Tuesday, March 4, 2014
Thursday, February 27, 2014
Monday, December 30, 2013
8 Arah Positif Revisi UU Adminduk
Administrasi
Kependudukan merupakan sesuatu yang vital bagi suatu bangsa karena data-data
kependudukan yang valid akan sangat menentukan dalam mengambil berbagai
kebijakan, dari pembangunan, pendidikan, kesehatan hingga pertahanan dan
keamanan. Indonesia baru memiliki UU Administrasi Kependudukan tahun 2006,
yakni UU Nomor 23 Tahun 2006 yang dalam perjalanannya ternyata memang
membutuhkan perubahan sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Penyesuaian
pertama terjadi melalui judicial review
di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ketentuan sidang di pengadilan
bagi penduduk yang terlambat melaporkan kelahiran melebihi batas waktu satu
tahun. Sedangkan perubahan kedua baru saja disahkan 26 November 2013 lalu oleh DPR
RI. Perubahan yang terjadi sebagian besar tampaknya sudah memenuhi tuntutan
masyarakat dan memberi arah yang positif menuju tertib adminduk di Indonesia.
Adapun 8 perubahan
positif tersebut yakni pertama perubahan stelsel aktif dari penduduk ke negara,
sehingga dokumen kependudukan dimaknai sebagai hak penduduk dan kewajiban
negara. Jadi negara yang wajib bekerja serius agar semua penduduk memiliki
dokumen kependudukan, bukan sebaliknya. Kedua, perubahan asas dalam pengurusan
akta kelahiran dari asas peristiwa menjadi asas peristiwa yang dapat dilayani
di domisili, sehingga pendatang ber-KTP DKI Jakarta tapi belum memiliki akta
kelahiran misalnya, dapat mengurusnya di domisilinya meski lahir di luar Propinsi
DKI Jakarta, tempat lahirnya tetap tercatat sesuai dimana peristiwa terjadi. Ketentuan
ini adalah kunci penyelesaian kasus-kasus pendatang di kota besar yang pada
umumnya tidak memiliki akta kelahiran dan kesulitan apabila diwajibkan mengurus
akta kelahiran ke daerah asalnya sebagaimana ketentuan lama yang masih
menggunakan asas peristiwa secara murni.
Ketiga,
pemberlakuan KTP Elektoronik seumur hidup bagi WNI dan sesuai ijin tinggal bagi
WNA, termasuk KTP-el yang sudah diterbitkan sebelum perubahan UU. Hal ini akan
meringankan bagi rakyat yang selama ini setiap 5 tahun harus menyiapkan
anggaran dan waktu untuk mengurus perpanjangan KTP. Di sisi pemerintah hal ini
akan mengurangi beban anggaran dan pekerjaan terutama di kelurahan, sehingga
tentu diharapkan energi yang ada dapat dialihkan untuk pekerjaan produktif lainnya.
Keempat,
perluasan kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam hal Administrasi Kependudukan
menjadi lintas daerah dan vertikal hingga ke tingkat kabupaten/kota, yang
diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi menuju tertib adminduk.
Hal ini juga mempermudah pengawasan, fasilitasi, pembinaan, pemantauan, evaluasi
dan standarisasi syarat, prosedur seluruh administrasi kependudukan serta
penyediaan blangko KTP Elektronik dan dokumen kependudukan lainnya di seluruh
wilayah Indonesia oleh Kemdagri.
Kelima, penggratisan
biaya pengurusan dan penerbitan seluruh dokumen kependudukan seperti Akta
Kelahiran, KTP, KK, Akta Kematian dan lain-lain. Seluruh biaya untuk urusan
administrasi kependudukan akan ditanggung APBN yang disalurkan ke pemerintah
daerah melalui mekanisme Dana Dekonsentrasi dan Dana Pembantuan.
Keenam,
seluruh peraturan pelaksana UU Adminduk yang semula di level Peraturan
Pemerintah diturunkan ke level Peraturan Menteri sehingga logikanya akan lebih
cepat dan mudah untuk segera melengkapi perubahan UU ini dengan peraturan
pelaksananya. Ketujuh, pengelolaan data kependudukan dipusatkan di Kemdagri,
sementara pemprop dan pemkab/pemkot hanya berwenang menyajikan data, itupun
yang sudah dikonsolidasikan dan divalidasi Kemdagri.
Kedelapan, penghapusan
kata “Dinas” pada ketentuan mengenai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) karena
memang tidak semua daerah memiliki Dinas Kependudukan, ada yang dalam bentuk
Badan misalnya. Prioritas pembentukan UPT tidak lagi tergantung daerah tapi diatur
melalui Permen, sehingga pelayanan catatan sipil yang selama ini dilakukan di
tingkat kabupaten/kota akan turun ke tingkat kecamatan melalui pembentukan UPT
Instansi Pelaksana. Unit ini diberi kewenangan menerbitkan akta kelahiran,
kematian, perkawinan dan akta catatan sipil lainnya. Sementara di tingkat kelurahan
dibuka peluang pengangkatan Petugas Registrasi dari luar PNS, sehingga tidak
ada alasan bagi pemkab/pemkot tidak dapat menyediakan Petugas Registrasi di
kelurahan. Petugas inilah ujung tombak pelayanan yang bertugas memproses
pengurusan berbagai dokumen kependudukan di setiap kelurahan.
Total
perubahan UU ini berjumlah 31, namun sebagian adalah perbaikan redaksional,
perubahan frasa negatif ke positif dan konsekuensi dari 8 perubahan di atas.
Sungguh kita harus mengapresiasi Kemdagri atas perubahan progresif ini,
sehingga sekarang kita bisa membayangkan akan dengan lebih mudah mengurus
berbagai dokumen kependudukan, jauh dari pungli dan birokrasi berbelit-belit,
dan pelayanannya dekat dengan rumah. Tantangan selanjutnya bagi Menteri Dalam
Negeri adalah untuk segera menerbitkan 8 Permen terkait perubahan UU ini
setelah disahkan Presiden, sehingga semua konsepsi segera menjadi realitas.
Eddy Setiawan, Peneliti Institut
Kewarganegaraan Indonesia (IKI)
Thursday, November 7, 2013
Tertib Adminduk di Era Otonomi Daerah
Data kependudukan dan catatan sipil merupakan suatu hal yang sangat vital karena menyangkut banyak kepentingan strategis nasional, namun hingga Indonesia memiliki presiden ke-6, tertib administrasi kependudukan belum juga tercapai.
Artinya masih banyak rakyat Indonesia yang tidak tercatat dalam sistem administrasi kependudukan negeri ini, padahal data-data semacam itu sangat menentukan dalam perencanaan pembangunan nasional di berbagai bidang hingga menjadi salah satu alat efektif untuk mencegah korupsi.
Salah satu contohnya adalah tingkat kepemilikan akta kelahiran yang masih sangat rendah di kalangan anak-anak berusia 0-4 tahun, yakni 59% (Susenas, 2011), dan angka tersebut akan menjadi lebih besar apabila ditambah persentase orang dewasa yang tidak memiliki akta kelahiran. Rendahnya tingkat kepemilikan akta kelahiran ini sangat memprihatinkan mengingat Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak, 23 tahun yang lalu.
Pasal 7 konvensi ini, menyatakan bahwa setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya sehingga akan mempunyai hak atas sebuah nama dan kewarganegaraan serta hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya. Indonesia sebagai negara peserta diwajibkan menjamin pelaksanaan hak-hak ini sesuai dengan hukum yang berlaku. Pada tahun 2012 lalu Indonesia bahkan telah meratifikasi protokol opsional dalam Konvensi Hak-Hak Anak, yakni terkait perdagangan anak, prostitusi anak dan pelibatan anak dalam konflik bersenjata.
Konvensi di atas diterjemahkan ke dalam UU HAM 1999, yang menyatakan bahwa setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan, dan diatur lebih rinci dalam UU Perlindungan Anak 2002 yang diantara pasal-pasalnya menyatakan bahwa identitas diri setiap anak yang dituangkan dalam akta kelahiran harus diberikan sejak kelahirannya, dan pembuatan akta kelahiran merupakan tanggung jawab pemerintah dan tidak dikenai biaya.
Secara yuridis, apabila seseorang tidak tercatat kelahirannya berarti keberadaannya tidak diakui oleh negara sehingga hak-haknya pun akan diabaikan. Fakta rendahnya kepemilikan akta kelahiran di Indonesia seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah akan besarnya ancaman perdagangan anak, manipulasi data, dan lain-lain yang berpangkal pada ketidakjelasan identitas diri dan status kewarganegaraannya. Tanpa Akta Kelahiran berarti tanpa nama secara legal, dan tidak memiliki bukti kewarganegaraan yang bermakna tidak ada perlindungan dari negara manapun di muka bumi ini, sehingga rentan menjadi korban kejahatan.
