Sunday, October 27, 2013

Satoe Indonesia

Kaum muda di belahan dunia manapun memang memiliki kodrat untuk menjadi bagian dari pembaharuan, perombakan, hingga pemberontakan. Pancaran energi kaum muda inilah yang juga tampak dalam salah satu momentum penting berdirinya sebuah negara bangsa yang diberi nama Indonesia, yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 belasan tahun setelah kaum muda terpelajar mulai menggunakannya sebagai nama media atau organisasinya.

Wilayah nusantara dulunya memiliki berbagai sebutan seperti  Nan Hai atau Kepulauan Selatan (Tiongkok), Dwipantara atau Kepulauan Tanah Seberang (India), Jaza’ir al-Jawi atau Kepulauan Jawa (Arab), Hindia Belakang (Eropa), Nederlandsch-Indie atau Hindia Belanda (Belanda), To-Indo atau Hindia Timur (Jepang), dan Insulinde atau Kepulauan Hindia (E. Douwes Dekker).  

Usul untuk memberikan nama yang lebih spesifik pertama kali dilontarkan dalam Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia Volume IV yang terbit di Singapura pada tahun 1850, oleh George Samuel Windsor Earl seorang etnolog dan James Richardson Logan seorang Sarjana Hukum. Earl mengajukan dua alternatif penamaan dalam artikelnya On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations di halaman 71, yakni Melayunesia atau Indunesia dan merekomendasikan Melayunesia.

Logan pada salah satu catatan kaki artikelnya The Etnology of The Indian Archipelago di halaman 254 menyatakan lebih memilih istilah geografi “Indonesia” yang merupakan sinonim lebih pendek dari Kepulauan Hindia, dan sejak itu ia konsisten menggunakannya dalam berbagai karya ilmiahnya dan kemudian digunakan secara umum oleh kalangan akademisi khususnya di bidang etnologi dan geografi. Namun Belanda sebagai penjajah nusantara menenal istilah Indonesia tidak secara langsung dari Logan tapi melalui karya Adolf Bastian,  seorang guru besar etnologi dari Universitas Berlin yang mengambil istilah Indonesia dari karya Logan yang diserap dalam bahasa Belanda menjadi Indische.

Politik Etis yang mulai diberlakukan Belanda 1901 adalah salah satu hal yang akhirnya melahirkan kaum muda terpelajar di nusantara, diantaranya Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara agar lebih egaliter dan melepaskan diri dari primordialisme. Dewantara adalah bagian dari kaum muda terpelajar pertama yang menggunakan istilah Indonesia untuk organisasinya yaitu Indonesische Persbureau ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 di usia 24 tahun.

Dewantara diasingkan  karena keberanian dan ketajaman tulisannya Als Ik Eens Nederlander Was (Andai Aku Seorang Belanda), yang mengkritik keras rencana perayaan 100 tahun bebasnya Belanda dari penjajahan Perancis yang ironisnya akan dirayakan di sebuah negeri dimana Belanda sedang bertindak sebagai sang penjajah; Hindia Belanda. Setahun sebelum diasingkan, ia bersama dua kawannya pada saat kuliah kedokteran yaitu E.F.E Douwes Dekker seorang peranakan Belanda yang kemudian mengganti nama menjadi Danudirja Setiabudi dan Cipto Mangunkusumo mendirikan organisasi politik pertama di Hindia Belanda dengan tujuan Indonesia merdeka, yakni Indische Partij.

Kaum muda dengan berbagai dinamika di masa kolonilisme kala itu, terus bergerak dan membangun kesadaran tentang suatu bangsa yang dapat dibangun oleh seluruh entitas di Hindia Belanda kala itu. Interaksi antar bangsa, bangkitnya nasionalisme dan berdirinya negara bangsa dengan melepaskan diri dari penjajahan sebagaimana terjadi di Tiongkok dan belahan lainnya, menambah keyakinan kaum muda di Hindia Belanda untuk membentuk suatu negara bangsa di atas keberagaman nusantara.

Proto Nasionalisme

Bentuk-bentuk persatuan antar suku bangsa di nusantara sebenarnya sudah terjadi sejak lama, misalnya pada Perang Sepanjang 1740-1743. Perang ini sesungguhnya merupakan perlawanan terbesar dalam sejarah nusantara yang dilakukan oleh pasukan gabungan dari suku Jawa, Tionghoa dan Bali. Perang ini dipicu pembantaian keji yang diotaki Belanda terhadap masyarakat Tionghoa di Batavia 1740, puluhan ribu orang Tionghoa menjadi korban dari orang dewasa hingga bayi bahkan pasien di rumah sakit pun tak luput dari pembantaian keji tersebut.

