Peradaban
manusia terus berkembang sejak masa pra sejarah hingga saat ini, segala bentuk
“ketidakberadaban” secara sistematis di kikis dan diganti dengan “keberadaban”,
bahkan 57 tahun yang lalu tepatnya 10 Desember 1948 sejarah manusia telah
mencatat lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Sebagai salah
satu perangkatnya disusun sebuah Konvensi Internasional tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (PSBDR)-1965 dan telah disebarluaskan sejak
1969, namun hingga saat ini masih saja terjadi konflik antar kelompok dengan
latar belakang perbedaan suku, agama, ras sebagai simbol permusuhan.
Berbagai kasus
besar diskriminasi sempat menjadi perhatian dunia internasional, seperti kasus
Afro-Amerika di USA, Yahudi di Eropa, Apartheid di Afrika Selatan, namun kasus
diskriminasi di Asia seperti masalah Dalit di India misalnya, tidak mendapat
perhatian yang cukup dari dunia internasional. Padahal lebih dari 100 negara
telah menjadi peserta dan pendukung Konvensi Internasional tentang PSBDR,
termasuk di dalamnya India.
Tulisan ini disarikan dari berbagai diskusi dengan
kawan-kawan dari komunitas Dalit dari berbagai latar belakang pendidikan dan
profesi, secara formal maupun informal pada saat penulis yang mewakili
HIKMAHBUDHI mengikuti Konferensi INEB di Nagaloka, Nagpur, India dengan tema
utama Konferensi INEB kali ini adalah “Buddhism and Social Equality” sedang Sub temanya adalah “Transcending
Barriers: DR. Ambedkar and the Buddhist World” pada tanggal 9-16 Oktober
2005. Dalam tulisan ini, kata Hindu mengacu pada Hindu historis-institusional
di India, bagaimana pun hal-hal yang diungkap disini adalah realitas sosial di
India hingga hari ini.
Sebagai negara
yang telah menjadi peserta dan pendukung PSBDR seharusnya setiap negara
tersebut wajib untuk peduli dan melakukan usaha untuk melenyapkan diskriminasi
yang masih terhadi di negaranya sehingga praktek pembiaran (neglected)
yang dilakukan pemerintah India adalah pelanggaran terhadap konvensi yang telah
ditetapkan bersama dan merupakan tindakan yang tidak ksatria. Sangat jelas pada
konvensi pasal 2 bab 1 menyebutkan bahwa negara-negara peserta mengutuk
diskriminasi rasial, dan berusaha menggunakan semua cara yang memadai,
secepatnya melakukan kebijakan penghapusan diskriminasi rasial dengan segala
bentuknya, dan mengembangkan saling pengertian diantara semua ras dan demi
lima tujuan yaitu:
Pertama,
setiap negara peserta berusaha tidak akan terlibat dalam praktek diskriminasi
rasial terhadap individu, kelompok orang atau lembaga, dan menjamin bahwa
aparatur pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan nasional maupun daerah,
harus bertindak sesuai tanggung jawab ini;
Kedua, setiap
negara peserta tidak membantu, membalas, atau mendukung diskriminasi ras yang
dilakukan oleh siapa pun atau organisasi mana pun;
Ketiga, setiap
negara peserta wajib melakukan tindakan-tindakan yang efektif untuk
mengevaluasi kebijakan pemerintah, nasional dan daerah, untuk memperbaharui,
mencabut atau membatalkan undang-undang dan peraturan yang berpengaruh
menciptakan atau mengembangkan diskriminasi rasial di manapun;
Keempat,
setiap negara peserta wajib, dengan segala cara yang tepat termasuk
perundang-undangan apabila keadaan membutuhkan, melarang dan mengakhiri
diskriminasi rasial yang dilakukan secara perorangan maupun secara berkelompok
atau oleh suatu organisasi;
Kelima setiap
negara peserta berusaha mendorong, apabila perlu, organisasi atau gerakan
multi-ras yang terpadu dan berbagai cara lainnya untuk menghilangkan
hambatan-hambatan antar-ras, dan mencegah segala tindakan yang cenderung
memperkuat pembagian ras.
Berdasarkan
konvensi tersebut diskriminasi rasial dideskripsikan sebagai segala bentuk
perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pilihan yang didasarkan pada ras,
warna kulit, keturunan, atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau
pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan,
pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang lain dari kehidupan
masyarakat.
