Wednesday, September 11, 2013

Peraturan Presiden Boros Subsidi



Harga BBM telah ditetapkan naik dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.500, sebagai kompensasi pemerintah berjanji akan membagikan BLSM kepada kelompok yang rentan terhadap dampak kenaikan BBM. Terlepas dari berbagai persoalan pembagian balsem kepada masyarakat, sesungguhnya kenaikan harga BBM ini harus dibarengi dengan kesungguhan pemerintah untuk menjadikan transportasi massal sebagai moda utama di seluruh kota besar di Indonesia karena hal ini sangat terkait dengan upaya melakukan penghematan penggunaan BBM.

DKI Jakarta dapat digunakan sebagai contoh, betapa kemacetan telah demikian merugikan kita semua. Menyitir data IPKC (2012) kerugian akibat kemacetan di DKI Jakarta saja sebesar Rp. 68 Triliun per tahun, baik karena BBM yang menguap di tengah kemacetan maupun kerugian akibat berbagai penyakit yang timbul dari polusi udara, apalagi kalau bicara kualitas hidup! Bandingkan angka tersebut dengan total investasi untuk membangun monorel penumpang Jabodetabek, monorel bandara dan monorel barang yang akan digarap konsorsium BUMN, yang hanya membutuhkan Rp. 12 Triliun, sedangkan monorel dalam kota yang dikerjakan Pemprop DKI Jakarta bersama pihak swasta hanya membutuhkan Rp. 8 Triliun. Jadi total investasinya hanya 1/3 dari kerugian akibat kemacetan.

Proyek-proyek tersebut sesungguhnya dapat dirampungkan dalam waktu paling cepat 18 bulan, namun entah apa yang terjadi diantara presiden dan para menteri terkait, hingga saat ini Peraturan Presiden yang diperlukan sebagai payung hukum pelaksanaan proyek monorel Jabodetabek tidak kunjung dikeluarkan. Apakah pemerintah sudah terlalu sibuk membagikan balsem dan mempersiapkan alat kontrol untuk mencegah penggunaan “BBM bersubsidi” oleh pemilik mobil sehingga lamban menyelesaikan perpres tersebut? Padahal pembangunan monorel, khususnya yang melayani rute dari daerah penopang seperti Bekasi dan Cibubur seharusnya menjadi prioritas, karena akan menghemat penggunaan BBM dalam jumlah besar dan mengurangi polusi udara serta menurunnya resiko berbagai penyakit akibat polusi yang ironisnya lebih banyak terjadi pada kalangan miskin yang tidak bermobil.

Mari kita hitung jumlah kendaraan yang masuk ke Jakarta dari daerah sekitarnya untuk membuktikan hal tersebut. Menurut data Jasa Marga (2013) jumlah kendaran yang masuk ke Jakarta setiap harinya adalah sebanyak 1.465.000 mobil melalui berbagai jalan tol yang ada. Tol Jagorawi dan Cikampek adalah penyumbang terbesar yakni sebanyak 940.000 mobil/hari, jadi wajar saja jika setiap hari para pengguna tol harus rela membuang-buang BBMnya akibat kemacetan di JALAN TOL!

Bayangkan apabila 50% dari pengguna tol Jagorawi dan Cikampek beralih menjadi penumpang monorel, dengan asumsi penggunaan BBM rata-rata 10 liter/mobil/hari maka penghematan yang terjadi adalah 4.700.000 liter x Rp. 6.500 = Rp. 30.055.000.000/hari atau setara dengan Rp. 10.819.800.000.000/tahun, belum termasuk penghematan karena berkurangnya kemacetan yang berarti kerugian sebesar Rp. 68 Triliun akibat kemacetan sebagaimana dilansir IPKC jika dianggap akan berkurang separuhnya, ini berarti penghematan Rp. 34 Triliun sehingga total penghematannya sekitar Rp. 44 triliun, 1/3 dari apa yang diistilahkan pemerintah sebagai “subsidi” BBM di APBN. Belum termasuk penghematan dari monorel bandara dan Tanjung Priok bahkan belum menghitung peningkatan produktivitas yang tercipta apabila semua infrastruktur ini segera terwujud.

Lalu mengapa sampai sekarang Peraturan Presiden yang dibutuhkan agar proyek ini segera bisa direalisasikan belum juga turun? Mana bukti suistanable growth with equity dengan 4 pilar pembangunan ekonomi sosial yang dicanangkan Bapak Presiden yaitu pro-growth, pro-poor, pro-job dan pro-environtment? Jangan sampai tarik ulur kebijakan terjadi hanya karena hitung-hitungan politik menuju 2014, padahal realisasi berbagai infrastruktur tersebut sudah amat sangat mendesak! Bagi DKI Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Rakyat sedang menunggu era baru yang mengarusutamakan transportasi publik, semoga presiden dan para menterinya tidak lamban mewujudkan Perpres untuk hal-hal yang bersifat produktif dan bisa berdampak pada perbaikan lingkungan hidup, bahkan bisa menghemat penggunaan BBM yang berarti juga menghemat devisa karena sampai sekarang pemerintah masih hobi impor BBM. Pada kasus monorel ini, hanya untuk jurusan Jakarta-Cibubur saja setiap hari keterlambanan akan diboroskan Rp. 120 Milyar uang negara. Apalagi sesungguhnya draft Perpres sudah masuk di Menko Perekonomian sejak Maret 2013 artinya sudah 6 bulan berlalu hingga hari ini, jangan sampai justru setelah rakyat dikurangi “subsidinya” dengan kenaikan BBM, malah rakyat harus mensubsidi Perpres karena lambannya kerja para pejabat.

Eddy Setiawan, Direktur Kajian Institut Nagarjuna

Tuesday, September 10, 2013

Sejarah Agama Buddha: Engaged Buddhism



Ajaran Buddha pada beberapa dekade lalu, sering dipandang sebagai ajaran yang hanya berfokus pada diri sendiri, pesimistis bahkan ada yang menilainya mendekati escapism. Kesan ini muncul karena Buddhisme yang berkembang di Asia dalam praktiknya lebih menekankan pada aspek transformasi diri yang terkesan lepas dari pengaruh lingkungan dan struktur sosial, politik, budaya, hukum dan lain-lain di sekitarnya. 

Kecenderungan ini semakin menguat karena secara budaya politik, Asia di dominasi oleh pemerintahan otoriter dimana keseragaman dan penyeragaman merupakan hal yang dianggap wajar, termasuk dalam pemikiran di bidang agama. 

Pemerintahan otoriter telah membentuk komunitas agama menjadi bagian dari status quo, sehingga agama hanya diarahkan sebagai bagian dari kehidupan pribadi dan tidak ada kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintahan otoriter senantiasa berusaha menekan bahkan menghilangkan partisipasi civil society, termasuk komunitas agama sebagai salah satu kekuatan civil society yang ada. Hal ini telah memposisikan agama hanya sebatas alat legitimasi kekuasaan, yang minim bahkan tanpa kritik sosial sehingga akhirnya menggiring pada bentuk-bentuk aktivitas yang terbatas pada aspek ritual dan kegiatan sosial karitatif.