Kerajaan Belanda yang khawatir akan kemarahan Kerajaan Tiongkok akhirnya bisa bernapas lega karena Kaisar Tiongkok, Kian Liong menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa di Batavia tidak diakuinya sebagai bagian dari rakyatnya karena sudah meninggalkan negerinya, sehingga ia tidak terlalu mempersoalkan pembantaian tersebut. Reaksi yang berbeda justru datang dari tokoh Tionghoa di Batavia dan Jawa bagian tengah, yakni Sauw Pan Djiang (lidah Jawa menyebutnya Sepanjang) dan Tan Sin Ko (Singseh) yang memimpin Laskar Tionghoa bersekutu dengan pasukan Jawa dibawah pimpinan Sunan Amangkurat V alias R.M Garendi dan Raden Mas Said atau lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyowo yang kelak menjadi Mangkunegara I. Perang ini juga melibatkan Untung Surapati yang memimpin pasukan campuran Bali dan Jawa di daerah Jawa bagian Timur.   

Serangan dimulai di daerah Gandaria wilayah selatan Batavia yang kemudian menjalar hampir di seluruh pulau Jawa bagian barat, tengah hingga timur, namun anehnya kepingan sejarah persatuan itu tidak pernah diajarkan dalam mata pelajaran sejarah di sekolah hingga hari ini. Padahal baik dalam hal skala, cakupan wilayah, jumlah pasukan yang terlibat serta dampak kerugian terhadap Belanda, perang ini jauh melebihi Perang Diponegoro 1825-1830.

Kaum Muda Pembaharu

Perjuangan yang lebih sistemik dan memiliki arti politik yang penting mulai bergema tat kala para mahasiswa mulai bergerak baik melalui media maupun organisasi, sebut saja majalah Hindia Poetra Hatta yang diterbitkan kembali oleh Mohammad Hatta dan rekan-rekannya yang mulai mengkritisi praktik kolonialisme Belanda di Hindia Belanda dan menyebarkan semangat antikolonial. Dengan berani pada tahun 1924, saat majalah ini dipimpin M. Nazir Datuk Pamoentjak namanya diubah menjadi Indonesia Merdeka, sedangkan nama organisasi yang semula Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang didirikan 1908 hampir berbarengan dengan organisasi pribumi di Hindia Belanda yakni Boedi Oetomo, kemudian diubah menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925, dan setahun kemudian Hatta menjadi Ketua organisasi yang secara sistematis melakukan propaganda kemerdekaan Indonesia tersebut.

Benih-benih nasionalisme tersebut terus bertumbuh ditengah berbagai halangan dari penjajah. Sukarno adalah salah satu pelopor dan penganjur yang gigih semangat persatuan seluruh suku di Hindia Belanda, sampai-sampai ia kerap diledek para pelajar Jakarta dengan sebutan “Bapak Persatuan dari Bandung.” Namun anjuran Sukarno inilah yang menjadi salah satu pemicu diskusi antar kaum muda seperti Mohammad Yamin, Sugondo Djojopuspito, Maruto, Pandu Kartawiguna, seorang anak SMA yang kelak menjadi Perdana Menteri I Republik Indonesia bernama Syahrir di kamar Mohammad Yamin di Jalan Braga pertengahan tahun 1927.

Wacana yang dilontarkan Syahrir dalam diskusi itu menurut Sugondo, sosok sentral dibalik gerakan Sumpah Pemuda, adalah hal yang sangat tepat dan merangsang terwujudnya Sumpah Pemuda. Si anak SMA yang menjadi target intelijen Polisi Belanda karena tulisan-tulisannya itu, merespon pertanyaan Yamin “Bung Karno minta kita bersatu, itu….bagaimana menurut kalian?

Pada gilirannya, Syahrir berpendapat “Kalian bicara persatuan, tapi tanpa suatu tindakan penjiwaan terhadap persatuan itu, mana bisa? Persatuan itu bukan sekedar konsepuntuk menyatukan sebuah perjuangan, tapi sebuah gagasan baru, sebuah jaman baru dan lebih besar lagi ‘persatuan’ itu adalah sebuah peradaban baru. Bisa nggak kalian bikin sebuah peradaban baru bernama Indonesia, sebuah peradaban yang bisa saja seagung ‘Peradaban Yunani’, ‘Peradaban Romawi’, atau ‘Peradaban Eropa Barat’ itulah tujuan dari persatuan.”