Fakta di atas menunjukkan bahwa tertib administrasi kependudukan merupakan kebutuhan dan kewajiban suatu negara dalam rangka memberikan perlindungan kepada warganya. Hal ini juga menjadi spirit lahirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan pada tahun 2006. Namun di era otonomi daerah saat ini, untuk mewujudkan tertib adminduk secara nasional merupakan tantangan tersendiri, karena di dalam UU Otonomi Daerah hanya 6 urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat yaitu Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional dan Agama. Namun Otonomi daerah seharusnya tidak hanya dipahami sebagai bentuk pelimpahan sebagian wewenang pemerinah pusat kepada pemerintah daerah dalam konteks demokratisasi, namun juga terkait dengan optimalisasi pelayanan kepada rakyat.
Aksentuasi otonomi daerah secara konseptual sesungguhnya adalah kepada masyarakat lokal, bukan kepada elit-elit lokal. Otonomi daerah memberikan kebebasan lebih besar kepada rakyat di tingkat lokal untuk berpartisipasi terhadap jalannya pemerintahan, dapat menentukan kepala daerah sendiri, dan memiliki akses yang lebih luas dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Namun dalam implementasinya yang terjadi hanya pergeseran kekuasaan kepada elit lokal, sehingga lahirlah perda-perda bermasalah yang dibuat hanya dengan pertimbangan lokalistis sempit tanpa pertimbangan kepentingan nasional bahkan ada yang bias agama.
Dalam menciptakan tertib administrasi kependudukan secara nasional, pemerintah daerah memegang peranan yang sangat vital karena pelayanan administrasi kependudukan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Namun sampai saat ini belum banyak daerah yang memiliki pelayanan publik yang ideal sebagaimana dituntut dalam UU Pelayanan Publik, bahkan daerah istimewa seperti DKI Jakarta sekalipun hingga saat ini belum memiliki payung hukum untuk pelayanan satu atap sebagaimana yang telah diterapkan di Bandung misalnya.
Sungguh terlalu memang, sebuah Ibu Kota Negara gagal menjadi barometer bagi daerah lain, ironisnya justru DPRD DKI Jakarta lah yang terus saja menunda pengesahan berbagai Rancangan Perda yang sesungguhnya dapat mengoptimalkan pelayanan terhadap masyarakat dan meminimalisir korupsi atau bentuk penyalahgunaan wewenang lainnya seperti Pelayanan Terpadu Satu Atap, Tender online dan lain-lain. Padahal Jokowi Ahok sangat mendambakan keseluruhan sistem yang meminimalisir peluang terjadinya korupsi di lingkungan birokrasi Pemprop DKI Jakarta tersebut, dapat segera terealisir.
Seluruh perbaikan dalam pelayanan publik pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, memperbaiki iklim investasi, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks administrasi kependudukan, pelayanan yang baik akan mendorong masyarkat untuk tertib memenuhi dokumen kependudukan dan catatan sipilnya. Oleh karena itu, seluruh elemen kekuasaan seharusnya bersinergi mewujudkan suatu pelayanan publik yang profesional dan meninggalkan praktik-praktik kotor selama ini.
Peraturan perundang-undangan sesungguhnya telah menetapkan suatu standar pelayanan minimal, mengingat demikian beragamnya kondisi tiap-tiap daerah. Namun tanpa target yang jelas, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang mubasir karena inisiatif untuk meningkatkan pelayanan minimal ke pelayanan yang “optimal” sangat tergantung pada niat baik kepala daerah. Sesungguhnya perlu ada pengaturan tentang penetapan target dan mekanisme intervensi pemerintah pusat, apabila pemerintah daerah tidak/gagal memenuhi target yang telah ditetapkan dalam hal pelayanan publik. Sekedar contoh persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang masih bermasalah misalnya, sesungguhnya tidak perlu terjadi seandainya sejak dulu pemerintah daerah diberikan target yang jelas dan terukur untuk mewujudkan tertib administrasi di daerahnya masing-masing. Tertib Adminduk akan memudahkan proses E-KTP yang juga berarti memudahkan penetapan DPT.
Jadi hulunya adalah reformasi birokrasi, karena birokrasi yang ruwet dan penuh pungli adalah tembok penghalang terbesar yang mematikan inisiatif masyarakat mengurus berbagai dokumen pentingnya. Otonomi daerah seharusnya dapat mempercepat proses reformasi birokrasi di daerah yang berimplikasi pada terciptanya tertib administrasi kependudukan di Indonesia. Namun di saat kekuasaan daerah sudah telanjur dibajak oleh para perompak yang hanya memikirkan cara memperkaya diri dan golongannya, maka reformasi birokrasi adalah sesuatu yang merugikan bagi mereka sehingga tidak akan pernah dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Kepala daerah dan DPRD yang tidak memihak pada reformasi birokrasi, tidak berusaha sungguh-sungguh menciptakan pelayanan publik yang profesional adalah mereka yang tidak pantas diberi kepercayaan lagi pada Pemilu 2014, dan Pilkada di daerah masing-masing.
Eddy Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia
Artinya masih banyak rakyat Indonesia yang tidak tercatat dalam sistem administrasi kependudukan negeri ini, padahal data-data semacam itu sangat menentukan dalam perencanaan pembangunan nasional di berbagai bidang hingga menjadi salah satu alat efektif untuk mencegah korupsi.
Salah satu contohnya adalah tingkat kepemilikan akta kelahiran yang masih sangat rendah di kalangan anak-anak berusia 0-4 tahun, yakni 59% (Susenas, 2011), dan angka tersebut akan menjadi lebih besar apabila ditambah persentase orang dewasa yang tidak memiliki akta kelahiran. Rendahnya tingkat kepemilikan akta kelahiran ini sangat memprihatinkan mengingat Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak, 23 tahun yang lalu.
Pasal 7 konvensi ini, menyatakan bahwa setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya sehingga akan mempunyai hak atas sebuah nama dan kewarganegaraan serta hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya. Indonesia sebagai negara peserta diwajibkan menjamin pelaksanaan hak-hak ini sesuai dengan hukum yang berlaku. Pada tahun 2012 lalu Indonesia bahkan telah meratifikasi protokol opsional dalam Konvensi Hak-Hak Anak, yakni terkait perdagangan anak, prostitusi anak dan pelibatan anak dalam konflik bersenjata.
Konvensi di atas diterjemahkan ke dalam UU HAM 1999, yang menyatakan bahwa setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan, dan diatur lebih rinci dalam UU Perlindungan Anak 2002 yang diantara pasal-pasalnya menyatakan bahwa identitas diri setiap anak yang dituangkan dalam akta kelahiran harus diberikan sejak kelahirannya, dan pembuatan akta kelahiran merupakan tanggung jawab pemerintah dan tidak dikenai biaya.
Secara yuridis, apabila seseorang tidak tercatat kelahirannya berarti keberadaannya tidak diakui oleh negara sehingga hak-haknya pun akan diabaikan. Fakta rendahnya kepemilikan akta kelahiran di Indonesia seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah akan besarnya ancaman perdagangan anak, manipulasi data, dan lain-lain yang berpangkal pada ketidakjelasan identitas diri dan status kewarganegaraannya. Tanpa Akta Kelahiran berarti tanpa nama secara legal, dan tidak memiliki bukti kewarganegaraan yang bermakna tidak ada perlindungan dari negara manapun di muka bumi ini, sehingga rentan menjadi korban kejahatan.
Otonomi Daerah dan Adminduk
Fakta di atas menunjukkan bahwa tertib administrasi kependudukan merupakan kebutuhan dan kewajiban suatu negara dalam rangka memberikan perlindungan kepada warganya. Hal ini juga menjadi spirit lahirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan pada tahun 2006. Namun di era otonomi daerah saat ini, untuk mewujudkan tertib adminduk secara nasional merupakan tantangan tersendiri, karena di dalam UU Otonomi Daerah hanya 6 urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat yaitu Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional dan Agama. Namun Otonomi daerah seharusnya tidak hanya dipahami sebagai bentuk pelimpahan sebagian wewenang pemerinah pusat kepada pemerintah daerah dalam konteks demokratisasi, namun juga terkait dengan optimalisasi pelayanan kepada rakyat. Aksentuasi otonomi daerah secara konseptual sesungguhnya adalah kepada masyarakat lokal, bukan kepada elit-elit lokal. Otonomi daerah memberikan kebebasan lebih besar kepada rakyat di tingkat lokal untuk berpartisipasi terhadap jalannya pemerintahan, dapat menentukan kepala daerah sendiri, dan memiliki akses yang lebih luas dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Namun dalam implementasinya yang terjadi hanya pergeseran kekuasaan kepada elit lokal, sehingga lahirlah perda-perda bermasalah yang dibuat hanya dengan pertimbangan lokalistis sempit tanpa pertimbangan kepentingan nasional bahkan ada yang bias agama.