Pola ini dalam konteks agama Buddha, sesungguhnya telah didobrak dengan hadirnya gerakan Socially Engaged Buddhism, yang merupakan antitesa dari kondisi di atas. Gerakan ini mulai bermunculan di Asia maupun negara-negara Barat, sejak tahun 1950-an, namun di Indonesia gerakan ini baru mulai diperkenalkan pada medio 90-an oleh majalah mahasiswa Buddhis yang bernama Hikmahbudhi.

Terminologi SEB yang secara harafiah berarti Buddhisme yang terlibat secara sosial, merupakan suatu istilah yang  menunjukkan hadirnya aktivisme politik dan sosial yang lebih substantif oleh masyarakat dan organisasi Buddhis. Hal ini timbul seiring dengan terjadinya peningkatan keterlibatan politik kelompok-kelompok agama secara global, seperti yang dilakukan agama Islam, Kristen, Yahudi, dan Hindu, organisasi Buddhis mulai terlibat dalam mendukung kampanye untuk resolusi konflik, Hak Asasi Manusia, pembangunan ekonomi pedesaan, energi alternatif, dan perlindungan lingkungan serta isu-isu lainnya.

Komunitas Buddhis di berbagai negara juga telah berkembang tidak sekedar aktif dalam kegiatan yang bersifat misioner, tapi juga melakukan kegiatan karitatif yang lebih maju seperti bakti sosial pengobatan, program pendidikan, pemberdayaan dan pembangunan komunitas, hingga keberpihakan terhadap masyarakat marginal, isu masyarakat non-kasta, sampai isu perempuan dan anak-anak, HIV/AIDS, dan narapidana. Kelompok-kelompok yang digolongkan sebagai SEB ini, berpendirian bahwa Ajaran Buddha sudah seharusnya diintegrasikan ke dalam setiap aspek kehidupan, dan semua itu dapat dipraktikkan oleh setiap Buddhis, baik sebagai umat awam maupun anggota sanggha.

Menyitir terminologi yang digunakan Jonathan Watts dalam The Search of Social Engaged Buddhism in Japan (2004), maka kelompok-kelompok SEB di seluruh dunia telah menembus batas-batas aktivitas keterlibatannya, dari gerakan misioner, kesejahteraan masyarakat hingga perubahan sosial. Bagian terbesar masih dalam gerakan misioner seperti pembangunan tempat ibadah, pembinaan umat, retret meditasi dan lain-lain, sebagian sudah memasuki keterlibatan yang lebih jauh untuk membentuk kesejahteraan masyarakat, dan baru sebagian kecil yang bergerak untuk perubahan sosial.

Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui proses dan latar belakang terciptanya istilah Engaged Buddhism disingkat EB serta siapa saja tokoh-tokoh kunci gerakan Socially Engaged Buddhism awal. Peneliti melakukan studi pustaka terhadap berbagai sumber terkait EB dari buku, jurnal dan sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan. EB merupakan suatu terminologi yang sudah cukup dikenal di Indonesia, terutama setelah tahun 90-an, namun hingga saat ini belum terdapat buku dan tulisan ilmiah di Indonesia tentang sejarah gerakan EB. Tanpa memahami konteks kelahiran istilah EB, maka pemahaman terhadap makna keterlibatan menjadi parsial, hal inilah yang merupakan signifikansi penelitian ini.

 

Thich Nhat Hanh dan Engaged Buddhism

Istilah Engaged Buddhism diciptakan Thich Nhat Hanh, seorang master Zen dari Vietnam yang telah mendirikan lembaga pendidikan dan keagamaan dengan orientasi perdamaian selama Perang Vietnam. Ia juga memimpin protes antiperang, terlibat dalam pembangunan kembali desa-desa korban perang, pengungsi, aktif dalam lobi-lobi internasional untuk mendorong perdamaian, dan menuliskan artikel dan buku-buku tentang krisis yang dihadapi negaranya dan komunitas Buddhis di Vietnam. Istilah ini kemudian berkembang menjadi Socially Engaged Buddhism untuk mengidentifikasi praktik dharma dari kelompok-kelompok Buddhis di berbagai belahan dunia, yang memiliki keterlibatan sosial secara lebih mendalam, membawa dharma dalam praktik kehidupan manusia dengan segala aspeknya.

Thich Nhat Hanh adalah pendiri Pagoda Ung Quang dan Institut Buddhis Quang di Kota Ho Chi Minh pada tahun 1949, pada masa perang antara Perancis dengan gerakan perlawanan Vietnam.Institut Buddhis Quang yang didirikan Thich Nhat Hanh bersama Tri Qu saat ini telah berkembang menjadi universitas terkemuka di Vietnam Selatan, dan merupakan tempat pertemuan utama para pemimpin Buddhis Vietnam di Saigon, serta menjadi tempat kedudukan Institute for Dharma Propagation yang sangat dihormati. Institut ini memiliki peran penting dalam pengembangan agama Buddha di Vietnam.

Pagoda Quang adalah pusat dari Sekolah Kajian Buddhis, dan sekretariat Wihara-Wihara Buddha Bersatu Vietnam yang dilengkapi perpustakaan dan penerbit. Pagoda ini telah berperan dalam melatih banyak sekali guru-guru Dharma, sramanera dan sramaneri, biksu dan biksuni. Pagoda Quang menjadi sangat dikenal selama Perang Amerika, karena merupakan tempat tinggal seorang biksu bernama Thich Quang Tri, yang melakukan protes tanpa henti terhadap pemerintah Vietnam Selatan, dalam upaya untuk mendorong kebebasan berbicara dan kebebasan ekspresi keagamaan. Hal ini dianggap anti terhadap propaganda pemerintah yang lebih memberi ruang kepada agama Katolik dan berupaya menghancurkan agama Buddha. (www.quangminh.org.au, An Quang Buddhist Institute, 2009)

Hanh (2008) menyatakan bahwa sejak Vietnam dibagi dua melalui Kesepakatan Jenewa 1954 dan perang ideologi dimulai antara komunisme di Utara dan apa yang disebut Diem sebagai personalisme di Selatan yang anti komunis. Hal ini menimbulkan kegamangan di masyarakat, jutaan orang bermigrasi dari Utara ke Selatan, termasuk sebagian besar umat Katolik. Sesuai kesepakatan, tentara Perancis pun meninggalkan Vietnam.

Kegamangan inilah yang tampaknya mendorong Ngoc Vu Cac, seorang manajer Koran harian untuk meminta Thich Nhat Hanh menulis serangkaian artikel tentang Buddhisme sebagai alternatif di tengah kebingungan rakyat Vietnam akibat perang ideologi tersebut. Hal ini direspon Thich Nhat Hanh dengan serangkaian tulisan berjudul A Fresh Look at Buddhism yang terdiri dari sepuluh artikel. Dalam rangkaian sepuluh artikel inilah Thich Nhat Hanh mengusulkan gagasan tentang EB. Buddhisme yang membumi, Buddhisme yang terlibat dan menawarkan solusi dalam berbagai persoalan baik di bidang pendidikan, ekonomi, politik dan lain-lain.