Di India modern saat ini ternyata masih
terjadi diskriminasi atas nama kasta, salah satu yang paling fenomenal adalah
diskriminasi terhadap kaum Dalit, sebuah golongan masyarakat India yang
dianggap berada di luar sistem kasta yang ada (outcaste/untouchable/mahar).
Bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami kaum ini sungguh tidak masuk akal dan
di luar batas-batas kemanusiaan, namun tetap berlangsung hingga saat ini sebab
memang dipelihara oleh kelompok kasta di atasnya yang diuntungkan oleh adanya
sistem kasta ini yang menguasai India secara sosial politik dan ekonomi.
Praktik
diskriminasi terhadap kaum dalit ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-4,
sering disebut juga sebagai “Apartheid terselubung India”, yang telah
menyebabkan demikian banyak manusia mengalami segregasi dari manusia pada
umumnya dan hanya menjadi kelompok manusia yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
paling kotor, rendah dan tidak berarti. Mereka juga dimarginalisasi,
disingkirkan dari pergaulan sehari-hari bahkan sekedar menginjak bayangannya
pun sudah menjadi kesialan bagi kasta diatasnya.
Kaum dalit di
cap sebagai orang yang tercemar dan kotor sehingga tidak pantas hidup berdampingan
dengan wajar dengan mereka yang merasa lebih tinggi dan bersih. Untouchability
berakar pada sistem kasta Hindu-India yang merupakan hirarki sosial yang
bertahan paling lama di muka bumi. Secara garis besar terdapat 4 kasta utama
yakni Brahmana (pendeta dan guru), Ksatria (penguasa dan tentara), Waisya
(pedagang/pengusaha) dan Sudra (pekerja). Disamping kasta utama ini terdapat
ribuan sub-kasta yang dikenal sebagai “jati”, sistem kasta sebenarnya adalah
pembagian berdasarkan pekerjaan, sekte, daerah dan garis bahasa.
Dalit berada di luar keempat kasta utama diatas, digolongkan sebagai
kelompok yang sangat nista untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sangat
kotor dan rendah seperti membuang bangkai binatang, menguliti binatang,
membersihkan tempat penampungan limbah dan berbagai pekerjaan yang dianggap
nista oleh kasta lainnya. Kata Harijan yang memiliki arti “anak tuhan”
sempat dikampanyekan Mahatma Gandhi untuk menyebut komunitas outcaste ini
namun kata Dalit tampaknya lebih umum digunakan, berasal dari bahasa Sansekerta
yang berarti hancur, terdiskriminasi atau orang yang dihancurkan. Ironisnya di
dalam komunitas Dalit sendiri terbagi atas lebih dari 70 sub kasta.
Secara legal
formal sebenarnya untouchability sudah dihapuskan sejak disusunnya
konstitusi India pada tahun 1950 pada pasal 16. DR. Bhimrao Ramji Ambedkar
demikian nama lengkapnya, ia adalah seorang Dalit yang memegang peranan penting
dalam penyusunan konstitusi India dan sampai saat ini tetap dipuja oleh para
pengikutnya; komunitas Dalit dan telah menjadi ikon bagi gerakan Dalit. Ia
adalah seorang tokoh besar yang dengan kesadaran dan penuh keberanian di
tengah-tengah kontroversi mengubah agamanya menjadi Buddha, dan langkah ini
menjadi begitu terkenal karena diikuti oleh jutaan pengikutnya.
Pengalaman
masa kecilnya penuh dengan penindasan hanya karena ia seorang yang Dalit telah
membentuk tekadnya untuk memerangi ketidakadilan itu. Sekedar contoh saat kecil
ia pernah didorong dari gerobak karena pemilik gerobak tahu dia seorang Dalit,
di lain waktu karena hausnya ia minum di sumur umum dan seseorang mengetahui
hal tersebut akhirnya masa datang dan memukulinya hingga babak belur, demikian
juga saat hendak mencukur rambutnya Bhim kecil harus menerima penolakan karena
si tukang cukur tidak mau menyentuh orang outcaste, pernah saat hendak
berangkat ke sekolah, karena hujan lebat Bhim berteduh di emperan rumah
seseorang, saat penghuninya melihat serta merta dengan penuh marah ia mendorong
Bhim sehingga jatuh di kubangan lumpur dan beserta semua buku-bukunya.