Dalam menciptakan tertib administrasi kependudukan secara nasional, pemerintah daerah memegang peranan yang sangat vital karena pelayanan administrasi kependudukan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Namun sampai saat ini belum banyak daerah yang memiliki pelayanan publik yang ideal sebagaimana dituntut dalam UU Pelayanan Publik, bahkan daerah istimewa seperti DKI Jakarta sekalipun hingga saat ini belum memiliki payung hukum untuk pelayanan satu atap sebagaimana yang telah diterapkan di Bandung misalnya.
Sungguh terlalu memang, sebuah Ibu Kota Negara gagal menjadi barometer bagi daerah lain, ironisnya justru DPRD DKI Jakarta lah yang terus saja menunda pengesahan berbagai Rancangan Perda yang sesungguhnya dapat mengoptimalkan pelayanan terhadap masyarakat dan meminimalisir korupsi atau bentuk penyalahgunaan wewenang lainnya seperti Pelayanan Terpadu Satu Atap, Tender online dan lain-lain. Padahal Jokowi Ahok sangat mendambakan keseluruhan sistem yang meminimalisir peluang terjadinya korupsi di lingkungan birokrasi Pemprop DKI Jakarta tersebut, dapat segera terealisir.
Seluruh perbaikan dalam pelayanan publik pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, memperbaiki iklim investasi, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks administrasi kependudukan, pelayanan yang baik akan mendorong masyarkat untuk tertib memenuhi dokumen kependudukan dan catatan sipilnya. Oleh karena itu, seluruh elemen kekuasaan seharusnya bersinergi mewujudkan suatu pelayanan publik yang profesional dan meninggalkan praktik-praktik kotor selama ini.
Peraturan perundang-undangan sesungguhnya telah menetapkan suatu standar pelayanan minimal, mengingat demikian beragamnya kondisi tiap-tiap daerah. Namun tanpa target yang jelas, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang mubasir karena inisiatif untuk meningkatkan pelayanan minimal ke pelayanan yang “optimal” sangat tergantung pada niat baik kepala daerah. Sesungguhnya perlu ada pengaturan tentang penetapan target dan mekanisme intervensi pemerintah pusat, apabila pemerintah daerah tidak/gagal memenuhi target yang telah ditetapkan dalam hal pelayanan publik. Sekedar contoh persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang masih bermasalah misalnya, sesungguhnya tidak perlu terjadi seandainya sejak dulu pemerintah daerah diberikan target yang jelas dan terukur untuk mewujudkan tertib administrasi di daerahnya masing-masing. Tertib Adminduk akan memudahkan proses E-KTP yang juga berarti memudahkan penetapan DPT.
Jadi hulunya adalah reformasi birokrasi, karena birokrasi yang ruwet dan penuh pungli adalah tembok penghalang terbesar yang mematikan inisiatif masyarakat mengurus berbagai dokumen pentingnya. Otonomi daerah seharusnya dapat mempercepat proses reformasi birokrasi di daerah yang berimplikasi pada terciptanya tertib administrasi kependudukan di Indonesia. Namun di saat kekuasaan daerah sudah telanjur dibajak oleh para perompak yang hanya memikirkan cara memperkaya diri dan golongannya, maka reformasi birokrasi adalah sesuatu yang merugikan bagi mereka sehingga tidak akan pernah dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Kepala daerah dan DPRD yang tidak memihak pada reformasi birokrasi, tidak berusaha sungguh-sungguh menciptakan pelayanan publik yang profesional adalah mereka yang tidak pantas diberi kepercayaan lagi pada Pemilu 2014, dan Pilkada di daerah masing-masing.
Eddy Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia
Sunday, October 27, 2013
Satoe Indonesia
Kaum muda di
belahan dunia manapun memang memiliki kodrat untuk menjadi bagian dari
pembaharuan, perombakan, hingga pemberontakan. Pancaran energi kaum muda inilah
yang juga tampak dalam salah satu momentum penting berdirinya sebuah negara
bangsa yang diberi nama Indonesia, yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 belasan
tahun setelah kaum muda terpelajar mulai menggunakannya sebagai nama media atau
organisasinya.
Wilayah
nusantara dulunya memiliki berbagai sebutan seperti Nan Hai atau Kepulauan Selatan (Tiongkok),
Dwipantara atau Kepulauan Tanah Seberang (India), Jaza’ir al-Jawi atau
Kepulauan Jawa (Arab), Hindia Belakang (Eropa), Nederlandsch-Indie atau Hindia
Belanda (Belanda), To-Indo atau Hindia Timur (Jepang), dan Insulinde atau Kepulauan
Hindia (E. Douwes Dekker).
Usul untuk
memberikan nama yang lebih spesifik pertama kali dilontarkan dalam Journal of
The Indian Archipelago and Eastern Asia Volume IV yang terbit di Singapura pada
tahun 1850, oleh George Samuel Windsor Earl seorang etnolog dan James
Richardson Logan seorang Sarjana Hukum. Earl mengajukan dua alternatif penamaan
dalam artikelnya On the Leading
Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations di
halaman 71, yakni Melayunesia atau Indunesia dan merekomendasikan Melayunesia.
Logan pada
salah satu catatan kaki artikelnya The Etnology of The Indian Archipelago di halaman
254 menyatakan lebih memilih istilah geografi “Indonesia” yang merupakan
sinonim lebih pendek dari Kepulauan Hindia, dan sejak itu ia konsisten menggunakannya
dalam berbagai karya ilmiahnya dan kemudian digunakan secara umum oleh kalangan
akademisi khususnya di bidang etnologi dan geografi. Namun Belanda sebagai
penjajah nusantara menenal istilah Indonesia tidak secara langsung dari Logan
tapi melalui karya Adolf Bastian,
seorang guru besar etnologi dari Universitas Berlin yang mengambil
istilah Indonesia dari karya Logan yang diserap dalam bahasa Belanda menjadi
Indische.
Politik Etis
yang mulai diberlakukan Belanda 1901 adalah salah satu hal yang akhirnya melahirkan
kaum muda terpelajar di nusantara, diantaranya Raden Mas Suwardi Suryaningrat
yang kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara agar lebih egaliter
dan melepaskan diri dari primordialisme. Dewantara adalah bagian dari kaum muda
terpelajar pertama yang menggunakan istilah Indonesia untuk organisasinya yaitu
Indonesische Persbureau ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 di usia 24
tahun.
Dewantara diasingkan karena keberanian dan ketajaman tulisannya Als Ik Eens Nederlander Was (Andai Aku
Seorang Belanda), yang mengkritik keras rencana perayaan 100 tahun bebasnya
Belanda dari penjajahan Perancis yang ironisnya akan dirayakan di sebuah negeri
dimana Belanda sedang bertindak sebagai sang penjajah; Hindia Belanda. Setahun
sebelum diasingkan, ia bersama dua kawannya pada saat kuliah kedokteran yaitu E.F.E
Douwes Dekker seorang peranakan Belanda yang kemudian mengganti nama menjadi
Danudirja Setiabudi dan Cipto Mangunkusumo mendirikan organisasi politik pertama
di Hindia Belanda dengan tujuan Indonesia merdeka, yakni Indische Partij.
Kaum muda
dengan berbagai dinamika di masa kolonilisme kala itu, terus bergerak dan
membangun kesadaran tentang suatu bangsa yang dapat dibangun oleh seluruh
entitas di Hindia Belanda kala itu. Interaksi antar bangsa, bangkitnya
nasionalisme dan berdirinya negara bangsa dengan melepaskan diri dari
penjajahan sebagaimana terjadi di Tiongkok dan belahan lainnya, menambah
keyakinan kaum muda di Hindia Belanda untuk membentuk suatu negara bangsa di
atas keberagaman nusantara.
Proto Nasionalisme
Bentuk-bentuk
persatuan antar suku bangsa di nusantara sebenarnya sudah terjadi sejak lama,
misalnya pada Perang Sepanjang 1740-1743. Perang ini sesungguhnya merupakan
perlawanan terbesar dalam sejarah nusantara yang dilakukan oleh pasukan
gabungan dari suku Jawa, Tionghoa dan Bali. Perang ini dipicu pembantaian keji
yang diotaki Belanda terhadap masyarakat Tionghoa di Batavia 1740, puluhan ribu
orang Tionghoa menjadi korban dari orang dewasa hingga bayi bahkan pasien di
rumah sakit pun tak luput dari pembantaian keji tersebut.