Terminologi dan konsepsi EB kemudian dapat tersebar secara lebih luas, pada saat Thich Nhat Hanh menulis rangkaian sepuluh artikel lainnya, dengan judul Buddhisme Hari Ini, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Perancis oleh Le Vinh Hao, menjadi Aujourd'hui le Boudhisme. Salinan dari hasil terjemahan ini kemudian diberikan Thich Nhat Hanh kepada Thomas Merton, seorang biarawan Trappist yang kemudian membuat ulasan tentang artikel tersebut.

 

Krisis Buddhis sebagai Konteks Keterlibatan

Pada masa kekuasaan rejim Ngo Dinh Diem lah terjadi apa yang disebut dunia barat sebagai Krisis Buddhis, yakni periode penuh ketegangan politik dan agama di Vietnam Selatan akibat sikap diskriminatif Diem terhadap Buddhisme yang terjadi antara bulan Mei hingga November 1963. Adam (1965) menyatakan bahwa Krisis Buddhis ditandai dengan serangkaian tindak kekerasan oleh pemerintah Vietnam Selatan dibawah Diem dan kampanye-kampanye pembangkangan sipil yang pada umumnya dipimpin oleh para biksu. Salah satu pusat perlawanan adalah Pagoda Un Quang yang didirikan Thich Nhat Hanh.

Kesewenang-wenangan rejim Ngo Dinh Diem terhadap umat Buddha tampak dari sikap pemerintahnya yang melakukan pembedaan dalam hal pembagian tanah, bisnis, konsensi pajak serta rekrutmen dan penempatan pejabat pemerintahan di bidang pelayanan publik, militer maupun jabatan penting lainnya (Tucker, 2000).

Pemicu utama perlawanan rakyat Vietnam terhadap Diem menurut Hammer (1987) adalah sikap represif pemerintahan Diem terhadap umat Buddha yang melakukan unjuk rasa damai menentang kebijakan pelarangan pengibaran bendera Buddhis melalui Dekrit Nomor 10. Padahal seminggu sebelumnya bendera-bendera Vatikan dikibarkan dalam sebuah perayaan yang disponsori pemerintah untuk saudara Diem, yaitu Kepala Keuskupan Ngo Dinh Thuc, rahib paling senior di Vietnam kala itu. Sembilan orang umat Buddha tak bersenjata tewas pada unjuk rasa yang dilakukan di pusat kota Hue. Rejim Diem kemudian menuduh umat Buddha telah ditunggangi Vietkong.

King (1996) dan Hunt-Perry dan Fine (2000) memiliki pendapat yang sejalan bahwa aksi-aksi yang dilakukan Thich Nhat Hanh beserta murid dan komunitas Buddhis Vietnam, dianggap sebagai gangguan oleh penguasa Saigon, Hanoi, dan Washington. Konsekuensinya adalah Thich Nhat Hanh dan pengikutnya harus berhadapan dengan represifitas rezim penguasa, ribuan pengikutnya dipenjara dan bahkan banyak yang terbunuh. Eskalasi gerakan yang dilakukan komunitas Buddhis Vietnam mulai dari aksi 500 biksu ke Dewan Nasional di Saigon, mogok makan nasional 48 jam dipimpin Biksu Thich Tinh Kiet, hingga perlakuan aparat keamanan rejim Diem yang menyiramkan zat kimia ke kepala para biksu yang sedang melakukan aksi damai, akhirnya berpuncak pada aksi bakar diri yang dilakukan Biksu Thich Quang Duc di sebuah perempatan jalan di Kota Saigon pada tahun 1963.

Keseluruhan aksi-aksi ini kemudian berhasil mempengaruhi hubungan Amerika dengan rejim Diem. Amerika pada awalnya mendukung Diem, sejalan dengan sikap politik luar negeri Amerika masa itu yang berusaha memerangi pengaruh komunisme di seluruh dunia, diantaranya dengan mendekati dan berusaha mendukung pemimpin-pemimpin di negara yang anti komunis. Namun akhirnya, aksi bakar diri Biksu Thich Quang Duc yang sempat diabadikan Malcolm Browne seorang jurnalis dan fotograper Associated Press dan kemudian menjadi berita utama di berbagai media internasional, mengubah peta politik.

Paska aksi bakar diri yang dilakukan Biksu Thich Quang Duc, rejim Diem bersikap represif terhadap pers asing dan mulai melakukan sensor ketat. Sementara perlawanan rakyat Vietnam terhadap rejim Diem semakin kuat, dengan pusat perlawan di Pagoda Xa Loi, tempat dimana hati dari Biksu Thich Quang Duc yang masih utuh dan tidak terbakar di simpan. Pagoda ini menjadi tempat para biksu mengkoordinir berbagai gerakan perlawanan mulai pembuatan pamflet yang mengkritisi kebijakan rejim Diem, rapat-rapat konsolidasi massa, perencanaan demonstrasi dan mogok makan, hingga melakukan kompilasi berita harian untuk memotivasi para umat dan mempengaruhi mereka yang menjadi pegawai pemerintah di sektor publik maupun militer. (Jones, 2003).

Peningkatan eskalasi ditandai dengan aksi massa yang terus meningkat di Pagoda Xa Loi, hingga mencapai 15.000 orang pada demonstrasi tanggal 18 Agustus 1963 (Halberstam, 2008 dan Sheehan, 1988), bahkan umat Buddha pada saat itu mempersiapkan aksi yang lebih besar dengan memanfaatkan kedatangan Duta Besar Amerika yang baru, Henry Cabot Lodge Junior seminggu kemudian. Kondisi ini direspon militer dengan mengusulkan Darurat Militer, dengan alasan bahwa komunis telah menyusup ke Pagoda Xio Lai dan gerakan umat Buddha akan terus meningkat dan tidak mustahil mereka akan melakukan protesnya hingga istana Gia Long. Diem yang takut kehilangan kekuasaannya, menyetujui usulan para jenderal tersebut tanpa persetujuan kabinetnya.

Masa darurat militer dimulai dengan penyerangan terhadap vihara-vihara yang ada di Vietnam, militer juga melakukan penangkapan terhadap 1.400 umat Buddha dan beratus-ratus lainnya dibunuh atapun hilang. Militer juga menyerang pusat perlawanan yakni Pagoda Xio Lai, dan berusaha merusak altar dimana tersimpan hati Thich Quang Duc, kemudian militer juga melakukan penangkapan terhadap pimpinan biksu tertinggi, Thich Tinh Kiet dan menyatakan Saigon telah aman terkendali di bawah militer, menutup semua bandara dan membatalkan semua penerbangan komersil serta menyatakan pemberlakuan sensor terhadap semua media (Hammer, 1987).

