Malam itu asap dupa dengan wewangiannya yang khas merebak
penuh mistis di sekitar anjungan Provinsi Riau Taman Mini Indonesia Indah
(TMII), asap itu bersumber dari ribuan suku tionghoa yang sebagian besar adalah
masyarakat Bagan Siapi-api yang ada di Jakarta dan sekitarnya yang sedang
melakukan sebuah ritual turun temurun bernama Bakar Tongkang. Acara ini digelar
oleh masyarakat tionghoa dari Kabupaten Rokan Ilir.
Bakar Tongkang adalah sebuah tradisi suku tionghoa yang
sempat dilarang di masa kekuasaan Orde Baru, namun tetap dilakukan secara
sembunyi-sembunyi oleh masyarakat tionghoa di Bagan Siapi-api pada saat itu.
Ritual yang berakar dari tradisi bahari para leluhur orang tionghoa di Bagan
ini, telah dilakukan sejak 128 tahun yang lalu dan tetap dilestarikan hingga
kini. Masyarakat Bagan percaya bahwa ritual ini akan membuat laut senantiasa
memberikan berkahnya bagi masyarakat Bagan yang menggantungkan diri pada hasil
laut.
Tongkang yang dimaksud adalah sebuah perahu yang dibuat
dengan ukuran sesuai petunjuk dewa, sedang desainnya konon merupakan bentuk
tongkang yang digunakan warga tionghoa awal yang berlayar dari Desa
Songkla-Thailand dan mendarat di Bagan pada tahun 1826. Ritual di TMII ini
sebenarnya sekaligus merupakan agenda wisata pemerintah Riau, untuk lebih
memperkenalkan tradisi Bakar Tongkang yang memang telah ditempatkan menjadi
salah satu agenda wisata andalan provinsi ini. Warga Tionghoa dan pemerintah
Riau mempunyai ambisi membawa tradisi Bakar Tongkang go internasional. Sebuah
ambisi yang cukup beralasan, sebab selama ini di Bagan sendiri, tradisi ini
telah menyedot perhatian wisatawan domestik maupun manca negara.
Pada perayaan terakhir, wisatawan dari Cina, Hongkong,
Singapura dan Australia pun datang ke Bagan untuk menyaksikan secara langsung
tradisi unik ini. Untuk perayaan di TMII, menurut Jhoni, salah seorang panitia
penyelenggara, ukuran yang digunakan adalah 8 x 3.2 m dan untuk melengkapi
upacara ini dilibatkan 12 orang yang trans atau kemasukan dewa-dewa tertentu.
Kedua belas orang yang disebut Luk Thong inilah yang mengawal selama perjalanan
arak-arakan tongkang. Penyelenggara,
Prosesi
Upacara Bakar Tongkang di TMII diawali dengan proses
mengundang para dewa agar memasuki raga para Luk Thong. Orang-orang terpilih
ini, melakukan sejumlah ritual dengan diiringi tetabuhan yang berbunyi sangat
nyaring. Suasana menjadi sedemikian mistis, diantara asap dupa yang semakin
pekat dan tetabuhan yang riuh rendah, sorak sorai umat membahana pada saat satu
persatu Luk Thong mengalami trans yang ditandai gerakan kepala yang
menggeleng-geleng dengan sangat cepat, dan mulai memukul-mukulkan sejenis bola
besi yang tajam ke tubuhnya.
Suasana makin meriah tat kala, salah satu Luk Thong membuat
Hu yang kemudian menjadi rebutan umat. Para Luk Thong yang pipinya ditusuk
dengan paku ini, kemudian satu persatu digiring oleh serombongan penabuh dan
pengiringnya untuk memberkati altar-altar yang ada. Umat yang berada di sekitar
altar dengan penuh kesungguhan tampak mengacung-acungkan dupa dan mengucapkan
permohonan, sementara para Luk Thong tampak seolah-olah sedang berkomunikasi
dengan dewa di altar-altar tersebut. Setiap Luk Thong mewakili karakteristik
dewa tertentu, ada yang membawa pedang dan juga gada berduri.