Kerajaan
Belanda yang khawatir akan kemarahan Kerajaan Tiongkok akhirnya bisa bernapas
lega karena Kaisar Tiongkok, Kian Liong menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa
di Batavia tidak diakuinya sebagai bagian dari rakyatnya karena sudah
meninggalkan negerinya, sehingga ia tidak terlalu mempersoalkan pembantaian
tersebut. Reaksi yang berbeda justru datang dari tokoh Tionghoa di Batavia dan
Jawa bagian tengah, yakni Sauw Pan Djiang (lidah Jawa menyebutnya Sepanjang)
dan Tan Sin Ko (Singseh) yang memimpin Laskar Tionghoa bersekutu dengan pasukan
Jawa dibawah pimpinan Sunan Amangkurat V alias R.M Garendi dan Raden Mas Said
atau lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyowo yang kelak menjadi Mangkunegara
I. Perang ini juga melibatkan Untung Surapati yang memimpin pasukan campuran
Bali dan Jawa di daerah Jawa bagian Timur.
Serangan
dimulai di daerah Gandaria wilayah selatan Batavia yang kemudian menjalar
hampir di seluruh pulau Jawa bagian barat, tengah hingga timur, namun anehnya
kepingan sejarah persatuan itu tidak pernah diajarkan dalam mata pelajaran
sejarah di sekolah hingga hari ini. Padahal baik dalam hal skala, cakupan
wilayah, jumlah pasukan yang terlibat serta dampak kerugian terhadap Belanda,
perang ini jauh melebihi Perang Diponegoro 1825-1830.
Kaum Muda Pembaharu
Perjuangan
yang lebih sistemik dan memiliki arti politik yang penting mulai bergema tat
kala para mahasiswa mulai bergerak baik melalui media maupun organisasi, sebut
saja majalah Hindia Poetra Hatta yang diterbitkan kembali oleh Mohammad Hatta
dan rekan-rekannya yang mulai mengkritisi praktik kolonialisme Belanda di
Hindia Belanda dan menyebarkan semangat antikolonial. Dengan berani pada tahun
1924, saat majalah ini dipimpin M. Nazir Datuk Pamoentjak namanya diubah
menjadi Indonesia Merdeka, sedangkan nama organisasi yang semula Indische
Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang didirikan 1908 hampir berbarengan dengan
organisasi pribumi di Hindia Belanda yakni Boedi Oetomo, kemudian diubah
menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925, dan setahun kemudian Hatta
menjadi Ketua organisasi yang secara sistematis melakukan propaganda
kemerdekaan Indonesia tersebut.
Benih-benih
nasionalisme tersebut terus bertumbuh ditengah berbagai halangan dari penjajah.
Sukarno adalah salah satu pelopor dan penganjur yang gigih semangat persatuan
seluruh suku di Hindia Belanda, sampai-sampai ia kerap diledek para pelajar
Jakarta dengan sebutan “Bapak Persatuan dari Bandung.” Namun anjuran Sukarno
inilah yang menjadi salah satu pemicu diskusi antar kaum muda seperti Mohammad
Yamin, Sugondo Djojopuspito, Maruto, Pandu Kartawiguna, seorang anak SMA yang
kelak menjadi Perdana Menteri I Republik Indonesia bernama Syahrir di kamar
Mohammad Yamin di Jalan Braga pertengahan tahun 1927.
Wacana yang
dilontarkan Syahrir dalam diskusi itu menurut Sugondo, sosok sentral dibalik
gerakan Sumpah Pemuda, adalah hal yang sangat tepat dan merangsang terwujudnya
Sumpah Pemuda. Si anak SMA yang menjadi target intelijen Polisi Belanda karena
tulisan-tulisannya itu, merespon pertanyaan Yamin “Bung Karno minta kita
bersatu, itu….bagaimana menurut kalian?
Pada
gilirannya, Syahrir berpendapat “Kalian bicara persatuan, tapi tanpa suatu
tindakan penjiwaan terhadap persatuan itu, mana bisa? Persatuan itu bukan
sekedar konsepuntuk menyatukan sebuah perjuangan, tapi sebuah gagasan baru,
sebuah jaman baru dan lebih besar lagi ‘persatuan’ itu adalah sebuah peradaban
baru. Bisa nggak kalian bikin sebuah peradaban baru bernama Indonesia, sebuah
peradaban yang bisa saja seagung ‘Peradaban Yunani’, ‘Peradaban Romawi’, atau
‘Peradaban Eropa Barat’ itulah tujuan dari persatuan.”
Akhirnya pada
tanggal 28 Oktober 1928, di tengah-tengah alam kolonialisme yang sangat tidak
ramah tersebut Sugondo yang menjadi Ketua Panitia Kongres Pemuda II harus
mengakali agar intel Belanda tidak membubarkan acara, agar polisi hanya
memandang kegiatan ini sebagai kegiatan debat biasa dan membuat setting sedemikian sehingga perdebatan
antar mahasiswa dan pelajar tidak berkepanjangan sehingga mempermudah lahirnya
apa yang sekarang kita sebut sebagai Sumpah Pemuda.
Panitia
berhasil mengumpulkan 71 orang dari berbagai organisasi pemuda dengan latar
belakang beragam berkumpul di sebuah rumah di Jl. Kramat No. 106 milik Sie Kok
Liong asal Semarang, yang juga dipakai sebagai markas Jong Java dan di
penghujung acara menyerukan tekad untuk bersatu menjadi satu entitas, satu
bangsa, satu tanah air, dan memilih bahasa persatuan: Indonesia. Organisasi-organisasi
pemuda yang umumnya menggunakan kata “Jong” didepan nama daerah tersebut,
sesungguhnya lebih banyak merupakan organisasi berdasarkan daerah asal bukan
kesukuan, kecuali Jong Batak dan Jong Islamieten yang berbasis kesukuan dan agama.
Hal ini dapat dibuktikan dari adanya peserta Sumpah Pemuda seperti Kwee Thiam
Hong yang mewakili Jong Sumatranen, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio
Djien Kwie yang merupakan perwakilan Jong Java, Jong Celebes dan lain-lain.
Pemuda keturunan Arab yang tidak terlibat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober, di
pimpin AR Baswedan kemudian menggelar Sumpah Pemuda keturunan Arab di Semarang.
Seluruh
kepingan sejarah itu sangat penting untuk memahami konteks berdirinya negara
bangsa yang sepakat diberi nama Indonesia ini, untuk menyadari betapa Indonesia
dibentuk, diperjuangkan dan dicita-citakan oleh seluruh elemen yang ada di
Hindia Belanda kala itu. Maka ketika momen persiapan membentuk negara bangsa di
BPUPKI Soetardjo secara jelas menyatakan bahwa sebelum terbentuknya negara
Indonesia, baik golongan pribumi, golongan timur asing (Tionghoa, Arab dan
lain-lain) maupun golongan Eropa memiliki status yang sama sebagai Nederlandsch
Onderdaan (Kaula Negara Belanda) sesuai hukum yang berlaku sebelum terbentuknya
sistem hukum negara Indonesia.
Sistem hukum
Indonesia kemudian memberikan status kewarganegaran Indonesia kepada semua
orang yang lahir di Indonesia, atau sudah tinggal di Indonesia sejak 17 Agustus
1940 tanpa memandang suku bangsa, agama dan ras, kecuali yang bersangkutan
menolak. Spirit inilah yang seharusnya
senantiasa kita ingat, sehingga dapat menepis semua prasangka antar suku, agama
ataupun ras yang membentuk republik ini yang hanya akan memecah belah dan
merugikan kita semua. Merunut pada pemikiran para pendiri bangsa ini, konsepsi
putra daerah misalnya harus dimaknai sebagai setiap orang sudah tinggal di
suatu daerah sejak kelahirannya bukan atas dasar kesukuannya. Sehingga
anak-anak transmigran asal Jawa dan Bali misalnya, yang sudah lahir di Lampung,
Kalimantan dan lain-lain adalah putra daerah bersangkutan.
Ingatlah
selalu bahwa semua entitas tersebut telah memberi warna dan berperan dalam pembentukan
negara bangsa ini, mereka telah hidup dan berinteraksi dalam waktu yang
panjang, sama-sama merasakan penderitaan di masa kolonial dan akhirnya berani
bermimpi dan memperjuangkan satu negara bangsa dengan nama Indonesia, dengan
kaum muda sebagai lokomotifnya. Kini di masa kekejaman dan kekuasaan para
koruptor, kembali kita bisa saksikan bahwa negeri ini masih dapat
menggantungkan harapan pada kaum mudanya. Kemenangan Timnas U-19 di piala AFF
dibawah binaan Indra Sjafri, hingga munculnya kepala-kepala daerah reformis
yang juga umumnya berusia relatif muda adalah bukti bahwa masih ada kaum muda
yang memiliki idealisme dan kecintaan tulus terhadap negeri ini, kecintaan yang
tuntas pada satoe Indonesia.
Eddy
Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia
Sunday, October 20, 2013
DR. B.R. AMBEDKAR Perlawanan terhadap Diskriminasi di India
Sebagai salah satu perangkatnya disusun sebuah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (PSBDR)-1965 dan telah disebarluaskan sejak 1969, namun hingga saat ini masih saja terjadi konflik antar kelompok dengan latar belakang perbedaan suku, agama, ras sebagai simbol permusuhan.