Akhirnya pada tanggal 28 Oktober 1928, di tengah-tengah alam kolonialisme yang sangat tidak ramah tersebut Sugondo yang menjadi Ketua Panitia Kongres Pemuda II harus mengakali agar intel Belanda tidak membubarkan acara, agar polisi hanya memandang kegiatan ini sebagai kegiatan debat biasa dan membuat setting sedemikian sehingga perdebatan antar mahasiswa dan pelajar tidak berkepanjangan sehingga mempermudah lahirnya apa yang sekarang kita sebut sebagai Sumpah Pemuda.

Panitia berhasil mengumpulkan 71 orang dari berbagai organisasi pemuda dengan latar belakang beragam berkumpul di sebuah rumah di Jl. Kramat No. 106 milik Sie Kok Liong asal Semarang, yang juga dipakai sebagai markas Jong Java dan di penghujung acara menyerukan tekad untuk bersatu menjadi satu entitas, satu bangsa, satu tanah air, dan memilih bahasa persatuan: Indonesia. Organisasi-organisasi pemuda yang umumnya menggunakan kata “Jong” didepan nama daerah tersebut, sesungguhnya lebih banyak merupakan organisasi berdasarkan daerah asal bukan kesukuan, kecuali Jong Batak dan Jong Islamieten yang berbasis kesukuan dan agama. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya peserta Sumpah Pemuda seperti Kwee Thiam Hong yang mewakili Jong Sumatranen, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie yang merupakan perwakilan Jong Java, Jong Celebes dan lain-lain. Pemuda keturunan Arab yang tidak terlibat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober, di pimpin AR Baswedan kemudian menggelar Sumpah Pemuda keturunan Arab di Semarang.

Seluruh kepingan sejarah itu sangat penting untuk memahami konteks berdirinya negara bangsa yang sepakat diberi nama Indonesia ini, untuk menyadari betapa Indonesia dibentuk, diperjuangkan dan dicita-citakan oleh seluruh elemen yang ada di Hindia Belanda kala itu. Maka ketika momen persiapan membentuk negara bangsa di BPUPKI Soetardjo secara jelas menyatakan bahwa sebelum terbentuknya negara Indonesia, baik golongan pribumi, golongan timur asing (Tionghoa, Arab dan lain-lain) maupun golongan Eropa memiliki status yang sama sebagai Nederlandsch Onderdaan (Kaula Negara Belanda) sesuai hukum yang berlaku sebelum terbentuknya sistem hukum negara Indonesia.

Sistem hukum Indonesia kemudian memberikan status kewarganegaran Indonesia kepada semua orang yang lahir di Indonesia, atau sudah tinggal di Indonesia sejak 17 Agustus 1940 tanpa memandang suku bangsa, agama dan ras, kecuali yang bersangkutan menolak.  Spirit inilah yang seharusnya senantiasa kita ingat, sehingga dapat menepis semua prasangka antar suku, agama ataupun ras yang membentuk republik ini yang hanya akan memecah belah dan merugikan kita semua. Merunut pada pemikiran para pendiri bangsa ini, konsepsi putra daerah misalnya harus dimaknai sebagai setiap orang sudah tinggal di suatu daerah sejak kelahirannya bukan atas dasar kesukuannya. Sehingga anak-anak transmigran asal Jawa dan Bali misalnya, yang sudah lahir di Lampung, Kalimantan dan lain-lain adalah putra daerah bersangkutan.  

Ingatlah selalu bahwa semua entitas tersebut telah memberi warna dan berperan dalam pembentukan negara bangsa ini, mereka telah hidup dan berinteraksi dalam waktu yang panjang, sama-sama merasakan penderitaan di masa kolonial dan akhirnya berani bermimpi dan memperjuangkan satu negara bangsa dengan nama Indonesia, dengan kaum muda sebagai lokomotifnya. Kini di masa kekejaman dan kekuasaan para koruptor, kembali kita bisa saksikan bahwa negeri ini masih dapat menggantungkan harapan pada kaum mudanya. Kemenangan Timnas U-19 di piala AFF dibawah binaan Indra Sjafri, hingga munculnya kepala-kepala daerah reformis yang juga umumnya berusia relatif muda adalah bukti bahwa masih ada kaum muda yang memiliki idealisme dan kecintaan tulus terhadap negeri ini, kecintaan yang tuntas pada satoe Indonesia.

Eddy Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia

No comments:

Post a Comment