada aspek ritual dan kegiatan sosial karitatif.

Pola ini dalam konteks agama Buddha, sesungguhnya telah didobrak dengan hadirnya gerakan Socially Engaged Buddhism, yang merupakan antitesa dari kondisi di atas. Gerakan ini mulai bermunculan di Asia maupun negara-negara Barat, sejak tahun 1950-an, namun di Indonesia gerakan ini baru mulai diperkenalkan pada medio 90-an oleh majalah mahasiswa Buddhis yang bernama Hikmahbudhi.

Terminologi SEB yang secara harafiah berarti Buddhisme yang terlibat secara sosial, merupakan suatu istilah yang  menunjukkan hadirnya aktivisme politik dan sosial yang lebih substantif oleh masyarakat dan organisasi Buddhis. Hal ini timbul seiring dengan terjadinya peningkatan keterlibatan politik kelompok-kelompok agama secara global, seperti yang dilakukan agama Islam, Kristen, Yahudi, dan Hindu, organisasi Buddhis mulai terlibat dalam mendukung kampanye untuk resolusi konflik, Hak Asasi Manusia, pembangunan ekonomi pedesaan, energi alternatif, dan perlindungan lingkungan serta isu-isu lainnya.

Komunitas Buddhis di berbagai negara juga telah berkembang tidak sekedar aktif dalam kegiatan yang bersifat misioner, tapi juga melakukan kegiatan karitatif yang lebih maju seperti bakti sosial pengobatan, program pendidikan, pemberdayaan dan pembangunan komunitas, hingga keberpihakan terhadap masyarakat marginal, isu masyarakat non-kasta, sampai isu perempuan dan anak-anak, HIV/AIDS, dan narapidana. Kelompok-kelompok yang digolongkan sebagai SEB ini, berpendirian bahwa Ajaran Buddha sudah seharusnya diintegrasikan ke dalam setiap aspek kehidupan, dan semua itu dapat dipraktikkan oleh setiap Buddhis, baik sebagai umat awam maupun anggota sanggha.

Menyitir terminologi yang digunakan Jonathan Watts dalam The Search of Social Engaged Buddhism in Japan (2004), maka kelompok-kelompok SEB di seluruh dunia telah menembus batas-batas aktivitas keterlibatannya, dari gerakan misioner, kesejahteraan masyarakat hingga perubahan sosial. Bagian terbesar masih dalam gerakan misioner seperti pembangunan tempat ibadah, pembinaan umat, retret meditasi dan lain-lain, sebagian sudah memasuki keterlibatan yang lebih jauh untuk membentuk kesejahteraan masyarakat, dan baru sebagian kecil yang bergerak untuk perubahan sosial.

Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui proses dan latar belakang terciptanya istilah Engaged Buddhism disingkat EB serta siapa saja tokoh-tokoh kunci gerakan Socially Engaged Buddhism awal. Peneliti melakukan studi pustaka terhadap berbagai sumber terkait EB dari buku, jurnal dan sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan. EB merupakan suatu terminologi yang sudah cukup dikenal di Indonesia, terutama setelah tahun 90-an, namun hingga saat ini belum terdapat buku dan tulisan ilmiah di Indonesia tentang sejarah gerakan EB. Tanpa memahami konteks kelahiran istilah EB, maka pemahaman terhadap makna keterlibatan menjadi parsial, hal inilah yang merupakan signifikansi penelitian ini.

 

Thich Nhat Hanh dan Engaged Buddhism

Istilah Engaged Buddhism diciptakan Thich Nhat Hanh, seorang master Zen dari Vietnam yang telah mendirikan lembaga pendidikan dan keagamaan dengan orientasi perdamaian selama Perang Vietnam. Ia juga memimpin protes antiperang, terlibat dalam pembangunan kembali desa-desa korban perang, pengungsi, aktif dalam lobi-lobi internasional untuk mendorong perdamaian, dan menuliskan artikel dan buku-buku tentang krisis yang dihadapi negaranya dan komunitas Buddhis di Vietnam. Istilah ini kemudian berkembang menjadi Socially Engaged Buddhism untuk mengidentifikasi praktik dharma dari kelompok-kelompok Buddhis di berbagai belahan dunia, yang memiliki keterlibatan sosial secara lebih mendalam, membawa dharma dalam praktik kehidupan manusia dengan segala aspeknya.