Jacobs (2006), Karnow (1997) dan Halberstam (2008) memiliki analisis yang sama bahwa rangkaian peristiwa di atas kemudian mendorong Amerika berubah sikap terhadap rejim Diem, yang dianggap telah melanggar kesepakatan untuk melakukan reformasi di Vietnam. Pemerintah Amerika kemudian menghimbau Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM yang ada di Vietnam untuk melakukan konsolidasi dengan kelompok-kelompok Buddhis, bahkan Amerika kemudian mendukung usaha kudeta yang dilakukan militer terhadap Diem. Hal ini tampak dari kawat nomor 243 dari Washington kepada Lodge selaku Duta Besar, yang menunjukkan adanya dukungan Presiden John F. Kennedy terhadap kudeta. Rejim Diem berakhir dengan terbunuhnya Diem pada saat terjadi kudeta militer 1 November 1963.

Gerakan SEB di Dunia

Istilah Engaged Buddhism lahir pada tahun 1954 di Vietnam, namun baru dikenal lebih luas setelah Thomas Merton membuat ulasan terhadap artikel Thich Nhat Hanh yang telah diterjemahkan dalam bahasa Perancis pada tahun 1964. Di dunia, gerakan SEB yang mulai menawarkan diskursus baru terhadap perubahan sosial, juga sudah berkembang baik di Asia maupun di negara-negara Barat. Pada tahun 1956 di India telah lahir gerakan politik menentang ketidakadilan terhadap masyarakat Dalit, Untouchable atau non kasta yang dipimpin oleh Dr. Ambedkar. Gerakan lainnya adalah Shramadana Sarvodaya di Srilanka yang dipimpin AT Ariyaratne dimulai tahun 1958, perjuangan Rakyat Tibet dipimpin Dalai Lama XIV Tenzin Gyatso baik di dalam Tibet maupun di pengasingan untuk mendapatkan otonomi khusus atas wilayah dan budaya yang hancur akibat pengambilalihan secara paksa oleh Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1959.

Wacana perempuan juga hadir melalui gerakan Pan-Asia untuk untuk memulihkan tatanan sanggha bikuni di negara-negara di mana pentahbisan tersebut ditentang oleh sanggha biku. Gerakan lainnya adalah Tiga Nichiren yang berakar di Jepang setelah Perang Dunia II dan telah mendapatkan pengikut internasional, dengan misi perdamaian dan pembaharuan budaya. Kelompok kampanye-Soka Gakkai International, Rissho Koseikai, dan Nipponzan Myohoji. Di Taiwan pada tahun 1960 Tzu-Chi Foundation didirikan oleh Biksuni Cheng-yen dengan misi menyebar kebajikan dan welas asih ke seluruh dunia. Korea Selatan menandai hadirnya gerakan SEB dengan lahirnya Koalisi untuk Keadilan Ekonomi Buddhis, Masyarakat Jungto, Solidaritas Buddhis untuk Reformasi yang mewakili 40 organisasi masyarakat sipil, dan Masyarakat Kehidupan Indra Net yang mewakili 23 wihara dan organisasi non pemerintah.

Asia Tenggara dipelopori oleh gerakan SEB berbasis di Thailand, dengan nama International Network of Engaged Buddhism disingkat INEB yang didirikan pada tahun 1989 oleh Sulak Sivaraksa, seorang penulis dan pembaharu Thailand. Sementara untuk Indonesia, konsepsi ini mulai diperkenalkan pada awal era 90-an melalui Majalah Hikmahbudhi. Mahasiswa buddhis di Indonesia mulai menawarkan realitas alternatif gerakan Buddhis di berbagai negara, yang memperkuat diskursus yang mulai berkembang di Indonesia bahwa ajaran Buddha seharusnya terintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya, politik, sosial, lingkungan dan lain sebagainya. Era 90-an tersebut juga ditandai dengan reorientasi gerakan mahasiswa Buddhis di Indonesia, dari aktivitas ritual dan karitatif ke arah gerakan yang lebih substansial yakni keterlibatan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia disingkat HIKMAHBUDHI.

Umat Buddha di Amerika Utara, Eropa, Australia, bahkan Afrika Selatan pun mulai mendirikan berbagai organisasi Buddhis yang didedikasikan untuk aktivitas dan pelayanan sosial dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Salah satu contohnya adalah Buddhist Peace Fellowship yang berbasis di California yang didirikan pada tahun 1977 oleh Master Zen Robert Aitken. Kelompok ini mengkoordinir program pengembangan masyarakat, reformasi penjara, dan bantuan internasional melalui penerbitan buku-buku di Amerika Serikat dan majalah Turning Wheel: The Journal of Socially Engaged Buddhism.

Peacemaker Circle International, yang berpusat di Massachusetts, telah berdiri sejak 1996 oleh Bernie Glassman, seorang insinyur penerbangan dan mantan pemegang silsilah dalam tradisi Soto Zen Jepang, mensponsori "retret menjadi saksi" di pusat-pusat penderitaan dan kekerasan, seperti jalan-jalan di Manhattan bawah, situs kamp kematian di Auschwitz-Birkenau di Polandia, dan komunitas Yahudi dan Palestina di Timur Tengah. Sementara itu, Kampanye Internasional untuk Tibet, yang berbasis di New York dan Washington, DC, mengkoordinir dukungan publik bagi masyarakat pengungsi dan pengasingan Tibet diaspora dan mengatur tekanan internasional terhadap pemerintah China untuk menghormati Hak Asasi Manusia dan budaya masyarakat Tibet, yang telah diduduki sejak 1959.

Hingga saat ini, pengakuan internasional telah diperoleh dua tokoh Buddhis yang digolongkan mempraktikkan SEB, berupa Hadiah Nobel Perdamaian, yakni Tenzin Gyatso, Dalai Lama keempat belas dari Tibet (1989), dan Aung San Suu Kyi, pemimpin oposisi di Myanmar (1991). Selain itu juga terdapat tiga tokoh lainnya yakni  Thich Nhat Hanh-Vietnam, Maha Ghosananda-Kamboja, dan Sulak Sivaraksa-Thailand, yang pernah dinominasikan untuk memperoleh hadiah Nobel Perdamaian.

 

Kesimpulan

Terminologi EB lahir dari suatu konteks politik di Vietnam, dimana umat Buddha harus menghadapi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa. Pilihan bagi para biksu hanya dua, tetap duduk tenang dan mengembangkan cinta kasih melalui meditasi, atau turut serta dalam usaha-usaha mengurangi persoalan dan penderitaan di masyarakat. Thich Nhat Hanh dan biksu-biksu lain di Vietnam kala itu, mengambil pilihan kedua, yakni melibatkan diri secara langsung dalam usaha menegakkan kebenaran dan keadilan bagi rakyat Vietnam.

Aksi-aksi tanpa kekerasan dilakukan, namun tanpa kekerasan bukan berarti aksi yang lemah dan tanpa karakter. Prinsip-prinsip Buddhis digunakan secara langsung dan membumi, mulai demonstrasi damai yang dihadapi dengan represif oleh Diem, hingga aksi membakar diri Biksu Thich Quang Duc yang demikian mengguncang dunia, dan berhasil menggugah negara-negara lain untuk peduli dan membantu Vietnam lepas dari rejim Diem yang demikian menindas. 