Pengalaman-pengalaman
pahit dan menyedihkan yang sangat melecehkan eksistensi kemanusiaan seperti
inilah yang harus dihadapi bahkan oleh seorang anak kecil yang terlahir di
komunitas Dalit di India, bahkan mungkin banyak yang lebih pahit dari
pengalaman Bhim kecil. Namun semua hal inilah yang membentuk kesadaran dalam
diri Bhim dan menjadi bara yang terus menyala dalam dadanya untuk memerangi
ketidakadilan ini.
Perjuangan untuk menghapus ketidakadilan terhadap komunitas untouchable
ini sebenarnya telah dimulai sejak lama,
sekedar contoh tahun 1883 Sayaji Rao Gaekwad, Maharaja dari Baroda sudah
mendirikan sekolah untuk kaum Dalit sehingga dapat dinilai bahwa beberapa raja
Hindu sebenarnya juga tidak setuju akan ketidakadilan yang terjadi terhadap
kaum ini. Sejak sebelum merdeka hingga setelah merdeka di India terdapat banyak
orang-orang besar yang mendedikasikan hidupnya untuk menegakkan kebenaran dan
prinsip yang mereka yakini, Ambedkar adalah salah satunya.
Desa Ambavade di distrik Ratnagiri Propinsi Konkan yang terletak di
negara bagian Maharashtra adalah tempat kelahiran Bhimrao anak ke-14 dari Ramji
Sakpal. Ambedkar lahir pada tanggal 14 April 1891 dengan nama Bhimrao
Ambavadekar. Salah seorang pamannya yang menjadi biarawan pernah menyatakan
kepada ayah Bhimrao, bahwa ia akan mendapat seorang putera yang nantinya akan
menjadi orang terkenal di dunia. Demikianlah kemudian Ambedkar lahir dan
ibundanya meninggal lima tahun kemudian. Nama Ambavadekar akhirnya diubah
menjadi Ambedkar oleh salah seorang gurunya pada masa sekolah menengah atas,
gurunya adalah seorang brahmin dengan nama keluarga Ambedkar dan ia sangat
kagum dan senang akan kecerdasan Bhimrao Ambavadekar sehingga kemudian
mempersilakan Bhim untuk menggunakan nama keluarganya yaitu Ambedkar.
Sejak muda Ambedkar sangat suka membaca buku, meski pun miskin tapi
ayahnya sangat mendukung kegemarannya membaca buku bahkan terkadang ayahnya
sampai meminjam uang untuk membelikan Ambedkar buku. Keluarga ini tinggal di
daerah termiskin, rumah mereka sangat sempit hanya terdiri dari satu ruangan
dan segala aktivitas dilakukan disitu mulai memasak, tidur, belajar dan untuk
kambing peliharaan.
Sejak sekolah dasar berbagai perlakuan diskriminasi dialaminya,
salah satu yang paling menyakitkan
baginya adalah larangan untuk membaca Veda karena ia seorang Mahar,
sebagai seorang India dia merasa sangat terhina karena anak-anak dari luar
India saja diperbolehkan membacanya. Selain itu bila anak lain boleh duduk di
kursi, anak-anak Dalit harus duduk di atas tikar dan itu pun harus membawa
sendiri dari rumah, bahkan pernah saat Bhim disuruh menyelesaikan soal
matematika di papan tulis anak-anak lain berteriak bahwa kotak bekal mereka ada
di belakang papan sehingga mereka takut tercemar karena Bhim akan menyentuh
papan tulis. Sehingga setelah semua anak mengambil kotak bekalnya barulah Bhim
dapat menggunakan papan tulis, sementara guru matematikanya tidak sedikit pun
merasa terusik menyaksikan ketidakadilan ini.
Setelah lulus dari sekolah menengah ia melanjutkan pendidikannya ke
Sekolah Tinggi Elphistone dan memperoleh gelar B.A pada tahun 1912 dan kemudian
ayahnya berkeinginan Ambedkar mencari kerja di Bombay, karena kondisi
keuangannya sangat tidak memungkinkan untuk membiayai Ambedkar melanjutkan ke
universitas. Adalah Keluskar, salah seorang guru Ambedkar di sekolah tinggi
yang simpatik padanya dan kerap kali memberi buku-buku bermutu karena ia sangat
menghargai kegemaran Ambedkar membaca buku, salah satu buku Buddhis pertama
Ambedkar; Buddha-Charitra (Kisah Hidup Buddha) adalah pemberiannya.