Thich Nhat Hanh adalah pendiri Pagoda Ung Quang dan Institut Buddhis Quang di Kota Ho Chi Minh pada tahun 1949, pada masa perang antara Perancis dengan gerakan perlawanan Vietnam.Institut Buddhis Quang yang didirikan Thich Nhat Hanh bersama Tri Qu saat ini telah berkembang menjadi universitas terkemuka di Vietnam Selatan, dan merupakan tempat pertemuan utama para pemimpin Buddhis Vietnam di Saigon, serta menjadi tempat kedudukan Institute for Dharma Propagation yang sangat dihormati. Institut ini memiliki peran penting dalam pengembangan agama Buddha di Vietnam.

Pagoda Quang adalah pusat dari Sekolah Kajian Buddhis, dan sekretariat Wihara-Wihara Buddha Bersatu Vietnam yang dilengkapi perpustakaan dan penerbit. Pagoda ini telah berperan dalam melatih banyak sekali guru-guru Dharma, sramanera dan sramaneri, biksu dan biksuni. Pagoda Quang menjadi sangat dikenal selama Perang Amerika, karena merupakan tempat tinggal seorang biksu bernama Thich Quang Tri, yang melakukan protes tanpa henti terhadap pemerintah Vietnam Selatan, dalam upaya untuk mendorong kebebasan berbicara dan kebebasan ekspresi keagamaan. Hal ini dianggap anti terhadap propaganda pemerintah yang lebih memberi ruang kepada agama Katolik dan berupaya menghancurkan agama Buddha. (www.quangminh.org.au, An Quang Buddhist Institute, 2009)

Hanh (2008) menyatakan bahwa sejak Vietnam dibagi dua melalui Kesepakatan Jenewa 1954 dan perang ideologi dimulai antara komunisme di Utara dan apa yang disebut Diem sebagai personalisme di Selatan yang anti komunis. Hal ini menimbulkan kegamangan di masyarakat, jutaan orang bermigrasi dari Utara ke Selatan, termasuk sebagian besar umat Katolik. Sesuai kesepakatan, tentara Perancis pun meninggalkan Vietnam.

Kegamangan inilah yang tampaknya mendorong Ngoc Vu Cac, seorang manajer Koran harian untuk meminta Thich Nhat Hanh menulis serangkaian artikel tentang Buddhisme sebagai alternatif di tengah kebingungan rakyat Vietnam akibat perang ideologi tersebut. Hal ini direspon Thich Nhat Hanh dengan serangkaian tulisan berjudul A Fresh Look at Buddhism yang terdiri dari sepuluh artikel. Dalam rangkaian sepuluh artikel inilah Thich Nhat Hanh mengusulkan gagasan tentang EB. Buddhisme yang membumi, Buddhisme yang terlibat dan menawarkan solusi dalam berbagai persoalan baik di bidang pendidikan, ekonomi, politik dan lain-lain.

Terminologi dan konsepsi EB kemudian dapat tersebar secara lebih luas, pada saat Thich Nhat Hanh menulis rangkaian sepuluh artikel lainnya, dengan judul Buddhisme Hari Ini, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Perancis oleh Le Vinh Hao, menjadi Aujourd'hui le Boudhisme. Salinan dari hasil terjemahan ini kemudian diberikan Thich Nhat Hanh kepada Thomas Merton, seorang biarawan Trappist yang kemudian membuat ulasan tentang artikel tersebut.

 

Krisis Buddhis sebagai Konteks Keterlibatan

Pada masa kekuasaan rejim Ngo Dinh Diem lah terjadi apa yang disebut dunia barat sebagai Krisis Buddhis, yakni periode penuh ketegangan politik dan agama di Vietnam Selatan akibat sikap diskriminatif Diem terhadap Buddhisme yang terjadi antara bulan Mei hingga November 1963. Adam (1965) menyatakan bahwa Krisis Buddhis ditandai dengan serangkaian tindak kekerasan oleh pemerintah Vietnam Selatan dibawah Diem dan kampanye-kampanye pembangkangan sipil yang pada umumnya dipimpin oleh para biksu. Salah satu pusat perlawanan adalah Pagoda Un Quang yang didirikan Thich Nhat Hanh.