Setelah semua Luk Thong melakukan ritual di setiap altar,
kemudian mereka diarahkan menuju Tongkang dan semuanya melakukan ritual di
depan tongkang. Umat mulai berbaris di sepanjang jalan, dengan dupa di tangan
bersiap-siap mengikuti arak-arakan menuju panggung utama dimana Tongkang akan
di bakar di depan tamu undangan yang terdiri dari pemerintah Riau dan beberapa
duta besar serta masyarakat umum. Dari Anjungan Riau, tongkang yang diangkat
puluhan orang mulai diarak, pada posisi terdepan adalah beberapa replika dewa
dari kertas yang rata-rata menunggang kuda, kemudian barulah tongkang dan
dibelakangnya dengan dupa ditangan ribuan umat dengan khusyuk mengikuti,
sementara di kanan kiri tampak masyarakat umum turut menyaksikan.
Lampion-lampion yang di pasang sepanjang jalan menuju
panggung utama menambah semarak suasana. Setelah tiba di panggung utama, acara
dilanjutkan dengan mendengarkan sambutan dari pemerintah Riau yang diwakili
kepala dinas pariwisata Propinsi Riau karena Gubernur Riau tidak dapat hadir. Sementara
diantara undangan, tampak hadir Bupati Rokan Ilir, anggota DPD Riau, duta besar perancis dan
RRC.
Sorak sorai umat yang mengiringi prosesi persiapan
pembakaran Tongkang menenggelamkan pengeras suara, sehingga seolah tak
menghiraukan acara sambutan. Setelah sambutan selesai segera panitia, tokoh
Tionghoa Bagan Siapi-api dan Bupati Rokan Ilir didaulat menuju panggung untuk
menekan tombol kembang api yang memancar seperti air mancur di kanan kiri
tongkang. Selanjutnya mereka juga melakukan penyulutan api untuk membakar
tongkang. Segera saja api melalap tongkang yang terbuat dari kertas dari
triplek beserta ornamennya yang khas tersebut. Masyarakat yang memegang dupa
tampak semakin khusyuk memanjatkan permohonannya selama tongkang terbakar.
Uniknya, arah jatuh tiang tongkang adalah hal yang paling
di nanti-nantikan, sehingga begitu tiang tongkang jatuh seluruh umat bersorak
gembira. Menurut beberapa tokoh yang ditemui di lokasi, arah jatuh tersebut
menandakan dimana rejeki akan melimpah, jika jatuhnya ke arah laut berarti
usaha yang berkaitan dengan lautan rejekinya akan melimpah dan sebaliknya
apabila ke arah darat, maka usaha-usaha di darat lah yang akan memberi rejeki
berlimpah.
Asal Mula Tradisi Bakar Tongkang
Dari penuturan beberapa orang panitia Bakar Tongkang di TMII ini, ritual
masyarakat tionghoa Bagan ini sudah dimulai ketika 18 orang warga Tionghoa
bermarga Ang, mendarat pertama kali di tanah Bagan pada 1826 Masehi. Pelayaran
18 orang yang
berasal dari Cina namun sempat mendarat di Thailand sebelum akhirnya
menyeberang ke Bagan ini, menggunakan tiga kapal kayu yang disebut wang kang
atau tongkang. Satu diantara mereka adalah seorang
perempuan. Leluhur masyarakat Tionghoa Bagan ini berasal dari Cina yang sempat
bermigrasi ke Desa Songkla di Thailand pada 1825 Masehi. Mereka adalah,
Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia,
Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un
Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang
Tjie Tui.
Di
Thailand mereka tidak menetap terlalu lama karena kondisi disana tidak aman.
Akhirnya, para imigran ini kembali berlayar dengan menggunakan tiga kapal
mencari daerah yang lebih aman. Hanya satu dari ketiga tongkang tersebut yang
selamat pada saat mendarat di Bagan. Satu
tongkang yang selamat ini dipercaya membawa patung Dewa Tai Sun di haluan dan
Dewa Ki Ong Ya di rumah kapal. Merekalah yang menjadi penduduk awal di Bagan
dan menggantungkan hidup sebagai nelayan, dan setelah berkembang mereka
membangun bang liu atau gudang penampungan ikan.