Berbagai kasus
besar diskriminasi sempat menjadi perhatian dunia internasional, seperti kasus
Afro-Amerika di USA, Yahudi di Eropa, Apartheid di Afrika Selatan, namun kasus
diskriminasi di Asia seperti masalah Dalit di India misalnya, tidak mendapat
perhatian yang cukup dari dunia internasional. Padahal lebih dari 100 negara
telah menjadi peserta dan pendukung Konvensi Internasional tentang PSBDR,
termasuk di dalamnya India.
Tulisan ini disarikan dari berbagai diskusi dengan
kawan-kawan dari komunitas Dalit dari berbagai latar belakang pendidikan dan
profesi, secara formal maupun informal pada saat penulis yang mewakili
HIKMAHBUDHI mengikuti Konferensi INEB di Nagaloka, Nagpur, India dengan tema
utama Konferensi INEB kali ini adalah “Buddhism and Social Equality” sedang Sub temanya adalah “Transcending
Barriers: DR. Ambedkar and the Buddhist World” pada tanggal 9-16 Oktober
2005. Dalam tulisan ini, kata Hindu mengacu pada Hindu historis-institusional
di India, bagaimana pun hal-hal yang diungkap disini adalah realitas sosial di
India hingga hari ini.
Sebagai negara
yang telah menjadi peserta dan pendukung PSBDR seharusnya setiap negara
tersebut wajib untuk peduli dan melakukan usaha untuk melenyapkan diskriminasi
yang masih terhadi di negaranya sehingga praktek pembiaran (neglected)
yang dilakukan pemerintah India adalah pelanggaran terhadap konvensi yang telah
ditetapkan bersama dan merupakan tindakan yang tidak ksatria. Sangat jelas pada
konvensi pasal 2 bab 1 menyebutkan bahwa negara-negara peserta mengutuk
diskriminasi rasial, dan berusaha menggunakan semua cara yang memadai,
secepatnya melakukan kebijakan penghapusan diskriminasi rasial dengan segala
bentuknya, dan mengembangkan saling pengertian diantara semua ras dan demi
lima tujuan yaitu:
Pertama,
setiap negara peserta berusaha tidak akan terlibat dalam praktek diskriminasi
rasial terhadap individu, kelompok orang atau lembaga, dan menjamin bahwa
aparatur pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan nasional maupun daerah,
harus bertindak sesuai tanggung jawab ini;
Kedua, setiap
negara peserta tidak membantu, membalas, atau mendukung diskriminasi ras yang
dilakukan oleh siapa pun atau organisasi mana pun;
Ketiga, setiap
negara peserta wajib melakukan tindakan-tindakan yang efektif untuk
mengevaluasi kebijakan pemerintah, nasional dan daerah, untuk memperbaharui,
mencabut atau membatalkan undang-undang dan peraturan yang berpengaruh
menciptakan atau mengembangkan diskriminasi rasial di manapun;
Keempat,
setiap negara peserta wajib, dengan segala cara yang tepat termasuk
perundang-undangan apabila keadaan membutuhkan, melarang dan mengakhiri
diskriminasi rasial yang dilakukan secara perorangan maupun secara berkelompok
atau oleh suatu organisasi;
Kelima setiap
negara peserta berusaha mendorong, apabila perlu, organisasi atau gerakan
multi-ras yang terpadu dan berbagai cara lainnya untuk menghilangkan
hambatan-hambatan antar-ras, dan mencegah segala tindakan yang cenderung
memperkuat pembagian ras.
Berdasarkan
konvensi tersebut diskriminasi rasial dideskripsikan sebagai segala bentuk
perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pilihan yang didasarkan pada ras,
warna kulit, keturunan, atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau
pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan,
pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang lain dari kehidupan
masyarakat.
Di India modern saat ini ternyata masih
terjadi diskriminasi atas nama kasta, salah satu yang paling fenomenal adalah
diskriminasi terhadap kaum Dalit, sebuah golongan masyarakat India yang
dianggap berada di luar sistem kasta yang ada (outcaste/untouchable/mahar).
Bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami kaum ini sungguh tidak masuk akal dan
di luar batas-batas kemanusiaan, namun tetap berlangsung hingga saat ini sebab
memang dipelihara oleh kelompok kasta di atasnya yang diuntungkan oleh adanya
sistem kasta ini yang menguasai India secara sosial politik dan ekonomi.
Praktik
diskriminasi terhadap kaum dalit ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-4,
sering disebut juga sebagai “Apartheid terselubung India”, yang telah
menyebabkan demikian banyak manusia mengalami segregasi dari manusia pada
umumnya dan hanya menjadi kelompok manusia yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
paling kotor, rendah dan tidak berarti. Mereka juga dimarginalisasi,
disingkirkan dari pergaulan sehari-hari bahkan sekedar menginjak bayangannya
pun sudah menjadi kesialan bagi kasta diatasnya.
Kaum dalit di
cap sebagai orang yang tercemar dan kotor sehingga tidak pantas hidup berdampingan
dengan wajar dengan mereka yang merasa lebih tinggi dan bersih. Untouchability
berakar pada sistem kasta Hindu-India yang merupakan hirarki sosial yang
bertahan paling lama di muka bumi. Secara garis besar terdapat 4 kasta utama
yakni Brahmana (pendeta dan guru), Ksatria (penguasa dan tentara), Waisya
(pedagang/pengusaha) dan Sudra (pekerja). Disamping kasta utama ini terdapat
ribuan sub-kasta yang dikenal sebagai “jati”, sistem kasta sebenarnya adalah
pembagian berdasarkan pekerjaan, sekte, daerah dan garis bahasa.
Dalit berada di luar keempat kasta utama diatas, digolongkan sebagai
kelompok yang sangat nista untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sangat
kotor dan rendah seperti membuang bangkai binatang, menguliti binatang,
membersihkan tempat penampungan limbah dan berbagai pekerjaan yang dianggap
nista oleh kasta lainnya. Kata Harijan yang memiliki arti “anak tuhan”
sempat dikampanyekan Mahatma Gandhi untuk menyebut komunitas outcaste ini
namun kata Dalit tampaknya lebih umum digunakan, berasal dari bahasa Sansekerta
yang berarti hancur, terdiskriminasi atau orang yang dihancurkan. Ironisnya di
dalam komunitas Dalit sendiri terbagi atas lebih dari 70 sub kasta.
Secara legal
formal sebenarnya untouchability sudah dihapuskan sejak disusunnya
konstitusi India pada tahun 1950 pada pasal 16. DR. Bhimrao Ramji Ambedkar
demikian nama lengkapnya, ia adalah seorang Dalit yang memegang peranan penting
dalam penyusunan konstitusi India dan sampai saat ini tetap dipuja oleh para
pengikutnya; komunitas Dalit dan telah menjadi ikon bagi gerakan Dalit. Ia
adalah seorang tokoh besar yang dengan kesadaran dan penuh keberanian di
tengah-tengah kontroversi mengubah agamanya menjadi Buddha, dan langkah ini
menjadi begitu terkenal karena diikuti oleh jutaan pengikutnya.
Pengalaman
masa kecilnya penuh dengan penindasan hanya karena ia seorang yang Dalit telah
membentuk tekadnya untuk memerangi ketidakadilan itu. Sekedar contoh saat kecil
ia pernah didorong dari gerobak karena pemilik gerobak tahu dia seorang Dalit,
di lain waktu karena hausnya ia minum di sumur umum dan seseorang mengetahui
hal tersebut akhirnya masa datang dan memukulinya hingga babak belur, demikian
juga saat hendak mencukur rambutnya Bhim kecil harus menerima penolakan karena
si tukang cukur tidak mau menyentuh orang outcaste, pernah saat hendak
berangkat ke sekolah, karena hujan lebat Bhim berteduh di emperan rumah
seseorang, saat penghuninya melihat serta merta dengan penuh marah ia mendorong
Bhim sehingga jatuh di kubangan lumpur dan beserta semua buku-bukunya.
Pengalaman-pengalaman
pahit dan menyedihkan yang sangat melecehkan eksistensi kemanusiaan seperti
inilah yang harus dihadapi bahkan oleh seorang anak kecil yang terlahir di
komunitas Dalit di India, bahkan mungkin banyak yang lebih pahit dari
pengalaman Bhim kecil. Namun semua hal inilah yang membentuk kesadaran dalam
diri Bhim dan menjadi bara yang terus menyala dalam dadanya untuk memerangi
ketidakadilan ini.