Kesewenang-wenangan rejim Ngo Dinh Diem terhadap umat Buddha tampak dari sikap pemerintahnya yang melakukan pembedaan dalam hal pembagian tanah, bisnis, konsensi pajak serta rekrutmen dan penempatan pejabat pemerintahan di bidang pelayanan publik, militer maupun jabatan penting lainnya (Tucker, 2000).

Pemicu utama perlawanan rakyat Vietnam terhadap Diem menurut Hammer (1987) adalah sikap represif pemerintahan Diem terhadap umat Buddha yang melakukan unjuk rasa damai menentang kebijakan pelarangan pengibaran bendera Buddhis melalui Dekrit Nomor 10. Padahal seminggu sebelumnya bendera-bendera Vatikan dikibarkan dalam sebuah perayaan yang disponsori pemerintah untuk saudara Diem, yaitu Kepala Keuskupan Ngo Dinh Thuc, rahib paling senior di Vietnam kala itu. Sembilan orang umat Buddha tak bersenjata tewas pada unjuk rasa yang dilakukan di pusat kota Hue. Rejim Diem kemudian menuduh umat Buddha telah ditunggangi Vietkong.

King (1996) dan Hunt-Perry dan Fine (2000) memiliki pendapat yang sejalan bahwa aksi-aksi yang dilakukan Thich Nhat Hanh beserta murid dan komunitas Buddhis Vietnam, dianggap sebagai gangguan oleh penguasa Saigon, Hanoi, dan Washington. Konsekuensinya adalah Thich Nhat Hanh dan pengikutnya harus berhadapan dengan represifitas rezim penguasa, ribuan pengikutnya dipenjara dan bahkan banyak yang terbunuh. Eskalasi gerakan yang dilakukan komunitas Buddhis Vietnam mulai dari aksi 500 biksu ke Dewan Nasional di Saigon, mogok makan nasional 48 jam dipimpin Biksu Thich Tinh Kiet, hingga perlakuan aparat keamanan rejim Diem yang menyiramkan zat kimia ke kepala para biksu yang sedang melakukan aksi damai, akhirnya berpuncak pada aksi bakar diri yang dilakukan Biksu Thich Quang Duc di sebuah perempatan jalan di Kota Saigon pada tahun 1963.

Keseluruhan aksi-aksi ini kemudian berhasil mempengaruhi hubungan Amerika dengan rejim Diem. Amerika pada awalnya mendukung Diem, sejalan dengan sikap politik luar negeri Amerika masa itu yang berusaha memerangi pengaruh komunisme di seluruh dunia, diantaranya dengan mendekati dan berusaha mendukung pemimpin-pemimpin di negara yang anti komunis. Namun akhirnya, aksi bakar diri Biksu Thich Quang Duc yang sempat diabadikan Malcolm Browne seorang jurnalis dan fotograper Associated Press dan kemudian menjadi berita utama di berbagai media internasional, mengubah peta politik.

Paska aksi bakar diri yang dilakukan Biksu Thich Quang Duc, rejim Diem bersikap represif terhadap pers asing dan mulai melakukan sensor ketat. Sementara perlawanan rakyat Vietnam terhadap rejim Diem semakin kuat, dengan pusat perlawan di Pagoda Xa Loi, tempat dimana hati dari Biksu Thich Quang Duc yang masih utuh dan tidak terbakar di simpan. Pagoda ini menjadi tempat para biksu mengkoordinir berbagai gerakan perlawanan mulai pembuatan pamflet yang mengkritisi kebijakan rejim Diem, rapat-rapat konsolidasi massa, perencanaan demonstrasi dan mogok makan, hingga melakukan kompilasi berita harian untuk memotivasi para umat dan mempengaruhi mereka yang menjadi pegawai pemerintah di sektor publik maupun militer. (Jones, 2003).

