Kaum muda di
belahan dunia manapun memang memiliki kodrat untuk menjadi bagian dari
pembaharuan, perombakan, hingga pemberontakan. Pancaran energi kaum muda inilah
yang juga tampak dalam salah satu momentum penting berdirinya sebuah negara
bangsa yang diberi nama Indonesia, yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 belasan
tahun setelah kaum muda terpelajar mulai menggunakannya sebagai nama media atau
organisasinya.
Wilayah
nusantara dulunya memiliki berbagai sebutan seperti Nan Hai atau Kepulauan Selatan (Tiongkok),
Dwipantara atau Kepulauan Tanah Seberang (India), Jaza’ir al-Jawi atau
Kepulauan Jawa (Arab), Hindia Belakang (Eropa), Nederlandsch-Indie atau Hindia
Belanda (Belanda), To-Indo atau Hindia Timur (Jepang), dan Insulinde atau Kepulauan
Hindia (E. Douwes Dekker).
Usul untuk
memberikan nama yang lebih spesifik pertama kali dilontarkan dalam Journal of
The Indian Archipelago and Eastern Asia Volume IV yang terbit di Singapura pada
tahun 1850, oleh George Samuel Windsor Earl seorang etnolog dan James
Richardson Logan seorang Sarjana Hukum. Earl mengajukan dua alternatif penamaan
dalam artikelnya On the Leading
Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations di
halaman 71, yakni Melayunesia atau Indunesia dan merekomendasikan Melayunesia.
Logan pada
salah satu catatan kaki artikelnya The Etnology of The Indian Archipelago di halaman
254 menyatakan lebih memilih istilah geografi “Indonesia” yang merupakan
sinonim lebih pendek dari Kepulauan Hindia, dan sejak itu ia konsisten menggunakannya
dalam berbagai karya ilmiahnya dan kemudian digunakan secara umum oleh kalangan
akademisi khususnya di bidang etnologi dan geografi. Namun Belanda sebagai
penjajah nusantara menenal istilah Indonesia tidak secara langsung dari Logan
tapi melalui karya Adolf Bastian,
seorang guru besar etnologi dari Universitas Berlin yang mengambil
istilah Indonesia dari karya Logan yang diserap dalam bahasa Belanda menjadi
Indische.
Politik Etis
yang mulai diberlakukan Belanda 1901 adalah salah satu hal yang akhirnya melahirkan
kaum muda terpelajar di nusantara, diantaranya Raden Mas Suwardi Suryaningrat
yang kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara agar lebih egaliter
dan melepaskan diri dari primordialisme. Dewantara adalah bagian dari kaum muda
terpelajar pertama yang menggunakan istilah Indonesia untuk organisasinya yaitu
Indonesische Persbureau ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 di usia 24
tahun.
Dewantara diasingkan karena keberanian dan ketajaman tulisannya Als Ik Eens Nederlander Was (Andai Aku
Seorang Belanda), yang mengkritik keras rencana perayaan 100 tahun bebasnya
Belanda dari penjajahan Perancis yang ironisnya akan dirayakan di sebuah negeri
dimana Belanda sedang bertindak sebagai sang penjajah; Hindia Belanda. Setahun
sebelum diasingkan, ia bersama dua kawannya pada saat kuliah kedokteran yaitu E.F.E
Douwes Dekker seorang peranakan Belanda yang kemudian mengganti nama menjadi
Danudirja Setiabudi dan Cipto Mangunkusumo mendirikan organisasi politik pertama
di Hindia Belanda dengan tujuan Indonesia merdeka, yakni Indische Partij.
Kaum muda
dengan berbagai dinamika di masa kolonilisme kala itu, terus bergerak dan
membangun kesadaran tentang suatu bangsa yang dapat dibangun oleh seluruh
entitas di Hindia Belanda kala itu. Interaksi antar bangsa, bangkitnya
nasionalisme dan berdirinya negara bangsa dengan melepaskan diri dari
penjajahan sebagaimana terjadi di Tiongkok dan belahan lainnya, menambah
keyakinan kaum muda di Hindia Belanda untuk membentuk suatu negara bangsa di
atas keberagaman nusantara.
Proto Nasionalisme
Bentuk-bentuk
persatuan antar suku bangsa di nusantara sebenarnya sudah terjadi sejak lama,
misalnya pada Perang Sepanjang 1740-1743. Perang ini sesungguhnya merupakan
perlawanan terbesar dalam sejarah nusantara yang dilakukan oleh pasukan
gabungan dari suku Jawa, Tionghoa dan Bali. Perang ini dipicu pembantaian keji
yang diotaki Belanda terhadap masyarakat Tionghoa di Batavia 1740, puluhan ribu
orang Tionghoa menjadi korban dari orang dewasa hingga bayi bahkan pasien di
rumah sakit pun tak luput dari pembantaian keji tersebut.