Perjuangan untuk menghapus ketidakadilan terhadap komunitas untouchable
ini sebenarnya telah dimulai sejak lama,
sekedar contoh tahun 1883 Sayaji Rao Gaekwad, Maharaja dari Baroda sudah
mendirikan sekolah untuk kaum Dalit sehingga dapat dinilai bahwa beberapa raja
Hindu sebenarnya juga tidak setuju akan ketidakadilan yang terjadi terhadap
kaum ini. Sejak sebelum merdeka hingga setelah merdeka di India terdapat banyak
orang-orang besar yang mendedikasikan hidupnya untuk menegakkan kebenaran dan
prinsip yang mereka yakini, Ambedkar adalah salah satunya.
Desa Ambavade di distrik Ratnagiri Propinsi Konkan yang terletak di
negara bagian Maharashtra adalah tempat kelahiran Bhimrao anak ke-14 dari Ramji
Sakpal. Ambedkar lahir pada tanggal 14 April 1891 dengan nama Bhimrao
Ambavadekar. Salah seorang pamannya yang menjadi biarawan pernah menyatakan
kepada ayah Bhimrao, bahwa ia akan mendapat seorang putera yang nantinya akan
menjadi orang terkenal di dunia. Demikianlah kemudian Ambedkar lahir dan
ibundanya meninggal lima tahun kemudian. Nama Ambavadekar akhirnya diubah
menjadi Ambedkar oleh salah seorang gurunya pada masa sekolah menengah atas,
gurunya adalah seorang brahmin dengan nama keluarga Ambedkar dan ia sangat
kagum dan senang akan kecerdasan Bhimrao Ambavadekar sehingga kemudian
mempersilakan Bhim untuk menggunakan nama keluarganya yaitu Ambedkar.
Sejak muda Ambedkar sangat suka membaca buku, meski pun miskin tapi
ayahnya sangat mendukung kegemarannya membaca buku bahkan terkadang ayahnya
sampai meminjam uang untuk membelikan Ambedkar buku. Keluarga ini tinggal di
daerah termiskin, rumah mereka sangat sempit hanya terdiri dari satu ruangan
dan segala aktivitas dilakukan disitu mulai memasak, tidur, belajar dan untuk
kambing peliharaan.
Sejak sekolah dasar berbagai perlakuan diskriminasi dialaminya,
salah satu yang paling menyakitkan
baginya adalah larangan untuk membaca Veda karena ia seorang Mahar,
sebagai seorang India dia merasa sangat terhina karena anak-anak dari luar
India saja diperbolehkan membacanya. Selain itu bila anak lain boleh duduk di
kursi, anak-anak Dalit harus duduk di atas tikar dan itu pun harus membawa
sendiri dari rumah, bahkan pernah saat Bhim disuruh menyelesaikan soal
matematika di papan tulis anak-anak lain berteriak bahwa kotak bekal mereka ada
di belakang papan sehingga mereka takut tercemar karena Bhim akan menyentuh
papan tulis. Sehingga setelah semua anak mengambil kotak bekalnya barulah Bhim
dapat menggunakan papan tulis, sementara guru matematikanya tidak sedikit pun
merasa terusik menyaksikan ketidakadilan ini.
Setelah lulus dari sekolah menengah ia melanjutkan pendidikannya ke
Sekolah Tinggi Elphistone dan memperoleh gelar B.A pada tahun 1912 dan kemudian
ayahnya berkeinginan Ambedkar mencari kerja di Bombay, karena kondisi
keuangannya sangat tidak memungkinkan untuk membiayai Ambedkar melanjutkan ke
universitas. Adalah Keluskar, salah seorang guru Ambedkar di sekolah tinggi
yang simpatik padanya dan kerap kali memberi buku-buku bermutu karena ia sangat
menghargai kegemaran Ambedkar membaca buku, salah satu buku Buddhis pertama
Ambedkar; Buddha-Charitra (Kisah Hidup Buddha) adalah pemberiannya.
Keluskar lah yang membantu Ambedkar untuk bertemu dengan Raja Sayaji
Rao Gaekwad seorang raja di negara Baroda yang memiliki pandangan liberal yang
akhirnya memberikan beasiswa kepada Ambedkar. Sebelum memberikan beasiswa, sang
raja bertanya kepada Ambedkar karena ia menyatakan akan mempelajari banyak
subyek. “Apa yang akan kamu lakukan setelah mempelajari semua itu?” Ambedkar
menjawab “Setelah mempelajari semua itu, saya akan menemukan penyebab dari keadaan
komunitas saya sehingga saya dapat melakukan reformasi sosial” Karena
mengetahui potensi yang dimiliki Ambedkar, Raja Sayaji mengirim Ambedkar ke
Universitas Colombia-Amerika untuk meneruskan pendidikannya.
Amerika yang liberal tidak mengenal untouchability hal ini
sangat berkesan bagi Ambedkar, disini Ambedkar merasa diberlakukan secara sama
dan ia bebas untuk belajar apapun, dan ia sempat mengutip Shakespear pada salah
satu surat ke sahabatnya untuk mengungkapkan kebahagiaannya dapat belajar di Amerika
“In the life of man now and again there is a swelling wave; if a man uses
this opportunity, it will carry him towards his fortune”. Di negeri Paman
Sam inilah ia menimba ilmu politik, etika, antropologi, ilmu sosial dan ekonomi
dan akhirnya memperoleh gelar gelar M.A dan Ph.D, selanjutnya ia ingin
menyelesaikan pendidikannya di bidang ekonomi di Inggris namun ditolak oleh
pejabat pendidikan negara tapi di kemudian hari dikabulkan atas rekomendasi
dari Raja Baroda.
Karena proposalnya tidak dikabulkan Ambedkar harus kembali ke India
untuk mengabdi di pemerintahan Baroda sesuai janjinya sebelum menerima
beasiswa, ia kembali ke India pada tahun 1917 sebagai seorang yang
berpendidikan tertinggi di India masa itu. Namun India tetaplah India dengan
sistem kastanya yang diskriminatif sebagaimana masa sebelum ia belajar ke
Amerika, jadi meski Ambedkar menduduki jabatan penting di pemerintahan kerajaan
Baroda namun ia tetap merasakan ketidakadilan. Bahkan pesuruh di kantornya pun
tidak mau mengantarkan dokumen-dokumen yang Ambedkar perlukan secara langsung,
tapi dengan cara melemparkan ke arahnya, tidak ada yang membawakannya air minum
dan ia tidak diberi jatah tempat tinggal sebagaimana pegawai lain setingkatnya
karena mereka tidak mau bertetangga dengan orang kasta rendahan.
Apalagi pegawai-pegawai lainnya semua memperlakukannya bagai biang
penyakit, bahkan mereka yang non Hindu pun memperlakukannya dengan tidak
semestinya. Sementara Raja tidak dapat melakukan apapun, karena tindakan
diskriminatif ini bersumber dari agama, raja tidak bisa menentangnya secara
langsung. Karena tidak mendapat tempat tinggal akhirnya Ambedkar menyewa sebuah
wisma dengan menggunakan nama Persia, namun tidak bertahan lama karena
orang-orang Persia pun tahu ia seorang Dalit dan mengusirnya dengan sangat
tidak terhormat. Saat itu semua orang di Baroda tidak mau membantunya, sehingga
akhirnya ia meninggalkan Baroda dan kembali ke Bombay dan berusaha mencari
kerja namun tak satu pun perusahaan mau menerimanya karena ia seorang Dalit, demikian
juga saat ia membuka usaha hingga akhirnya Sekolah Tinggi Sydenham Bombay
membutuhkan seorang Profesor Ekonomi.
Sydenham adalah nama seorang bangsawan mantan gubernur Bombay yang
cukup kenal dengan Ambedkar, demikianlah akhirnya Ambedkar mendapatkan
pekerjaan. Setelah dua tahun, kembali ia melanjutkan pendidikan ke London dan
Jerman sehingga akhirnya ia memiliki gelar M.A, Ph.D, D.Sc, menguasai bidang
hukum, siap untuk beraksi, memasuki dunia politik dengan persiapan yang
komprehensif bukan untuk kepentingan pribadi tapi kepentingan komunitasnya;
kaum Dalit. Langkah pertamanya adalah membentuk organisasi bernama Bahishkrit
Hitkarini Sabha (Komunitas untuk Kesejahteraan Kaum Tersisih) pada awalnya
di wilayah Bombay, tujuannya adalah membangun asrama-asrama untuk mempromosikan
dan menyebarkan pendidikan untuk kaum Dalit, membuat perpustakaan dan pusat
pendidikan untuk pembangunan budaya dan mengkampanyekan penghapusan untouchability.
Usaha penghapusan untouchability
dari dalam pemerintahan telah diawali Raja Baroda yang telah memberikan
beasiswa kepada kaum Dalit yang berpotensi, sementara dari masyarakat sendiri
terdapat Mahatma Phule dan isterinya yang mendedikasikan hidupnya untuk
pendidikan kaum Dalit. Mahatma Phule adalah seorang Sudra, ia bahkan rela
diusir dari rumahnya karena sang ayah menganggap puteranya ikut tercemar karena
berkumpul dengan kaum Dalit. DR. Ambedkar mendedikasikan salah satu bukunya; Who
Were The Shudras kepada orang yang ia anggap guru ini.