Peningkatan eskalasi ditandai dengan aksi massa yang terus meningkat di Pagoda Xa Loi, hingga mencapai 15.000 orang pada demonstrasi tanggal 18 Agustus 1963 (Halberstam, 2008 dan Sheehan, 1988), bahkan umat Buddha pada saat itu mempersiapkan aksi yang lebih besar dengan memanfaatkan kedatangan Duta Besar Amerika yang baru, Henry Cabot Lodge Junior seminggu kemudian. Kondisi ini direspon militer dengan mengusulkan Darurat Militer, dengan alasan bahwa komunis telah menyusup ke Pagoda Xio Lai dan gerakan umat Buddha akan terus meningkat dan tidak mustahil mereka akan melakukan protesnya hingga istana Gia Long. Diem yang takut kehilangan kekuasaannya, menyetujui usulan para jenderal tersebut tanpa persetujuan kabinetnya.

Masa darurat militer dimulai dengan penyerangan terhadap vihara-vihara yang ada di Vietnam, militer juga melakukan penangkapan terhadap 1.400 umat Buddha dan beratus-ratus lainnya dibunuh atapun hilang. Militer juga menyerang pusat perlawanan yakni Pagoda Xio Lai, dan berusaha merusak altar dimana tersimpan hati Thich Quang Duc, kemudian militer juga melakukan penangkapan terhadap pimpinan biksu tertinggi, Thich Tinh Kiet dan menyatakan Saigon telah aman terkendali di bawah militer, menutup semua bandara dan membatalkan semua penerbangan komersil serta menyatakan pemberlakuan sensor terhadap semua media (Hammer, 1987).

Jacobs (2006), Karnow (1997) dan Halberstam (2008) memiliki analisis yang sama bahwa rangkaian peristiwa di atas kemudian mendorong Amerika berubah sikap terhadap rejim Diem, yang dianggap telah melanggar kesepakatan untuk melakukan reformasi di Vietnam. Pemerintah Amerika kemudian menghimbau Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM yang ada di Vietnam untuk melakukan konsolidasi dengan kelompok-kelompok Buddhis, bahkan Amerika kemudian mendukung usaha kudeta yang dilakukan militer terhadap Diem. Hal ini tampak dari kawat nomor 243 dari Washington kepada Lodge selaku Duta Besar, yang menunjukkan adanya dukungan Presiden John F. Kennedy terhadap kudeta. Rejim Diem berakhir dengan terbunuhnya Diem pada saat terjadi kudeta militer 1 November 1963.

Gerakan SEB di Dunia

Istilah Engaged Buddhism lahir pada tahun 1954 di Vietnam, namun baru dikenal lebih luas setelah Thomas Merton membuat ulasan terhadap artikel Thich Nhat Hanh yang telah diterjemahkan dalam bahasa Perancis pada tahun 1964. Di dunia, gerakan SEB yang mulai menawarkan diskursus baru terhadap perubahan sosial, juga sudah berkembang baik di Asia maupun di negara-negara Barat. Pada tahun 1956 di India telah lahir gerakan politik menentang ketidakadilan terhadap masyarakat Dalit, Untouchable atau non kasta yang dipimpin oleh Dr. Ambedkar. Gerakan lainnya adalah Shramadana Sarvodaya di Srilanka yang dipimpin AT Ariyaratne dimulai tahun 1958, perjuangan Rakyat Tibet dipimpin Dalai Lama XIV Tenzin Gyatso baik di dalam Tibet maupun di pengasingan untuk mendapatkan otonomi khusus atas wilayah dan budaya yang hancur akibat pengambilalihan secara paksa oleh Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1959.