Keluskar lah yang membantu Ambedkar untuk bertemu dengan Raja Sayaji
Rao Gaekwad seorang raja di negara Baroda yang memiliki pandangan liberal yang
akhirnya memberikan beasiswa kepada Ambedkar. Sebelum memberikan beasiswa, sang
raja bertanya kepada Ambedkar karena ia menyatakan akan mempelajari banyak
subyek. “Apa yang akan kamu lakukan setelah mempelajari semua itu?” Ambedkar
menjawab “Setelah mempelajari semua itu, saya akan menemukan penyebab dari keadaan
komunitas saya sehingga saya dapat melakukan reformasi sosial” Karena
mengetahui potensi yang dimiliki Ambedkar, Raja Sayaji mengirim Ambedkar ke
Universitas Colombia-Amerika untuk meneruskan pendidikannya.
Amerika yang liberal tidak mengenal untouchability hal ini
sangat berkesan bagi Ambedkar, disini Ambedkar merasa diberlakukan secara sama
dan ia bebas untuk belajar apapun, dan ia sempat mengutip Shakespear pada salah
satu surat ke sahabatnya untuk mengungkapkan kebahagiaannya dapat belajar di Amerika
“In the life of man now and again there is a swelling wave; if a man uses
this opportunity, it will carry him towards his fortune”. Di negeri Paman
Sam inilah ia menimba ilmu politik, etika, antropologi, ilmu sosial dan ekonomi
dan akhirnya memperoleh gelar gelar M.A dan Ph.D, selanjutnya ia ingin
menyelesaikan pendidikannya di bidang ekonomi di Inggris namun ditolak oleh
pejabat pendidikan negara tapi di kemudian hari dikabulkan atas rekomendasi
dari Raja Baroda.
Karena proposalnya tidak dikabulkan Ambedkar harus kembali ke India
untuk mengabdi di pemerintahan Baroda sesuai janjinya sebelum menerima
beasiswa, ia kembali ke India pada tahun 1917 sebagai seorang yang
berpendidikan tertinggi di India masa itu. Namun India tetaplah India dengan
sistem kastanya yang diskriminatif sebagaimana masa sebelum ia belajar ke
Amerika, jadi meski Ambedkar menduduki jabatan penting di pemerintahan kerajaan
Baroda namun ia tetap merasakan ketidakadilan. Bahkan pesuruh di kantornya pun
tidak mau mengantarkan dokumen-dokumen yang Ambedkar perlukan secara langsung,
tapi dengan cara melemparkan ke arahnya, tidak ada yang membawakannya air minum
dan ia tidak diberi jatah tempat tinggal sebagaimana pegawai lain setingkatnya
karena mereka tidak mau bertetangga dengan orang kasta rendahan.
Apalagi pegawai-pegawai lainnya semua memperlakukannya bagai biang
penyakit, bahkan mereka yang non Hindu pun memperlakukannya dengan tidak
semestinya. Sementara Raja tidak dapat melakukan apapun, karena tindakan
diskriminatif ini bersumber dari agama, raja tidak bisa menentangnya secara
langsung. Karena tidak mendapat tempat tinggal akhirnya Ambedkar menyewa sebuah
wisma dengan menggunakan nama Persia, namun tidak bertahan lama karena
orang-orang Persia pun tahu ia seorang Dalit dan mengusirnya dengan sangat
tidak terhormat. Saat itu semua orang di Baroda tidak mau membantunya, sehingga
akhirnya ia meninggalkan Baroda dan kembali ke Bombay dan berusaha mencari
kerja namun tak satu pun perusahaan mau menerimanya karena ia seorang Dalit, demikian
juga saat ia membuka usaha hingga akhirnya Sekolah Tinggi Sydenham Bombay
membutuhkan seorang Profesor Ekonomi.
Sydenham adalah nama seorang bangsawan mantan gubernur Bombay yang
cukup kenal dengan Ambedkar, demikianlah akhirnya Ambedkar mendapatkan
pekerjaan. Setelah dua tahun, kembali ia melanjutkan pendidikan ke London dan
Jerman sehingga akhirnya ia memiliki gelar M.A, Ph.D, D.Sc, menguasai bidang
hukum, siap untuk beraksi, memasuki dunia politik dengan persiapan yang
komprehensif bukan untuk kepentingan pribadi tapi kepentingan komunitasnya;
kaum Dalit. Langkah pertamanya adalah membentuk organisasi bernama Bahishkrit
Hitkarini Sabha (Komunitas untuk Kesejahteraan Kaum Tersisih) pada awalnya
di wilayah Bombay, tujuannya adalah membangun asrama-asrama untuk mempromosikan
dan menyebarkan pendidikan untuk kaum Dalit, membuat perpustakaan dan pusat
pendidikan untuk pembangunan budaya dan mengkampanyekan penghapusan untouchability.