Beberapa waktu setelah menetap dimulailah tradisi
Bakar Tongkang, yang menurut Bapak Santosa salah seorang panitia,
diadakan untuk mengucap syukur dan memohon rejeki serta kebulatan tekad untuk
tetap bertahan di daerah perantauan. Sehingga mereka membakar semua benda-benda yang dibawa
pada saat pertama kali mendarat, termasuk tongkang yang ditumpangi. Dari
sinilah kemudian berkembang tradisi Bakar Tongkang yang masih dilakukan oleh
keturunan mereka pada saat ini.
Meski sempat bernasib sama
sebagaimana tradisi tionghoa lainnya pada masa orde baru, ritual bakar tongkang
ini sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid dilakukan secara teratur dan terbuka
setiap tahun. Bagan Siapi-api, sebuah kota yang sangat lekat dengan Bandar ikan
ini pada masa keemasannya pernah menjadi penghasil ikan terbesar kedua di dunia
setelah Norwegia. Namun, akibat salah urus, maraknya penggunaan pukat harimau
dan tidak pro aktifnya pemerintah pada masa lalu membangun Bagan Siapi-api
secara berkesinambungan,
Bagan saat ini tidak lagi
diperhitungkan sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia. Entah bagaimana
perasaan 18 orang perintis tersebut melihat kondisi ini, yang pasti tradisi
bakar tongkang sekarang telah menjadi salah satu agenda wisata andalan Pemprov
Riau maupun Kabupaten Rokan Ilir, layaknya berbagai peninggalan nenek moyang
dari masa lalu, seperti juga candi-candi dan benda peninggalan sejarah lainnya,
tradisi tua ini memang dapat dimanfaatkan untuk menambah pundi-pundi daerah.
Namun satu hal yang harus
benar-benar diperhatikan adalah bagaimana berlaku seimbang dan mengelola secara
cerdas, sehingga ada keseimbangan antara usaha melestarikan dan pemanfaatannya
sebagai obyek wisata. Selain hal tersebut, satu pertanyaan yang perlu dijawab
oleh suku Tionghoa di Bagan adalah apakah sudah ada transformasi nilai-nilai
yang terkandung dalam tradisi ini dari kaum yang lebih tua kepada kaum muda
Tionghoa disana? Sebab tanpa hal tersebut, sebuah tradisi hanya akan menjadi ritual
tanpa makna yang membingungkan dan akhirnya ditinggalkan oleh generasi yang
lebih muda.
Semoga ritual Bakar Tongkang
ini tidak bernasib demikian, tidak menjadi tradisi yang kering, tapi menjadi
tradisi yang sarat nilai, yang dapat dipahami dan dihayati tidak hanya bagi
suku Tionghoa tapi juga anak bangsa lainnya. Nilai-nilai yang dapat dipelajari
dari leluhur yang memulai tradisi ini antara lain, keberanian, keuletan
berusaha, memiliki rasa syukur terhadap apa yang diberikan alam dan menghargai
kepercayaan leluhur. Sesuatu yang mungkin tidak lagi dimiliki oleh kaum muda
tionghoa saat ini, yang telah hanyut dan tersesat di dunia materialisme.
Alih-alih menghargai tradisi
leluhur, saat ini kaum muda tionghoa telah banyak yang tercerabut dari akar
budayanya sendiri, entah karena kepungan dunia materi maupun ideologi keagamaan
yang tidak ramah terhadap budaya. Sehingga dapat kita saksikan saat ini, kaum
muda yang hedon dan merasa modern padahal sejatinya bersandar penuh kegamangan
pada tradisi yang sebenarnya asing bagi dirinya. Segelintir kaum muda yang
masih berusaha mengenali dan memahami tradisi leluhurnya, semoga memiliki
kekuatan dan kebulatan tekad sebagaimana nenek moyangnya dahulu untuk tidak
hanyut dan ditaklukkan oleh mainstream. Sehingga tradisi akan memberikan
manfaat yang jauh lebih berharga daripada sekedar materi.
Eddy Setiawan, Maret 2006