Wacana perempuan juga hadir melalui gerakan Pan-Asia untuk untuk memulihkan tatanan sanggha bikuni di negara-negara di mana pentahbisan tersebut ditentang oleh sanggha biku. Gerakan lainnya adalah Tiga Nichiren yang berakar di Jepang setelah Perang Dunia II dan telah mendapatkan pengikut internasional, dengan misi perdamaian dan pembaharuan budaya. Kelompok kampanye-Soka Gakkai International, Rissho Koseikai, dan Nipponzan Myohoji. Di Taiwan pada tahun 1960 Tzu-Chi Foundation didirikan oleh Biksuni Cheng-yen dengan misi menyebar kebajikan dan welas asih ke seluruh dunia. Korea Selatan menandai hadirnya gerakan SEB dengan lahirnya Koalisi untuk Keadilan Ekonomi Buddhis, Masyarakat Jungto, Solidaritas Buddhis untuk Reformasi yang mewakili 40 organisasi masyarakat sipil, dan Masyarakat Kehidupan Indra Net yang mewakili 23 wihara dan organisasi non pemerintah.

Asia Tenggara dipelopori oleh gerakan SEB berbasis di Thailand, dengan nama International Network of Engaged Buddhism disingkat INEB yang didirikan pada tahun 1989 oleh Sulak Sivaraksa, seorang penulis dan pembaharu Thailand. Sementara untuk Indonesia, konsepsi ini mulai diperkenalkan pada awal era 90-an melalui Majalah Hikmahbudhi. Mahasiswa buddhis di Indonesia mulai menawarkan realitas alternatif gerakan Buddhis di berbagai negara, yang memperkuat diskursus yang mulai berkembang di Indonesia bahwa ajaran Buddha seharusnya terintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya, politik, sosial, lingkungan dan lain sebagainya. Era 90-an tersebut juga ditandai dengan reorientasi gerakan mahasiswa Buddhis di Indonesia, dari aktivitas ritual dan karitatif ke arah gerakan yang lebih substansial yakni keterlibatan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia disingkat HIKMAHBUDHI.

Umat Buddha di Amerika Utara, Eropa, Australia, bahkan Afrika Selatan pun mulai mendirikan berbagai organisasi Buddhis yang didedikasikan untuk aktivitas dan pelayanan sosial dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Salah satu contohnya adalah Buddhist Peace Fellowship yang berbasis di California yang didirikan pada tahun 1977 oleh Master Zen Robert Aitken. Kelompok ini mengkoordinir program pengembangan masyarakat, reformasi penjara, dan bantuan internasional melalui penerbitan buku-buku di Amerika Serikat dan majalah Turning Wheel: The Journal of Socially Engaged Buddhism.

Peacemaker Circle International, yang berpusat di Massachusetts, telah berdiri sejak 1996 oleh Bernie Glassman, seorang insinyur penerbangan dan mantan pemegang silsilah dalam tradisi Soto Zen Jepang, mensponsori "retret menjadi saksi" di pusat-pusat penderitaan dan kekerasan, seperti jalan-jalan di Manhattan bawah, situs kamp kematian di Auschwitz-Birkenau di Polandia, dan komunitas Yahudi dan Palestina di Timur Tengah. Sementara itu, Kampanye Internasional untuk Tibet, yang berbasis di New York dan Washington, DC, mengkoordinir dukungan publik bagi masyarakat pengungsi dan pengasingan Tibet diaspora dan mengatur tekanan internasional terhadap pemerintah China untuk menghormati Hak Asasi Manusia dan budaya masyarakat Tibet, yang telah diduduki sejak 1959.

Hingga saat ini, pengakuan internasional telah diperoleh dua tokoh Buddhis yang digolongkan mempraktikkan SEB, berupa Hadiah Nobel Perdamaian, yakni Tenzin Gyatso, Dalai Lama keempat belas dari Tibet (1989), dan Aung San Suu Kyi, pemimpin oposisi di Myanmar (1991). Selain itu juga terdapat tiga tokoh lainnya yakni  Thich Nhat Hanh-Vietnam, Maha Ghosananda-Kamboja, dan Sulak Sivaraksa-Thailand, yang pernah dinominasikan untuk memperoleh hadiah Nobel Perdamaian.