Usaha penghapusan untouchability
dari dalam pemerintahan telah diawali Raja Baroda yang telah memberikan
beasiswa kepada kaum Dalit yang berpotensi, sementara dari masyarakat sendiri
terdapat Mahatma Phule dan isterinya yang mendedikasikan hidupnya untuk
pendidikan kaum Dalit. Mahatma Phule adalah seorang Sudra, ia bahkan rela
diusir dari rumahnya karena sang ayah menganggap puteranya ikut tercemar karena
berkumpul dengan kaum Dalit. DR. Ambedkar mendedikasikan salah satu bukunya; Who
Were The Shudras kepada orang yang ia anggap guru ini.
Usaha lain adalah dari anggota
Dewan di Bombay, ia bernama Bole seorang reformis sosial yang mengajukan
resolusi yang pada intinya menyatakan bahwa semua fasilitas umum negara seperti
pengadilan, sekolah, rumah sakit, kantor, penginapan, sumur, tangki air dan
sebagainya dapat digunakan oleh kaum Dalit. Resolusi ini disetujui namun pada
pelaksanaannya kembali tertabrak hegemoni kaum Brahmin yang diuntungkan oleh
sistem kasta ini, seperti di Kota Mahad di Maharashtra meski resolusi ini sudah
ditetapkan tapi tetap kaum Dalit tidak diperbolehkan mengambil air di tangki
umum, padahal kaum muslim dan bahkan ternak pun bebas minum di tangki tersebut.
Hal ini mengundang Ambedkar melakukan aksi di tangki air tersebut
pada saat diadakannya Konferensi Kasta Tertindas di kota tersebut pada tahun
1927 yang diketuai oleh Ambedkar, sedang para peserta yang rata-rata aktivis
dari kaum dalit ini tidak hanya datang dari negara bagian Maharashtra tapi
bahkan dari Gujarat. Di akhir konferensi diadakanlah aksi yang melibatkan tak
kurang dari 10.000 orang, aksi damai yang dipimpin Ambedkar berjalan lancar
hingga mereka mencapai tangki air Chowdar dan kemudian dipimpin Ambedkar
mereka mengambil air dengan telapak tangan dan meminumnya.
Namun kemudian dikalangan masyarakat Hindu tersebar isu bahwa kaum
Dalit akan menduduki salah satu kuil mereka sehingga terjadilah kerusuhan,
peristiwa ini dikenal dalam sejarah India sebagai “Chowdar Tank Case”. Namun
bagaimana pun, tangki tersebut telah “tercemar” lalu bagaimana mereka
“mensucikan” kembali? Setelah aksi ini, dengan dipimpin kaum brahmin tangki
dikosongkan, kemudian ditaburi berbagai produk sapi seperti susu, dadih,
mentega murni, urin dan kotoran sapi sembari para brahmin membacakan mantra,
dan kemudian tangki dianggap suci kembali, Ironis!
Pada tahun yang sama juga terjadi aksi pembakaran kitab Manusmrti
(Hukum Manu), sebuah kitab yang merupakan sumber dari semua
aturan menyangkut kasta. Kitab ini mengatur siapa boleh makan dengan siapa,
siapa boleh mengawini siapa, siapa boleh menyentuh siapa, juga memuat hukuman
bagi yang melanggar, misal apabila seorang sudra yang menganggap mengajar kaum
Brahmana adalah tugasnya harus dihukum dengan cara memasukkan minyak panas ke
dalam mulut dan telinganya. Pembakaran kitab ini membuat guncangan besar
terhadap kaum ortodok Hindu seluruh India dan merupakan simbol penolakan kaum
Dalit terhadap kekuasaan dan kitab-kitab Hindu.