Konteks konfliktual tidak hanya dihadapi Thich Nhat Hanh (Vietnam), tapi juga tokoh-tokoh lain seperti Ambedkar (India), Dalai Lama (Tibet), Sulak Sivaraksa (Thailand), Maha Ghosananda (Kamboja), Aung San Suu Kyi (Myanmar), dan Ariyaratne (Srilanka). Jadi EB tidak lahir dari ruang sunyi dan penuh wangi dupa dan bunga, tapi ia lahir dari proses perjuangan dan perenungan yang mendalam akan penderitaan, asal penderitaan, cara mengatasinya dan lenyapnya penderitaan.

Proses perjuangan tidak dipenuhi dengan lantunan mantra-mantra suci dan ketenangan, tapi penuh kegaduhan, darah dan air mata. Sebagaimana empat hukum kebenaran, pertama, mereka menyadari bahwa penderitaan hadir di tengah-tengah rakyat dan bangsanya. Kedua, mampu mencari dan menemukan penyebab dari penderitaan tersebut yakni ketidakadilan, kesewenang-wenangan penguasa, kemiskinan dan lain-lain.  Ketiga, melakukan berbagai usaha untuk melenyapkan penderitaan dan terakhir pembebasan rakyat dan bangsanya dari penderitaan.

EB dalam bahasa Vietnam jika diterjemahkan secara harafiah bermakna Buddhisme yang menapak di bumi, ajaran Buddha yang dipraktikkan langsung di tengah-tengah penderitaan yang nyata di masyarakat, bukan hanya sebuah proses pengulangan ajaran dan meditasi yang bersifat  personal. Ghosananda (2003), menggambarkan dengan sangat jelas konsepsi tersebut dalam puisi Wihara Sejati:

“…Kamp-kamp pengungsian, ruang-ruang sel penjara, tempat-tempat di perkampungan kumuh, daerah-daerah konflik dan peperangan, ladang pertanian dan pabrik yang penuh ketidakadilan, itulah yang kemudian menjadi wihara kita. Dunia dan kehidupannya adalah rumah wihara kita, seluruh kehidupan adalah saudara kita, mencintai, membantu, empati, peduli dan melayani adalah tugas dan agama sejati kita…”

Konteks kelahiran EB adalah perjuangan yang nyata, bersentuhan langsung dengan penderitaan dan berusaha mengatasinya dengan penuh kesadaran dan menggunakan prinsip-prinsip dharma yang sesungguhnya bersifat universal. EB bukan hanya persoalan meditasi kesadaran, tapi aksi nyata dari setiap orang yang telah memahami bahwa ada benih-benih Buddha dalam dirinya dan setiap mahluk.  

Lonceng kesadaran bukan sekedar benda logam yang dibunyikan pada sesi-sesi latihan meditasi, tapi kepekaan dan keberanian sebagai manusia, untuk berbuat sesuatu bagi manusia dan semesta adalah lonceng kesadaran sesungguhnya. Meditasi personal adalah proses penguatan kesadaran, tapi kekuatan kesadaran itu harus digunakan secara langsung pada saat melakukan perjuangan untuk manusia dan alam semesta, karena perjuangan selalu merupakan proses yang pasti membutuhkan keuletan, kemurnian dan keberanian.

Perjuangan tanpa kekerasan akan selalu menghadapi resiko dihadapi dengan kekerasan, bahkan perjuangan tanpa kekerasan terkadang tampak bagai kekerasan itu sendiri, seperti aksi bakar diri misalnya. Latar belakang kelahiran gerakan Engaged Buddhism di berbagai negara adalah ketidakadilan struktural dan kesewenang-wenangan, sehingga jelas bahwa keterlibatan mengandung makna aktif dan implementatif sebagai bagian yang utuh dari kontemplasi.  Usaha melakukan transformasi diri tidaklah dijalankan terpisah dari usaha melakukan transformasi berbagai hal di luar diri, karena kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan.


Daftar Pustaka
Aitken, Robert. The Mind of Clover: Essays in Zen Buddhist Ethics. San Francisco, 1984.

Ambedkar, B. R. The Buddha and His Dhamma. 3d ed. Bombay, 2001.

Chappell, David, ed. Buddhist Peacework: Creating Cultures of Peace. Boston, 2000.

Dalai Lama. Policy of Kindness: An Anthology of Writings by and about the Dalai Lama. Ithaca, New York, 1990.

Darlington, Susan M. "Buddhism and Development: The Ecology Monks of Thailand." In Action Dharma: New Studies in Engaged Buddhism, edited by Christopher S. Queen, Charles Prebish, and Damien Keown, London, 2003.

Eppsteiner, Fred, ed. The Path of Compassion: Writings on Socially Engaged Buddhism. 2d ed. Berkeley, California, 1988.

Gettleman, Marvin E. Vietnam: History, documents and opinions on a major world crisis. Penguin Books, Harmondsworth, Middlesex, 1966.

Ghosananda, Maha. Doa Sang Pembawa Damai, HIKMAHBUDHI, Malang, 2003.

Halberstam, David; Singal, Daniel J. The Making of a Quagmire: America and Vietnam during the Kennedy Era. Rowman & Littlefield, Lanham, Maryland, 2008.

Hammer, Ellen J. A Death in November: America in Vietnam, 1963. E. P. Dutton, New York, 1987.

Harris, Ian, ed. Buddhism and Politics in Twentieth-Century Asia. London, 2001.

Harvey, Peter. An Introduction to Buddhist Ethics: Foundations, Values, and Issues. London, 2000.

Hunt-Perry, Patricia, and Lyn Fine. "All Buddhism Is Engaged: Thich Nhat Hanh and the Order of Interbeing." Dalam Engaged Buddhism in the West, diedit oleh Christopher S. Queen, Boston, 2000.

Jacobs, Seth. Cold War Mandarin: Ngo Dinh Diem and the Origins of America's War in Vietnam, 1950–1963. Rowman & Littlefield, Lanham, Maryland, 2006.

Jones, Howard. Death of a Generation: how the assassinations of Diem and JFK prolonged the Vietnam War. Oxford University Press, New York, 2003.

Karnow, Stanley. Vietnam: A history. New York City, Penguin Books, New York, 1997.

Kaza, Stephanie. "To Save All Beings: Buddhist Environmental Activism." In Engaged

Buddhism in the West, edited by Christopher Queen, pp. 159–217. Boston, 2000.

Keer, Dhananjay. Dr. Ambedkar: Life and Mission. 3d ed. Bombay, 1971.

King, Sallie B. "Thich Nhat Hanh and the Unified Buddhist Church: Nondualism in Action." In Engaged Buddhism: Buddhist Liberation Movements in Asia, edited by Christopher S. Queen and Sallie B. King, Albany, New York, 1996.