 

Kesimpulan

Terminologi EB lahir dari suatu konteks politik di Vietnam, dimana umat Buddha harus menghadapi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa. Pilihan bagi para biksu hanya dua, tetap duduk tenang dan mengembangkan cinta kasih melalui meditasi, atau turut serta dalam usaha-usaha mengurangi persoalan dan penderitaan di masyarakat. Thich Nhat Hanh dan biksu-biksu lain di Vietnam kala itu, mengambil pilihan kedua, yakni melibatkan diri secara langsung dalam usaha menegakkan kebenaran dan keadilan bagi rakyat Vietnam.

Aksi-aksi tanpa kekerasan dilakukan, namun tanpa kekerasan bukan berarti aksi yang lemah dan tanpa karakter. Prinsip-prinsip Buddhis digunakan secara langsung dan membumi, mulai demonstrasi damai yang dihadapi dengan represif oleh Diem, hingga aksi membakar diri Biksu Thich Quang Duc yang demikian mengguncang dunia, dan berhasil menggugah negara-negara lain untuk peduli dan membantu Vietnam lepas dari rejim Diem yang demikian menindas. 

Konteks konfliktual tidak hanya dihadapi Thich Nhat Hanh (Vietnam), tapi juga tokoh-tokoh lain seperti Ambedkar (India), Dalai Lama (Tibet), Sulak Sivaraksa (Thailand), Maha Ghosananda (Kamboja), Aung San Suu Kyi (Myanmar), dan Ariyaratne (Srilanka). Jadi EB tidak lahir dari ruang sunyi dan penuh wangi dupa dan bunga, tapi ia lahir dari proses perjuangan dan perenungan yang mendalam akan penderitaan, asal penderitaan, cara mengatasinya dan lenyapnya penderitaan.

Proses perjuangan tidak dipenuhi dengan lantunan mantra-mantra suci dan ketenangan, tapi penuh kegaduhan, darah dan air mata. Sebagaimana empat hukum kebenaran, pertama, mereka menyadari bahwa penderitaan hadir di tengah-tengah rakyat dan bangsanya. Kedua, mampu mencari dan menemukan penyebab dari penderitaan tersebut yakni ketidakadilan, kesewenang-wenangan penguasa, kemiskinan dan lain-lain.  Ketiga, melakukan berbagai usaha untuk melenyapkan penderitaan dan terakhir pembebasan rakyat dan bangsanya dari penderitaan.

EB dalam bahasa Vietnam jika diterjemahkan secara harafiah bermakna Buddhisme yang menapak di bumi, ajaran Buddha yang dipraktikkan langsung di tengah-tengah penderitaan yang nyata di masyarakat, bukan hanya sebuah proses pengulangan ajaran dan meditasi yang bersifat  personal. Ghosananda (2003), menggambarkan dengan sangat jelas konsepsi tersebut dalam puisi Wihara Sejati:

“…Kamp-kamp pengungsian, ruang-ruang sel penjara, tempat-tempat di perkampungan kumuh, daerah-daerah konflik dan peperangan, ladang pertanian dan pabrik yang penuh ketidakadilan, itulah yang kemudian menjadi wihara kita. Dunia dan kehidupannya adalah rumah wihara kita, seluruh kehidupan adalah saudara kita, mencintai, membantu, empati, peduli dan melayani adalah tugas dan agama sejati kita…”

Konteks kelahiran EB adalah perjuangan yang nyata, bersentuhan langsung dengan penderitaan dan berusaha mengatasinya dengan penuh kesadaran dan menggunakan prinsip-prinsip dharma yang sesungguhnya bersifat universal. EB bukan hanya persoalan meditasi kesadaran, tapi aksi nyata dari setiap orang yang telah memahami bahwa ada benih-benih Buddha dalam dirinya dan setiap mahluk.  

Lonceng kesadaran bukan sekedar benda logam yang dibunyikan pada sesi-sesi latihan meditasi, tapi kepekaan dan keberanian sebagai manusia, untuk berbuat sesuatu bagi manusia dan semesta adalah lonceng kesadaran sesungguhnya. Meditasi personal adalah proses penguatan kesadaran, tapi kekuatan kesadaran itu harus digunakan secara langsung pada saat melakukan perjuangan untuk manusia dan alam semesta, karena perjuangan selalu merupakan proses yang pasti membutuhkan keuletan, kemurnian dan keberanian.