Aksi di tangki air Chowdar di Mahad merupakan simbol perlawanan awal
yang penting, karenanya setelah konferensi di Mahad tersebut DR. Ambedkar mendirikan
koran untuk memperkenalkan pemikiran-pemikirannya kepada masyarakat luas,
namanya Excluded India dan isu pertama yang diangkat adalah “Chowdar
Tank Case”. Kembali Ambedkar merencanakan untuk mengadakan aksi
bersama-sama pengikutnya ke tangki air tersebut, namun karena alasan hukum dan
keamanan para pengikutnya akhirnya dibatalkan namun secara jalur hukum Ambedkar
terus memperjuangkannya dan akhirnya tahun 1937 Pengadilan Tinggi Bombay
memenangkan kaum Dalit untuk dapat menggunakan tangki air tersebut. Sebuah
kemenangan kecil di tengah perjuangan untuk menghapus untouchability,
menuntut persamaan, kebebasan dan keadilan bagi semua, namun penting sebagai
titik pijak awal perjuangan.
Berbagai gerakan dilakukan Ambedkar
dan jutaan pengikutnya untuk menuntuk hak-hak mereka, gerakan massa, politik,
hukum, bahkan gerakan diplomasi internasional. Karena sistem kasta di India
telah menyebabkan mereka tidak memiliki hak ekonomi dan politik. Tak jarang
Ambedkar harus berhadapan dengan Mahatma Gandhi yang memiliki cara pandang yang
berbeda dalam hal untouchability ini. Gandhi adalah seorang berkasta
yang mengklaim berdiri di atas semua golongan, namun kaum Dalit menyangkal hal
ini dan kenyataan pun tidak berkata demikian. Gandhi setuju pada saat kaum
Muslim, Kristen dan Sikh memiliki sistem pemilihan terpisah, hal ini sejalan
dengan demokratisasi namun pada saat Ambedkar menuntut sistem pemilihan
terpisah untuk Dalit pada tahun 1932, Gandhi melakukan gerakan penolakan dengan
gerakan “Mogok Makan hingga Mati”-nya yang terkenal itu.
Ambedkar menjadi begitu dibenci di
India kala itu karena Gandhi adalah seorang tokoh besar bagi India. Ambedkar
dihadapkan pada pilihan membiarkan Gandhi mati sehingga dapat menimbulkan
kerusuhan hebat di India antara penganut kasta Hindu dan kaum Dalit atau
berkompromi, ia terpaksa memilih yang kedua karena tidak ingin terjadi
pembantaian terhadap kaumnya. Hal ini semakin memperkuat keyakinan kaum Dalit
bahwa yang dapat menjadi penyelamat mereka hanyalah seorang Dalit juga, sebab
tanpa pernah merasakan betapa pahitnya kenyataan hidup sebagai kaum Untouchable
maka mereka tidak akan mungkin dapat memahami secara utuh permasalahan ini.
Pada tahun 1935 Ambedkar membuat
pernyataannya yang terkenal bahwa ia boleh lahir sebagai seorang Hindu tapi
tidak akan mati sebagai Hindu, 12 tahun kemudian ia menjadi Menteri Hukum
pertama paska kemerdekaan India namun setelah 4 tahun beliau mengundurkan diri
dari kabinet. Sisa Hidupnya kemudian didedikasikan bagi pengembangan Buddhisme
di India, hal ini diumumkannya pada tahun 1954 dan dua tahun kemudian pada
sebuah upacara di Nagpur, Ambedkar menjadi seorang Buddhis yang diikuti ratusan
ribu pendukungnya saat itu tepatnya tanggal 14 Oktober 1956.
Adalah U Chandramani, seorang
bhikkhu senior yang menjadi pemimpin upacara saat Ambedkar menyatakan tiga
perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Peristiwa ini adalah sebuah
peristiwa besar yang begitu mengejutkan semua orang di India, bahkan bagi
Buddhisme di India ini sangat berarti bagi kebangkitan Buddhis setelah ratusan
tahun berusaha ditenggelamkan. Dengan menjadi Buddhis, Ambedkar berharap kaum
Dalit merasakan pembebasan secara sosial, psikologi dan spiritual disamping
kesadarannya yang tinggi bahwa Buddhisme pernah nyaris punah dari India dan kemudian
bangkit kembali, ia tidak ingin Buddhisme punah kembali sehingga setelah ia
menyatakan tiga perlindungan dan memohon lima sila dari Bhikkhu, selanjutnya ia
membaca 22 sumpah yang ia buat bagi kaum Dalit kemudian mentahbiskan para
pengikutnya.