Kraft, Kenneth, ed. Inner Peace, World Peace: Essays on Buddhism and Nonviolence. Albany, N.Y., 1992.

Macy, Joanna. "The Greening of the Self." In Dharma Gaia: A Harvest of Essays in Buddhism and Ecology, edited by Allan Hunt Badiner. Berkeley, California, 1990.

Macy, Joanna. Mutual Causality in Buddhism and General Systems Theory: The Dharma of Natural Systems. Albany, N.Y., 1991.

Nhat Hanh, Thich. Being Peace. Berkeley, California, 1987.

Queen, Christopher S. "Introduction: The Shapes and Sources of Engaged Buddhism." In Engaged Buddhism: Buddhist Liberation Movements in Asia, edited by Christopher S. Queen and Sallie B. King, Albany, 1996.

Queen, Christopher S. "The Peace Wheel: Nonviolent Activism in the Buddhist Tradition." In Subverting Hatred: The Challenge of Nonviolence in Religious Traditions, edited by Daniel L. Smith-Christopher, Cambridge, Mass., 1998.

Queen, Christopher S. "Engaged Buddhism: Agnosticism, Interdependence, Globalization." In Westward Dharma: Buddhism beyond Asia, edited by Charles S. Prebish and Martin Baumann, Berkeley, California, 2002.

Queen, Christopher S., ed. Engaged Buddhism in the West. Boston, 2000. Comprehensive treatment of eighteen movements in North America, Europe, Australia, and South Africa.

Queen, Christopher S., and Sallie B. King, eds. Engaged Buddhism: Buddhist Liberation Movements in Asia. Albany, New York, 1996.

Santikaro Bikkhu. "Buddhadasa Bhikkhu: Life and Society through the Natural Eyes of Voidness." In Engaged Buddhism: Buddhist Liberation Movements in Asia, edited by

Christopher S. Queen and Sallie B. King. Albany, N.Y., 1996.

Sheehan, Neil. A Bright Shining Lie: John Paul Vann and America in Vietnam. Random House, New York, 1988.

Sivaraksa, Sulak. Benih Perdamaian: Visi Buddhis untuk Pembaharuan Masyarakat. Yayasan Pencerahan, Jakarta, 1997.

Tucker, Spencer C. Encyclopedia of the Vietnam War: A Political, Social and Military History. Santa Barbara, California, 2000.

Tweed, Thomas A. The American Encounter with Buddhism: 1844–1912, Victorian Culture and the Limits of Dissent. Bloomington, Ind., 1992.


Victoria, Brian. Zen at War. New York, 1997. Pathbreaking work on Budhhism and violence.

Jurnal dan Makalah Ilmiah
Adam, Roberts. Buddhism and Politics in South Vietnam. The World Today, Royal Institute of International Affairs, London, vol. 21, no. 6, June 1965, pp. 240–50 analyses the causes of the Buddhist crisis and its significance as a case of non-violent struggle.

Queen, Christopher S., Charles Prebish, and Damien Keown, eds. Action Dharma: New Studies in Engaged Buddhism. London, 2003. Esai-esai sejarah, etnografi dan metodologi dari Jurnal Buddhist Ethics online conference.

Rothberg, Donald. "Resources on Socially Engaged Buddhism." Turning Wheel: The Journal of Socially Engaged Buddhism. Spring, 2004. Hal. 30-37.

Tucker, Mary Evelyn, and Duncan Williams, eds. Buddhism and Ecology: The Interconnection of Dharma and Deeds. Makalah Ilmiah tentang Buddhis dan Environmentalisme, disajikan di konferensi Universitas Harvard. Cambridge, Mass., 1998.

Watts, Jonathan. The Search of Socially Engaged Buddhism in Japan. Tokyo, 2004.
 

Yarnell, Thomas Freeman. "Engaged Buddhism: New and Improved? Made in the USA of Asian Materials." In Action Dharma: New Studies in Engaged Buddhism, diedit oleh Christopher S. Queen, Charles Prebish, dan Damien Keown, eds., London, 2003. Hal 286-344.

Transkrip

Nhat Hanh, Thich, Transkrip ceramah dharma pada salah satu sesi retreat meditasi di Hanoi, Vietnam, ditranskrip oleh Sever Greg, diedit oleh Janelle Combelic dan Sister Annabel. Terjemahan Bahasa Indonesia dan catatan kaki oleh Eddy Setiawan. Hanoi, 2008.

Situs
www.quangminh.org.au, An Quang Buddhist Institute, 2009.


Eddy Setiawan, Direktur Kajian Institut Nagarjuna

Monday, September 9, 2013

Surat Pembaca yang Tak Termuat



Pandangan Ketua Mahkamah Agung di dalam berita Kompas berjudul Dinas Kependudukan Harus Lebih Teliti, tertanggal 2 Mei 2013 merupakan respon terhadap Putusan MK Nomor 18/PUU-IX/2013, yang meniadakan ketentuan proses persidangan bagi penduduk yang terlambat mencatatkan kelahirannya melebihi batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Administrasi Kependudukan.

Pada prinsipnya pesan yang disampaikan adalah agar Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menerapkan prinsip kehati-hatian dalam proses penerbitan akta kelahiran, agar tidak terjadi apa yang diistilahkan beliau sebagai penyelundupan hukum.

Sebagai seorang warga biasa, saya berpandangan bahwa sikap kehati-hatian memang diperlukan tapi jangan sampai berlebihan dan akhirnya menghambat pencapaian tujuan. Bukankah pemerintahlah pihak yang paling berkepentingan dalam hal tertib Administrasi Kependudukan? Bukankah Kementerian Dalam Negeri khususnya bidang Administrasi Kependudukan telah memiliki pengalaman cukup panjang dalam penerbitan akta kelahiran selama ini?

Tentu dengan pengalamannya menerbitkan akta kelahiran dan berbagai dokumen-dokumen kependudukan dan catatan sipil lainnya selama ini, kita tidak meragukan kemampuan Adminduk menjalankan tugas-tugasnya. Apabila Ketua MA memiliki kekhawatiran tentang penyelundupan hukum, tentu kita harus kembali pada persoalan integritas dan profesionalitas aparat birokrasi.

Mungkin yang dimaksud Ketua MA dengan Kasus penyelundupan hukum dalam konteks akta kelahiran adalah kemungkinan adanya orang asing yang memanfaatkan kemudahan mengurus akta kelahiran (tidak lagi melalui pengadilan, sebagaimana Amar Putusan MK di atas) kemudian berusaha mendapatkan akta kelahiran agar mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia ataupun modus-modus lainnya.

Kekhawatiran ini sebenarnya tidak perlu terjadi selama aparat birokrasi memiliki integritas tinggi, jujur dan tidak mudah disuap, karena penyelundupan hukum hanya mungkin terjadi jika ada praktik kolusi dengan “orang dalam”. Jadi persoalannya tidak terletak di sisi masyarakat tapi di sisi pemerintah sendiri. Jangan sampai kekhawatiran berlebihan menjadi faktor penghambat dalam percepatan kepemilikan akta kelahiran, bagi seluruh penduduk Indonesia, mengingat akta kelahiran merupakan dokumen yang sangat penting bagi setiap warganegara Indonesia.