Kerajaan
Belanda yang khawatir akan kemarahan Kerajaan Tiongkok akhirnya bisa bernapas
lega karena Kaisar Tiongkok, Kian Liong menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa
di Batavia tidak diakuinya sebagai bagian dari rakyatnya karena sudah
meninggalkan negerinya, sehingga ia tidak terlalu mempersoalkan pembantaian
tersebut. Reaksi yang berbeda justru datang dari tokoh Tionghoa di Batavia dan
Jawa bagian tengah, yakni Sauw Pan Djiang (lidah Jawa menyebutnya Sepanjang)
dan Tan Sin Ko (Singseh) yang memimpin Laskar Tionghoa bersekutu dengan pasukan
Jawa dibawah pimpinan Sunan Amangkurat V alias R.M Garendi dan Raden Mas Said
atau lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyowo yang kelak menjadi Mangkunegara
I. Perang ini juga melibatkan Untung Surapati yang memimpin pasukan campuran
Bali dan Jawa di daerah Jawa bagian Timur.
Serangan
dimulai di daerah Gandaria wilayah selatan Batavia yang kemudian menjalar
hampir di seluruh pulau Jawa bagian barat, tengah hingga timur, namun anehnya
kepingan sejarah persatuan itu tidak pernah diajarkan dalam mata pelajaran
sejarah di sekolah hingga hari ini. Padahal baik dalam hal skala, cakupan
wilayah, jumlah pasukan yang terlibat serta dampak kerugian terhadap Belanda,
perang ini jauh melebihi Perang Diponegoro 1825-1830.
Kaum Muda Pembaharu
Perjuangan
yang lebih sistemik dan memiliki arti politik yang penting mulai bergema tat
kala para mahasiswa mulai bergerak baik melalui media maupun organisasi, sebut
saja majalah Hindia Poetra Hatta yang diterbitkan kembali oleh Mohammad Hatta
dan rekan-rekannya yang mulai mengkritisi praktik kolonialisme Belanda di
Hindia Belanda dan menyebarkan semangat antikolonial. Dengan berani pada tahun
1924, saat majalah ini dipimpin M. Nazir Datuk Pamoentjak namanya diubah
menjadi Indonesia Merdeka, sedangkan nama organisasi yang semula Indische
Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang didirikan 1908 hampir berbarengan dengan
organisasi pribumi di Hindia Belanda yakni Boedi Oetomo, kemudian diubah
menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925, dan setahun kemudian Hatta
menjadi Ketua organisasi yang secara sistematis melakukan propaganda
kemerdekaan Indonesia tersebut.
Benih-benih
nasionalisme tersebut terus bertumbuh ditengah berbagai halangan dari penjajah.
Sukarno adalah salah satu pelopor dan penganjur yang gigih semangat persatuan
seluruh suku di Hindia Belanda, sampai-sampai ia kerap diledek para pelajar
Jakarta dengan sebutan “Bapak Persatuan dari Bandung.” Namun anjuran Sukarno
inilah yang menjadi salah satu pemicu diskusi antar kaum muda seperti Mohammad
Yamin, Sugondo Djojopuspito, Maruto, Pandu Kartawiguna, seorang anak SMA yang
kelak menjadi Perdana Menteri I Republik Indonesia bernama Syahrir di kamar
Mohammad Yamin di Jalan Braga pertengahan tahun 1927.
Wacana yang
dilontarkan Syahrir dalam diskusi itu menurut Sugondo, sosok sentral dibalik
gerakan Sumpah Pemuda, adalah hal yang sangat tepat dan merangsang terwujudnya
Sumpah Pemuda. Si anak SMA yang menjadi target intelijen Polisi Belanda karena
tulisan-tulisannya itu, merespon pertanyaan Yamin “Bung Karno minta kita
bersatu, itu….bagaimana menurut kalian?
Pada
gilirannya, Syahrir berpendapat “Kalian bicara persatuan, tapi tanpa suatu
tindakan penjiwaan terhadap persatuan itu, mana bisa? Persatuan itu bukan
sekedar konsepuntuk menyatukan sebuah perjuangan, tapi sebuah gagasan baru,
sebuah jaman baru dan lebih besar lagi ‘persatuan’ itu adalah sebuah peradaban
baru. Bisa nggak kalian bikin sebuah peradaban baru bernama Indonesia, sebuah
peradaban yang bisa saja seagung ‘Peradaban Yunani’, ‘Peradaban Romawi’, atau
‘Peradaban Eropa Barat’ itulah tujuan dari persatuan.”