Perjuangan tanpa kekerasan akan selalu menghadapi resiko dihadapi dengan kekerasan, bahkan perjuangan tanpa kekerasan terkadang tampak bagai kekerasan itu sendiri, seperti aksi bakar diri misalnya. Latar belakang kelahiran gerakan Engaged Buddhism di berbagai negara adalah ketidakadilan struktural dan kesewenang-wenangan, sehingga jelas bahwa keterlibatan mengandung makna aktif dan implementatif sebagai bagian yang utuh dari kontemplasi.  Usaha melakukan transformasi diri tidaklah dijalankan terpisah dari usaha melakukan transformasi berbagai hal di luar diri, karena kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan.


Daftar Pustaka
Aitken, Robert. The Mind of Clover: Essays in Zen Buddhist Ethics. San Francisco, 1984.

Ambedkar, B. R. The Buddha and His Dhamma. 3d ed. Bombay, 2001.

Chappell, David, ed. Buddhist Peacework: Creating Cultures of Peace. Boston, 2000.

Dalai Lama. Policy of Kindness: An Anthology of Writings by and about the Dalai Lama. Ithaca, New York, 1990.

Darlington, Susan M. "Buddhism and Development: The Ecology Monks of Thailand." In Action Dharma: New Studies in Engaged Buddhism, edited by Christopher S. Queen, Charles Prebish, and Damien Keown, London, 2003.

Eppsteiner, Fred, ed. The Path of Compassion: Writings on Socially Engaged Buddhism. 2d ed. Berkeley, California, 1988.

Gettleman, Marvin E. Vietnam: History, documents and opinions on a major world crisis. Penguin Books, Harmondsworth, Middlesex, 1966.

Ghosananda, Maha. Doa Sang Pembawa Damai, HIKMAHBUDHI, Malang, 2003.

Halberstam, David; Singal, Daniel J. The Making of a Quagmire: America and Vietnam during the Kennedy Era. Rowman & Littlefield, Lanham, Maryland, 2008.

Hammer, Ellen J. A Death in November: America in Vietnam, 1963. E. P. Dutton, New York, 1987.

Harris, Ian, ed. Buddhism and Politics in Twentieth-Century Asia. London, 2001.

Harvey, Peter. An Introduction to Buddhist Ethics: Foundations, Values, and Issues. London, 2000.

Hunt-Perry, Patricia, and Lyn Fine. "All Buddhism Is Engaged: Thich Nhat Hanh and the Order of Interbeing." Dalam Engaged Buddhism in the West, diedit oleh Christopher S. Queen, Boston, 2000.

Jacobs, Seth. Cold War Mandarin: Ngo Dinh Diem and the Origins of America's War in Vietnam, 1950–1963. Rowman & Littlefield, Lanham, Maryland, 2006.

Jones, Howard. Death of a Generation: how the assassinations of Diem and JFK prolonged the Vietnam War. Oxford University Press, New York, 2003.

Karnow, Stanley. Vietnam: A history. New York City, Penguin Books, New York, 1997.

Kaza, Stephanie. "To Save All Beings: Buddhist Environmental Activism." In Engaged

Buddhism in the West, edited by Christopher Queen, pp. 159–217. Boston, 2000.

Keer, Dhananjay. Dr. Ambedkar: Life and Mission. 3d ed. Bombay, 1971.

King, Sallie B. "Thich Nhat Hanh and the Unified Buddhist Church: Nondualism in Action." In Engaged Buddhism: Buddhist Liberation Movements in Asia, edited by Christopher S. Queen and Sallie B. King, Albany, New York, 1996.

Kraft, Kenneth, ed. Inner Peace, World Peace: Essays on Buddhism and Nonviolence. Albany, N.Y., 1992.

Macy, Joanna. "The Greening of the Self." In Dharma Gaia: A Harvest of Essays in Buddhism and Ecology, edited by Allan Hunt Badiner. Berkeley, California, 1990.

Macy, Joanna. Mutual Causality in Buddhism and General Systems Theory: The Dharma of Natural Systems. Albany, N.Y., 1991.