Jaminan terhadap hal ini telah diatur sejak Pasal 28D ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 67 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, bahkan telah ada Nota Kesepahaman antara 8 lembaga seperti kementerian termasuk MA tentang percepatan kepemilikan akta kelahiran, karena kesadaran akan pentingnya akta kelahiran bagi kemajuan bangsa ini.

Sudah sewajarnya proses pembuatan akta kelahiran dipermudah dan dipercepat, dengan syarat-syarat yang dapat dipenuhi penduduk yang sudah telanjur berpuluh-puluh tahun hidup tanpa akta kelahiran dan tak jarang mereka juga tidak memiliki berbagai syarat yang ditentukan. Sebagai contoh persyaratan “surat kenal lahir”, bagaimana dengan mereka yang sudah lahir puluhan tahun yang lalu dan tidak pernah memiliki surat kenal lahir? Bagaimana dengan gelandangan dan anak jalanan? Menurut saya, justru Adminduk harus memikirkan banyak terobosan untuk dapat mewujudkan Indonesia yang tertib secara administrasi kependudukan.

Terobosan tersebut haruslah mempermudah, namun tetap dalam koridor peraturan yang berlaku. Hanya binatang dan tumbuhan yang tidak perlu dibuatkan akta kelahiran, yang lain harus dibuatkan, dan bagi yang mengalami berbagi kendala harus dicarikan pemecahannya, bukan didiamkan dengan alasan tidak memenuhi syarat administrasi.

Tertib Adminduk akan menjadi modal yang sangat penting bagi negara ini, karena dengan data yang akurat barulah pemerintah dapat merumuskan berbagai strategi pembangunan dengan tepat, jadi pemerintah sangat berkepentingan terhadap hal ini.

Salam,
Eddy Setiawan
Tamansari-Jakarta Barat
(KTP terlampir)

Friday, September 6, 2013

Pancasila Paripurna


Intisari ajaran setiap Buddha adalah sama, yakni jauhkan diri dari perbuatan negatif, senantiasalah menambah perbuatan positif dan tekunlah melatih pikiran agar senantiasa tenang seimbang. Ketiga arahan itu akan menuntun setiap mahluk di alam semesta ini memasuki jalan menuju pencerahan ultimat.

Guna mendukung upaya menjauhkan perbuatan negatif, pada setiap kebaktian umat Buddha selalu mengulangi pembacaan Pancasila, yakni tekad untuk melatih diri menghindari lima hal negatif: pembunuhan, pencurian, ucapan yang tidak bertanggung jawab, tindakan asusila, dan mengkonsumsi hal-hal yang melemahkan kesadaran. Sedangkan anggota sanggha (para bhiksu dan bhiksuni) melatih ratusan Sila sebagaimana tercantum dalam Vinaya, yang merupakan salah satu bagian dari Tri Pitaka. Dua bagian lain dari Tripitaka adalah Sutta dan Abhidhamma.


Pada saat Purnama dan Tilem (bulan mati), umat Buddha menambah latihannya dengan tiga sila, hingga total menjadi 8 Sila, adapun sila yang ditambahkan adalah, berpuasa mulai pukul 12.00 hingga 06.00, menghindari kesenangan inderawi dan menghindari alas tidur dan duduk yang mewah. Hal ini telah dianjurkan Buddha kepada Visakha sebagaimana tercatat dalam Angutara Nikaya 8.043. Pada intinya ketiga sila tambahan tersebut adalah untuk melatih hidup sederhana dan meningkatkan pengendalian diri, sehingga dapat menyuburkan benih-benih kasih sayang di dalam diri.


Pemaknaan Holistik

Sampai di titik ini, upaya transformasi diri melalui latihan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan 8 sila di hari Uposatha, masih tampak sebagai praktik pribadi yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan lingkungan sosialnya. Pancasila seolah-olah latihan yang pasif karena tekanan pada kata menghindari berbagai hal negatif. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan kecenderungan agama Buddha dianggap merupakan agama yang pasif, lebih melihat ke dalam dan kurang melihat ke luar diri bahkan ada yang berpendapat hampir mendekati escapism karena seolah-olah menghindar untuk terlibat dalam berbagai persoalan sosial yang ada.

Pemaknaan yang lebih dalam dan menyeluruh telah dipaparkan oleh guru-guru Buddhis seperti Dalai Lama, Ajahn Sulak Sivaraksa, Maha Ghosananda, Thich Nhat Hanh dan sebagainya yang mempelopori istilah Engaged Buddhism atau secara harafiah diterjemahkan sebagai Buddhisme yang terlibat, yang menempatkan ajaran Buddha menapak di bumi, sehingga tidak hanya indah di dengar tapi indah juga praktiknya di setiap aktivitas hidup manusia.


Menghindari pembunuhan adalah praktik sila pertama. Pembunuhan tentu merupakan tingkatan tertinggi dari bentuk kekerasan, oleh karena itu menghindari pembunuhan juga mengandung makna memiliki komitmen terhadap sikap Ahimsa (tanpa kekerasan) dan penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan. Bentuk-bentuk kekerasan dapat berwujud, represifitas negara terhadap rakyat, politik apartheid, diskriminasi ras dan etnis, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), trafficking, pelanggaran HAM, perang dan sebagainya.


Upaya menentang, meminimalisir atau bahkan menghapus berbagai tindak kekerasan tersebut di atas ataupun dalam berbagai bentuk kekerasan lainnya, adalah bagian dari praktik sila pertama. Disamping itu penghargaan terhadap kehidupan dapat diwujudkan dalam bentuk pencegahan terhadap global warming, penyelamatan dan perlindungan satwa, penyelamatan lingkungan dan sebagainya.


Menghindari pencurian tidak hanya sebatas latihan pribadi menghindari mengambil barang yang bukan milik kita, tetapi juga bermakna anti terhadap perilaku korupsi, mendukung setiap upaya melakukan pemberantasan korupsi, dan mendukung sistem yang meminimalisir terjadinya korupsi. Bentuk lainnya, menentang sistem ekonomi yang tidak adil, yang hanya menindas yang lemah dan hanya menguntungkan yang kuat, juga merupakan bagian dari pelatihan sila kedua.


Sila ketiga, menghindari ucapan yang tidak bertanggung jawab, mengandung makna hanya berpihak kepada kebenaran dan tidak hanya menghamba dan menjilat kekuasaan sehingga menjadi oportunis. Praktik sila ketiga adalah berani melontarkan kritik terhadap berbagai ketidakadilan dan kepalsuan yang mungkin dilakukan oleh orang di sekitar, bahkan penguasa sekalipun.