Usaha lain adalah dari anggota
Dewan di Bombay, ia bernama Bole seorang reformis sosial yang mengajukan
resolusi yang pada intinya menyatakan bahwa semua fasilitas umum negara seperti
pengadilan, sekolah, rumah sakit, kantor, penginapan, sumur, tangki air dan
sebagainya dapat digunakan oleh kaum Dalit. Resolusi ini disetujui namun pada
pelaksanaannya kembali tertabrak hegemoni kaum Brahmin yang diuntungkan oleh
sistem kasta ini, seperti di Kota Mahad di Maharashtra meski resolusi ini sudah
ditetapkan tapi tetap kaum Dalit tidak diperbolehkan mengambil air di tangki
umum, padahal kaum muslim dan bahkan ternak pun bebas minum di tangki tersebut.
Hal ini mengundang Ambedkar melakukan aksi di tangki air tersebut
pada saat diadakannya Konferensi Kasta Tertindas di kota tersebut pada tahun
1927 yang diketuai oleh Ambedkar, sedang para peserta yang rata-rata aktivis
dari kaum dalit ini tidak hanya datang dari negara bagian Maharashtra tapi
bahkan dari Gujarat. Di akhir konferensi diadakanlah aksi yang melibatkan tak
kurang dari 10.000 orang, aksi damai yang dipimpin Ambedkar berjalan lancar
hingga mereka mencapai tangki air Chowdar dan kemudian dipimpin Ambedkar
mereka mengambil air dengan telapak tangan dan meminumnya.
Namun kemudian dikalangan masyarakat Hindu tersebar isu bahwa kaum
Dalit akan menduduki salah satu kuil mereka sehingga terjadilah kerusuhan,
peristiwa ini dikenal dalam sejarah India sebagai “Chowdar Tank Case”. Namun
bagaimana pun, tangki tersebut telah “tercemar” lalu bagaimana mereka
“mensucikan” kembali? Setelah aksi ini, dengan dipimpin kaum brahmin tangki
dikosongkan, kemudian ditaburi berbagai produk sapi seperti susu, dadih,
mentega murni, urin dan kotoran sapi sembari para brahmin membacakan mantra,
dan kemudian tangki dianggap suci kembali, Ironis!
Pada tahun yang sama juga terjadi aksi pembakaran kitab Manusmrti
(Hukum Manu), sebuah kitab yang merupakan sumber dari semua
aturan menyangkut kasta. Kitab ini mengatur siapa boleh makan dengan siapa,
siapa boleh mengawini siapa, siapa boleh menyentuh siapa, juga memuat hukuman
bagi yang melanggar, misal apabila seorang sudra yang menganggap mengajar kaum
Brahmana adalah tugasnya harus dihukum dengan cara memasukkan minyak panas ke
dalam mulut dan telinganya. Pembakaran kitab ini membuat guncangan besar
terhadap kaum ortodok Hindu seluruh India dan merupakan simbol penolakan kaum
Dalit terhadap kekuasaan dan kitab-kitab Hindu.
Aksi di tangki air Chowdar di Mahad merupakan simbol perlawanan awal
yang penting, karenanya setelah konferensi di Mahad tersebut DR. Ambedkar mendirikan
koran untuk memperkenalkan pemikiran-pemikirannya kepada masyarakat luas,
namanya Excluded India dan isu pertama yang diangkat adalah “Chowdar
Tank Case”. Kembali Ambedkar merencanakan untuk mengadakan aksi
bersama-sama pengikutnya ke tangki air tersebut, namun karena alasan hukum dan
keamanan para pengikutnya akhirnya dibatalkan namun secara jalur hukum Ambedkar
terus memperjuangkannya dan akhirnya tahun 1937 Pengadilan Tinggi Bombay
memenangkan kaum Dalit untuk dapat menggunakan tangki air tersebut. Sebuah
kemenangan kecil di tengah perjuangan untuk menghapus untouchability,
menuntut persamaan, kebebasan dan keadilan bagi semua, namun penting sebagai
titik pijak awal perjuangan.
Berbagai gerakan dilakukan Ambedkar
dan jutaan pengikutnya untuk menuntuk hak-hak mereka, gerakan massa, politik,
hukum, bahkan gerakan diplomasi internasional. Karena sistem kasta di India
telah menyebabkan mereka tidak memiliki hak ekonomi dan politik. Tak jarang
Ambedkar harus berhadapan dengan Mahatma Gandhi yang memiliki cara pandang yang
berbeda dalam hal untouchability ini. Gandhi adalah seorang berkasta
yang mengklaim berdiri di atas semua golongan, namun kaum Dalit menyangkal hal
ini dan kenyataan pun tidak berkata demikian. Gandhi setuju pada saat kaum
Muslim, Kristen dan Sikh memiliki sistem pemilihan terpisah, hal ini sejalan
dengan demokratisasi namun pada saat Ambedkar menuntut sistem pemilihan
terpisah untuk Dalit pada tahun 1932, Gandhi melakukan gerakan penolakan dengan
gerakan “Mogok Makan hingga Mati”-nya yang terkenal itu.
Ambedkar menjadi begitu dibenci di
India kala itu karena Gandhi adalah seorang tokoh besar bagi India. Ambedkar
dihadapkan pada pilihan membiarkan Gandhi mati sehingga dapat menimbulkan
kerusuhan hebat di India antara penganut kasta Hindu dan kaum Dalit atau
berkompromi, ia terpaksa memilih yang kedua karena tidak ingin terjadi
pembantaian terhadap kaumnya. Hal ini semakin memperkuat keyakinan kaum Dalit
bahwa yang dapat menjadi penyelamat mereka hanyalah seorang Dalit juga, sebab
tanpa pernah merasakan betapa pahitnya kenyataan hidup sebagai kaum Untouchable
maka mereka tidak akan mungkin dapat memahami secara utuh permasalahan ini.
Pada tahun 1935 Ambedkar membuat
pernyataannya yang terkenal bahwa ia boleh lahir sebagai seorang Hindu tapi
tidak akan mati sebagai Hindu, 12 tahun kemudian ia menjadi Menteri Hukum
pertama paska kemerdekaan India namun setelah 4 tahun beliau mengundurkan diri
dari kabinet. Sisa Hidupnya kemudian didedikasikan bagi pengembangan Buddhisme
di India, hal ini diumumkannya pada tahun 1954 dan dua tahun kemudian pada
sebuah upacara di Nagpur, Ambedkar menjadi seorang Buddhis yang diikuti ratusan
ribu pendukungnya saat itu tepatnya tanggal 14 Oktober 1956.
Adalah U Chandramani, seorang
bhikkhu senior yang menjadi pemimpin upacara saat Ambedkar menyatakan tiga
perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Peristiwa ini adalah sebuah
peristiwa besar yang begitu mengejutkan semua orang di India, bahkan bagi
Buddhisme di India ini sangat berarti bagi kebangkitan Buddhis setelah ratusan
tahun berusaha ditenggelamkan. Dengan menjadi Buddhis, Ambedkar berharap kaum
Dalit merasakan pembebasan secara sosial, psikologi dan spiritual disamping
kesadarannya yang tinggi bahwa Buddhisme pernah nyaris punah dari India dan kemudian
bangkit kembali, ia tidak ingin Buddhisme punah kembali sehingga setelah ia
menyatakan tiga perlindungan dan memohon lima sila dari Bhikkhu, selanjutnya ia
membaca 22 sumpah yang ia buat bagi kaum Dalit kemudian mentahbiskan para
pengikutnya.
Prosesinya berlangsung sebagai
berikut, pengikut Ambedkar pertama-tama mengikuti upacara pentahbisan dengan
menyatakan tri sarana dan panca sila kemudian setelahnya tahap kedua mereka
menyatakan 22 sumpah untuk memperjelas dan benar-benar memisahkan Buddhis dari Hindu.
Perlu dipahami, pada saat itu tertanam anggapan bahwa seorang Buddhis adalah
juga seorang Hindu dan hal ini telah begitu mengakar di India, biasa dikatakan
bahwa Hindu bagaikan samudra yang luas, Buddhisme hanyalah salah satu sungai
kecilnya. Hal inilah yang berusaha dikikis oleh Ambedkar, sehingga para
pengikutnya diharapkan benar-benar berusaha mempelajari ajaran Buddha bukan
sekedar menyebut diri seorang Buddhis tapi tidak memahami ajaran yang
sebenarnya. Akhirnya budaya pentahbisan ala Ambedkar ini menjadi upacara
tahunan yang mereka sebut Dhammadiksa/Diksabumi.