Akhirnya pada
tanggal 28 Oktober 1928, di tengah-tengah alam kolonialisme yang sangat tidak
ramah tersebut Sugondo yang menjadi Ketua Panitia Kongres Pemuda II harus
mengakali agar intel Belanda tidak membubarkan acara, agar polisi hanya
memandang kegiatan ini sebagai kegiatan debat biasa dan membuat setting sedemikian sehingga perdebatan
antar mahasiswa dan pelajar tidak berkepanjangan sehingga mempermudah lahirnya
apa yang sekarang kita sebut sebagai Sumpah Pemuda.
Panitia
berhasil mengumpulkan 71 orang dari berbagai organisasi pemuda dengan latar
belakang beragam berkumpul di sebuah rumah di Jl. Kramat No. 106 milik Sie Kok
Liong asal Semarang, yang juga dipakai sebagai markas Jong Java dan di
penghujung acara menyerukan tekad untuk bersatu menjadi satu entitas, satu
bangsa, satu tanah air, dan memilih bahasa persatuan: Indonesia. Organisasi-organisasi
pemuda yang umumnya menggunakan kata “Jong” didepan nama daerah tersebut,
sesungguhnya lebih banyak merupakan organisasi berdasarkan daerah asal bukan
kesukuan, kecuali Jong Batak dan Jong Islamieten yang berbasis kesukuan dan agama.
Hal ini dapat dibuktikan dari adanya peserta Sumpah Pemuda seperti Kwee Thiam
Hong yang mewakili Jong Sumatranen, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio
Djien Kwie yang merupakan perwakilan Jong Java, Jong Celebes dan lain-lain.
Pemuda keturunan Arab yang tidak terlibat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober, di
pimpin AR Baswedan kemudian menggelar Sumpah Pemuda keturunan Arab di Semarang.
Seluruh
kepingan sejarah itu sangat penting untuk memahami konteks berdirinya negara
bangsa yang sepakat diberi nama Indonesia ini, untuk menyadari betapa Indonesia
dibentuk, diperjuangkan dan dicita-citakan oleh seluruh elemen yang ada di
Hindia Belanda kala itu. Maka ketika momen persiapan membentuk negara bangsa di
BPUPKI Soetardjo secara jelas menyatakan bahwa sebelum terbentuknya negara
Indonesia, baik golongan pribumi, golongan timur asing (Tionghoa, Arab dan
lain-lain) maupun golongan Eropa memiliki status yang sama sebagai Nederlandsch
Onderdaan (Kaula Negara Belanda) sesuai hukum yang berlaku sebelum terbentuknya
sistem hukum negara Indonesia.
Sistem hukum
Indonesia kemudian memberikan status kewarganegaran Indonesia kepada semua
orang yang lahir di Indonesia, atau sudah tinggal di Indonesia sejak 17 Agustus
1940 tanpa memandang suku bangsa, agama dan ras, kecuali yang bersangkutan
menolak. Spirit inilah yang seharusnya
senantiasa kita ingat, sehingga dapat menepis semua prasangka antar suku, agama
ataupun ras yang membentuk republik ini yang hanya akan memecah belah dan
merugikan kita semua. Merunut pada pemikiran para pendiri bangsa ini, konsepsi
putra daerah misalnya harus dimaknai sebagai setiap orang sudah tinggal di
suatu daerah sejak kelahirannya bukan atas dasar kesukuannya. Sehingga
anak-anak transmigran asal Jawa dan Bali misalnya, yang sudah lahir di Lampung,
Kalimantan dan lain-lain adalah putra daerah bersangkutan.
Ingatlah
selalu bahwa semua entitas tersebut telah memberi warna dan berperan dalam pembentukan
negara bangsa ini, mereka telah hidup dan berinteraksi dalam waktu yang
panjang, sama-sama merasakan penderitaan di masa kolonial dan akhirnya berani
bermimpi dan memperjuangkan satu negara bangsa dengan nama Indonesia, dengan
kaum muda sebagai lokomotifnya. Kini di masa kekejaman dan kekuasaan para
koruptor, kembali kita bisa saksikan bahwa negeri ini masih dapat
menggantungkan harapan pada kaum mudanya. Kemenangan Timnas U-19 di piala AFF
dibawah binaan Indra Sjafri, hingga munculnya kepala-kepala daerah reformis
yang juga umumnya berusia relatif muda adalah bukti bahwa masih ada kaum muda
yang memiliki idealisme dan kecintaan tulus terhadap negeri ini, kecintaan yang
tuntas pada satoe Indonesia.
Eddy
Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia
No comments:
Post a Comment