Nhat Hanh, Thich. Being Peace. Berkeley, California, 1987.

Queen, Christopher S. "Introduction: The Shapes and Sources of Engaged Buddhism." In Engaged Buddhism: Buddhist Liberation Movements in Asia, edited by Christopher S. Queen and Sallie B. King, Albany, 1996.

Queen, Christopher S. "The Peace Wheel: Nonviolent Activism in the Buddhist Tradition." In Subverting Hatred: The Challenge of Nonviolence in Religious Traditions, edited by Daniel L. Smith-Christopher, Cambridge, Mass., 1998.

Queen, Christopher S. "Engaged Buddhism: Agnosticism, Interdependence, Globalization." In Westward Dharma: Buddhism beyond Asia, edited by Charles S. Prebish and Martin Baumann, Berkeley, California, 2002.

Queen, Christopher S., ed. Engaged Buddhism in the West. Boston, 2000. Comprehensive treatment of eighteen movements in North America, Europe, Australia, and South Africa.

Queen, Christopher S., and Sallie B. King, eds. Engaged Buddhism: Buddhist Liberation Movements in Asia. Albany, New York, 1996.

Santikaro Bikkhu. "Buddhadasa Bhikkhu: Life and Society through the Natural Eyes of Voidness." In Engaged Buddhism: Buddhist Liberation Movements in Asia, edited by

Christopher S. Queen and Sallie B. King. Albany, N.Y., 1996.

Sheehan, Neil. A Bright Shining Lie: John Paul Vann and America in Vietnam. Random House, New York, 1988.

Sivaraksa, Sulak. Benih Perdamaian: Visi Buddhis untuk Pembaharuan Masyarakat. Yayasan Pencerahan, Jakarta, 1997.

Tucker, Spencer C. Encyclopedia of the Vietnam War: A Political, Social and Military History. Santa Barbara, California, 2000.

Tweed, Thomas A. The American Encounter with Buddhism: 1844–1912, Victorian Culture and the Limits of Dissent. Bloomington, Ind., 1992.


Victoria, Brian. Zen at War. New York, 1997. Pathbreaking work on Budhhism and violence.

Jurnal dan Makalah Ilmiah
Adam, Roberts. Buddhism and Politics in South Vietnam. The World Today, Royal Institute of International Affairs, London, vol. 21, no. 6, June 1965, pp. 240–50 analyses the causes of the Buddhist crisis and its significance as a case of non-violent struggle.

Queen, Christopher S., Charles Prebish, and Damien Keown, eds. Action Dharma: New Studies in Engaged Buddhism. London, 2003. Esai-esai sejarah, etnografi dan metodologi dari Jurnal Buddhist Ethics online conference.

Rothberg, Donald. "Resources on Socially Engaged Buddhism." Turning Wheel: The Journal of Socially Engaged Buddhism. Spring, 2004. Hal. 30-37.

Tucker, Mary Evelyn, and Duncan Williams, eds. Buddhism and Ecology: The Interconnection of Dharma and Deeds. Makalah Ilmiah tentang Buddhis dan Environmentalisme, disajikan di konferensi Universitas Harvard. Cambridge, Mass., 1998.

Watts, Jonathan. The Search of Socially Engaged Buddhism in Japan. Tokyo, 2004.
 

Yarnell, Thomas Freeman. "Engaged Buddhism: New and Improved? Made in the USA of Asian Materials." In Action Dharma: New Studies in Engaged Buddhism, diedit oleh Christopher S. Queen, Charles Prebish, dan Damien Keown, eds., London, 2003. Hal 286-344.

Transkrip

Nhat Hanh, Thich, Transkrip ceramah dharma pada salah satu sesi retreat meditasi di Hanoi, Vietnam, ditranskrip oleh Sever Greg, diedit oleh Janelle Combelic dan Sister Annabel. Terjemahan Bahasa Indonesia dan catatan kaki oleh Eddy Setiawan. Hanoi, 2008.

Situs
www.quangminh.org.au, An Quang Buddhist Institute, 2009.


Eddy Setiawan, Direktur Kajian Institut Nagarjuna