Sebagaimana seorang intelektual harus memiliki kepekaan, keberanian dan kejujuran, demikian pula halnya dengan umat Buddha. Pada saat berhadapan dengan negara, penguasa, jangan hanya melaporkan hal-hal yang baik dan enak didengar tapi harus berani menyampaikan pil pahit apabila ada kebijakan-kebijakan yang tidak tepat dan merugikan orang banyak.


Pelatihan selanjutnya adalah menghindari perbuatan yang bertentangan dengan tata susila yang berlaku di masyarakat, termasuk mencegah terjadinya pedofilia, prostitusi, pornografi dan berbagai bentuk perbuatan asusila lainnya yang merusak moralitas masyarakat. Keterlibatan dalam upaya-upaya edukasi, pencegahan, advokasi, dan konseling terhadap korban dalam konteks ini, adalah bentuk pelatihan yang sesungguhnya.


Sila kelima, adalah latihan untuk menghindari konsumsi yang tidak tepat, yang dapat melemah kesadaran. Alkohol dan narkoba adalah contoh yang paling mudah, tetapi sesungguhnya terdapat hal-hal lain yang tidak kalah berbahaya bila dikonsumsi dengan tidak bijaksana seperti konsumerisme, hedonisme dan berbagai ideologi termasuk paham keagamaan itu sendiri. Sekedar contoh, promosi yang dirancang sedemikian menarik oleh perusahaan periklanan terbukti dapat melemahkan kesadaran seorang calon pembeli, sehingga akhirnya melakukan konsumsi yang tidak bertanggung jawab.


Jadi pemaknaan terhadap Pancasila sebagai tuntunan moral, tidak hanya terbatas pada praktik-praktik pribadi yang lebih sederhana, tapi dapat menjangkau hingga level masyarakat, bangsa, negara bahkan alam semesta. Sebagaimana doa umat Buddha yang demikian universal, Semoga Semua Mahluk Berbahagia, demikianlah praktik Pancasila harus menembus batas-batas literalnya dan menemukan kontekstualitasnya dalam kehidupan sehari-hari di bidang apapun.


Transformasi Diri dan Sosial

Praktik lima sila bagi umat awam, apalagi praktik ratusan sila bagi anggota sanggha, jelas bukan hanya sesuatu yang bersifat ke dalam saja tapi pada saat bersamaan juga berkorelasi dengan tindakan-tindakan nyata di berbagai level sebagaimana tersebut di atas.

Pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh terhadap latihan lima sila, akan membawa kita pada pemahaman bahwa proses melakukan transformasi diri tidak terpisahkan dengan proses untuk melakukan transformasi sosial. Pada saat seorang aktivis demikian konsisten mendorong perubahan sosial, di hampir setiap momentum aktivitasnya tersebut, sadar ataupun tidak sadar, ia juga sedang melakukan transformasi terhadap dirinya sendiri.


Sekedar contoh sederhana, seorang aktivis HAM yang menjalankan perannya dengan sadar adalah orang yang akan mengalami transformasi menjadi seorang yang memiliki kemampuan mendengar lebih baik, cinta kasihnya terhadap manusia dan kemanusiaan akan terpupuk dan keberanian yang tinggi untuk menegakkan keadilan bagi para korban. Kualitas Bodhisatwa ada pada orang-orang seperti ini.


Bodhisatwa atau calon Buddha adalah orang yang bertekad untuk menolong semua makhluk tanpa batas, mereka selalu melatih enam kesempurnaan sehingga akhirnya dapat menjadi Buddha. Siddhartha Gautama, sebelum kelahirannya yang terakhir dan menjadi Buddha, telah lahir berkali-kali. Dalam setiap kelahirannya ia menyempurnakan diri dan mengabdikan hidupnya bagi manusia dan alam. Dalam kitab Jataka digambarkan seekor kelinci yang dengan tulus iklas menceburkan dirinya ke api demi menolong seorang pertapa yang kelaparan. Mungkin bisa dinilai kurang bijaksana, tapi itulah tindakan penyempurnaan paramitha.


Secara teknis disebut terdapat Sad Paramitha yakni Enam latihan kesempurnaan bagi calon Buddha yaitu kesempurnaan dalam kemurahan hati, perbuatan baik, kesabaran, semangat, ketenangan, perhatian dan kebijaksanaan.


Aksi bakar diri Biksu Thich Quang Duc di Vietnam 1963, aksi bakar diri biksu-biksu Tibet, rakyat Indonesia yang melawan penjajah bersenjata modern dengan bambu runcing, serta aksi bakar diri Sondang Hutagalung yang memprotes lambannya penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM, dari sudut pandang Buddhis hal tersebut bisa jadi merupakan wujud penyempurnaan salah satu paramitha. Mungkin kemurahan hati? karena mereka rela berkorban nyawa demi kepentingan orang lain, sebagaimana si kelinci mengorbankan diri demi seorang pertapa.


Sangat jelas bahwa transformasi diri dan transformasi sosial adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Kedua proses tersebut dapat berjalan dengan baik apabila pelaku-pelakunya juga senantiasa melatih pikirannya tenang seimbang, sehingga keputusan-keputusan yang dibuat adalah keputusan-keputusan yang matang secara spiritual.


Pikiran sebagai Penentu

Melatih pikiran agar tenang seimbang adalah upaya untuk menjaga agar seseorang senantiasa dapat mengarahkan dirinya untuk menghindari perbuatan negatif, dan memperbanyak yang positif. Pikiran adalah unsur yang sangat penting dalam agama Buddha, karena ia adalah pelopor dan pembentuk. Tanpa pikiran yang terlatih, seseorang akan dengan mudah terjerumus untuk berbuat jahat, dan justru menghindar pada saat ada kesempatan berbuat baik.

Pikiran kerap diibaratkan monyet liar, yang berlompatan dengan cepat tanpa arah tujuan. Hanya dengan pelatihan yang tepat melalui meditasi monyet liar ini dapat dijinakkan dan diarahkan. Pikiran memegang peranan penting dalam membangun persepsi dan pemahaman terhadap suatu gagasan, pikiran yang terlatih tidak akan memahami suatu ide atau gagasan secara parsial, sebagaimana kita memahami bahwa transformasi diri dan transformasi sosial adalah proses yang tunggal.


Kedua transformasi tersebut berjalan secara pararel, pada saat seseorang bermaksud melawan struktur kebencian, keserakahan dan kebodohan batin di dalam dirinya, pada saat yang sama ia juga harus menyadari bahwa keserakahan juga bermanifestasi dalam sistem ekonomi, politik, dan lain-lain. Kebencian bermanifestasi dalam militerisme, terorisme dan fanatisme keagamaan. Kebodohan dapat tersebar melalui sistem pendidikan, media dan iklan.


Disinilah relevansi dari pikiran yang tenang seimbang, karena hanya pada kondisi demikianlah kita dapat menghadapi secara bersamaan struktur yang menindas di dalam diri kita, maupun di luar diri kita. Pikiran yang tenang seimbang juga akan memungkinkan kita menjalani kehidupan yang penuh ketidakpuasan ini, dengan bahagia dan merespon berbagai fenomena yang terjadi secara tepat.