Prosesinya berlangsung sebagai
berikut, pengikut Ambedkar pertama-tama mengikuti upacara pentahbisan dengan
menyatakan tri sarana dan panca sila kemudian setelahnya tahap kedua mereka
menyatakan 22 sumpah untuk memperjelas dan benar-benar memisahkan Buddhis dari Hindu.
Perlu dipahami, pada saat itu tertanam anggapan bahwa seorang Buddhis adalah
juga seorang Hindu dan hal ini telah begitu mengakar di India, biasa dikatakan
bahwa Hindu bagaikan samudra yang luas, Buddhisme hanyalah salah satu sungai
kecilnya. Hal inilah yang berusaha dikikis oleh Ambedkar, sehingga para
pengikutnya diharapkan benar-benar berusaha mempelajari ajaran Buddha bukan
sekedar menyebut diri seorang Buddhis tapi tidak memahami ajaran yang
sebenarnya. Akhirnya budaya pentahbisan ala Ambedkar ini menjadi upacara
tahunan yang mereka sebut Dhammadiksa/Diksabumi.
Sampai saat ini acara ini terus
berlangsung sebagai acara tahunan dimana komunitas Dalit dari berbagai daerah
berkumpul di vihara dimana Ambedkar ditahbiskan menjadi seorang Buddhis, di
tengah-tengah Konferensi INEB para peserta diajak ikut berpartisipasi dalam
acara ini meski dengan pengawalan ekstra ketat sebab di acara ini terlibat
begitu banyak massa, ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang berkumpul dari
seluruh India. Acara serupa juga diselenggarakan di wilayah-wilayah lain namun
dengan jumlah massa yang tentunya tidak sebanyak di Maharashtra, sebab secara
sosio-historis-politis memang merupakan wilayah Dalit.
Perjuangan Ambedkar bersama-sama
komunitasnya adalah sebuah perjuangan yang panjang dan tidak mudah untuk
merebut hak-hak mereka, perjuangan ini masih terus berlanjut hingga hari ini,
terutama perjuangan untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai Buddhis.
Ironisnya di tanah Buddha, mereka bahkan baru mulai membangun vihara-vihara
sederhana dan tidak ada bhikkhu yang dapat memberikan dhamma pada mereka karena
aturan manajemen vihara-vihara tua yang dikuasai kaum Brahmin.
Sebagaimana sub tema konferensi,
salah satu tujuan dari konferensi INEB kali ini adalah untuk menyingkirkan
halangan antara perjuangan Ambedkar dan komunitas Buddhis Internasional.
Komunitas Buddhis di India membutuhkan dukungan yang cukup dari seluruh dunia
untuk dapat berdiri tegak di India. Pengalaman historis mereka berjuang untuk
membebaskan diri dari belenggu sistem kasta dan trauma panjang akibat
tindakan-tindakan yang sangat merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan yang
telah mereka alami sebagai kaum Dalit, tingkat pendidikan yang rendah,
kemiskinan dan lain sebagainya telah membentuk karakter yang eksplosif dalam
diri mereka.
Salah satu masalah mendasar yang dihadapi
komunitas Dalit paska meninggalnya DR. Ambedkar 6 minggu setelah beliau menjadi
Buddhis adalah kecenderungan penekanan yang salah pada perjuangan DR. Ambedkar,
yang lebih banyak ditransformasikan kepada komunitas Dalit yang sebagian besar
telah menjadi Buddhis ini adalah kritik Ambedkar terhadap sistem kasta Hindu
dan mereka anggap hal ini sebagai Buddhisme. Hal ini juga mungkin terjadi
akibat minimnya jumlah bhikkhu, namun di akhir konferensi beberapa pimpinan
organisasi Buddhis dari kaum Dalit menyatakan bahwa mereka siap bekerja sama
dengan para Lama dari Tibet untuk memberikan Buddha Dhamma yang sebenarnya
kepada komunitas Buddhis di India. Sebuah tesis sederhana mungkin dapat kita
renungkan bahwa Tibet mungkin memang harus meninggalkan kenyamanan tanah
kelahirannya yang begitu kental akan spiritual untuk membangkitkan kembali
Buddhisme di tanah Buddha melanjutkan perjuangan Ambedkar bersama-sama jutaan
pengikutnya.
Eddy Setiawan, Ketua Umum PP HIKMAHBUDHI
periode 2005-2007