Sampai saat ini acara ini terus
berlangsung sebagai acara tahunan dimana komunitas Dalit dari berbagai daerah
berkumpul di vihara dimana Ambedkar ditahbiskan menjadi seorang Buddhis, di
tengah-tengah Konferensi INEB para peserta diajak ikut berpartisipasi dalam
acara ini meski dengan pengawalan ekstra ketat sebab di acara ini terlibat
begitu banyak massa, ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang berkumpul dari
seluruh India. Acara serupa juga diselenggarakan di wilayah-wilayah lain namun
dengan jumlah massa yang tentunya tidak sebanyak di Maharashtra, sebab secara
sosio-historis-politis memang merupakan wilayah Dalit.
Perjuangan Ambedkar bersama-sama
komunitasnya adalah sebuah perjuangan yang panjang dan tidak mudah untuk
merebut hak-hak mereka, perjuangan ini masih terus berlanjut hingga hari ini,
terutama perjuangan untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai Buddhis.
Ironisnya di tanah Buddha, mereka bahkan baru mulai membangun vihara-vihara
sederhana dan tidak ada bhikkhu yang dapat memberikan dhamma pada mereka karena
aturan manajemen vihara-vihara tua yang dikuasai kaum Brahmin.
Sebagaimana sub tema konferensi,
salah satu tujuan dari konferensi INEB kali ini adalah untuk menyingkirkan
halangan antara perjuangan Ambedkar dan komunitas Buddhis Internasional.
Komunitas Buddhis di India membutuhkan dukungan yang cukup dari seluruh dunia
untuk dapat berdiri tegak di India. Pengalaman historis mereka berjuang untuk
membebaskan diri dari belenggu sistem kasta dan trauma panjang akibat
tindakan-tindakan yang sangat merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan yang
telah mereka alami sebagai kaum Dalit, tingkat pendidikan yang rendah,
kemiskinan dan lain sebagainya telah membentuk karakter yang eksplosif dalam
diri mereka.
Salah satu masalah mendasar yang dihadapi
komunitas Dalit paska meninggalnya DR. Ambedkar 6 minggu setelah beliau menjadi
Buddhis adalah kecenderungan penekanan yang salah pada perjuangan DR. Ambedkar,
yang lebih banyak ditransformasikan kepada komunitas Dalit yang sebagian besar
telah menjadi Buddhis ini adalah kritik Ambedkar terhadap sistem kasta Hindu
dan mereka anggap hal ini sebagai Buddhisme. Hal ini juga mungkin terjadi
akibat minimnya jumlah bhikkhu, namun di akhir konferensi beberapa pimpinan
organisasi Buddhis dari kaum Dalit menyatakan bahwa mereka siap bekerja sama
dengan para Lama dari Tibet untuk memberikan Buddha Dhamma yang sebenarnya
kepada komunitas Buddhis di India. Sebuah tesis sederhana mungkin dapat kita
renungkan bahwa Tibet mungkin memang harus meninggalkan kenyamanan tanah
kelahirannya yang begitu kental akan spiritual untuk membangkitkan kembali
Buddhisme di tanah Buddha melanjutkan perjuangan Ambedkar bersama-sama jutaan
pengikutnya.
Eddy Setiawan, Ketua Umum PP HIKMAHBUDHI
periode 2005-2007
Thursday, October 17, 2013
Setahun Karya Jokowi Ahok: Apa Kabar Pawang Geni?
Setahun
sudah Jokowi dan Basuki memimpin DKI Jakarta, berbagai terobosan dan program
pro rakyat telah dilaksanakan sebagaimana janji kampanye mereka tahun lalu.
Persoalan kemacetan telah dijawab dengan dilanjutkannya proyek MRT dan Monorel
serta penambahan armada Trans Jakarta, penataan terhadap beberapa lokasi pun
telah dilakukan seperti Tanah Abang, Pasar Gembrong dan lain-lain.
Banjir telah
diantisipasi dengan revitalisasi beberapa waduk, perbaikan pintu air dan
pembangunan sumur resapan di berbagai lokasi. Keberpihakan
kepada masyarakat miskin pun telah ditunjukkan dengan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu
Jakarta Pintar, serta relokasi yang manusiawi dari warga yang digusur ke
rusun-rusun yang telah disiapkan. Budaya Betawi kini diperkuat melalui berbagai
festival hingga kewajiban menggunakan pakaian Betawi di hari Jumat bagi PNS di
Pemprop DKI Jakarta.
Reformasi
birokrasi telah dimulai dengan lelang jabatan untuk tingkat Camat dan Lurah
dengan tujuan mendapatkan the right man in the right place, dan akan terus
dievaluasi sehingga nantinya birokrasi yang melayani dapat terwujud. Sentuhan
tahun pertama untuk keindahan kota DKI Jakarta adalah taman-taman yang lebih
rimbun dan tertata, perbaikan dan pelebaran trotoar, pengurangan billboard di
lokasi-lokasi yang tidak seharusnya, pengecetan tembok-tembok fly over dan
sebagainya.
Setahun
bukanlah waktu yang panjang untuk merealisasikan berbagai program, sehingga
keberhasilan Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2012-2017 ini patut
diapresiasi, dan perlu didukung dengan masukan konstruktif terhadap hal-hal
yang masih belum atau terlambat terealisir, salah satunya adalah menyangkut
persoalan kebakaran yang kerap melanda perkampungan-perkampungan di Ibu Kota
tercinta ini.
Jokowi
pernah mencanangkan Pawang Geni sebagai salah satu solusi penanggulangan bahaya
kebakaran di kampung-kampung dengan akses yang sempit. Dengan ukurannya yang
kecil, Pawang Geni diharapkan mampu menjangkau dengan cepat pusat kebakaran
meskipun berada di gang yang sempit, oleh karena itu rencananya pemadam
kebakaran mini ini akan dibagikan ke setiap pemukiman padat penduduk di DKI
Jakarta.
Namun hingga saat ini kita belum mendengar
atau menyaksikan bagaimana aksi Pawang Geni dalam beberapa kebakaran yang
terjadi akhir-akhir ini. Kebakaran di Jakarta adalah musibah yang berulang dari
tahun ke tahun, padatnya penduduk di beberapa wilayah dan instalasi listrik yang
semrawut adalah pangkalnya sedangkan ujungnya adalah kondisi hidran yang tidak
laik. Jadi proses pencegahan harus
melibatkan PLN untuk menertibkan sambungan ilegal dan merapikan serta
merevitalisasi seluruh jaringan kabelnya, bahkan jika mungkin kelak seluruh
instalasi listrik ditempatkan di bawah tanah. Meski membutuhkan biaya yang
tidak sedikit, tapi tentu hal tersebut tidak seberapa dibanding penderitaan ribuan
warga korban kebakaran secara kuantitatif maupun kualitatif.
Jika kita
simak dengan baik, hampir di setiap kebakaran yang terjadi di DKI Jakarta
muncul keluhan soal hidran yang tidak berfungsi, penyebab sesungguhnya bukanlah
hidran yang rusak tapi sumber air yang tidak memadai karena masih mengandalkan
PDAM, padahal tekanan airnya bisa kita rasakan sendiri di rumah yaitu sangat
lemah dan sering mati. Jadi cukup aneh apabila DKI Jakarta sampai saat ini masih
mengandalkan sumber air dari PDAM untuk keperluan hidran.
Alternatifnya adalah penggunaan
sumber air tersendiri untuk hidran, penambahan
jumlah hidran kering agar selang petugas Damkar dapat mencapai daerah dengan
akses jalan yang sempit, penambahan jumlah tendon dan tangki air untuk Damkar,
serta solusi berupa unit Pawang Geni (motor pemadam) yang dapat bergerak lebih cepat
di pemukiman padat penduduk sebagaimana pernah dicanangkan Jokowi di awal masa
menjabatnya juga merupakan salah satu solusi yang baik. Sayang pemberitaan
tentang distribusi dan tingkat efektivitas Pawang Geni tidak segencar wacana
awalnya.
Motor
pemadam ini seharusnya diprioritaskan untuk daerah rawan kebakaran dan
didistribusikan kepada RT-RW dengan jumlah yang proporsional sesuai kepadatan
penduduknya. Selain itu DKI Jakarta juga perlu menambah jumlah petugas Pemadam
Kebakaran yang saat ini hanya memiliki sekitar 3.100 petugas itupun separuhnya
adalah pegawai tidak tetap dan tidak seluruhnya merupakan petugas lapangan.
Idealnya per
10.000 penduduk terdapat minimal 1 unit mobil pemadam kebakaran lengkap dengan
6 petugas, maka dengan jumlah penduduk DKI Jakarta 9.600.000 orang saat ini seharusnya
Ibu Kota RI ini memiliki minimal 960 unit mobil pemadam kebakaran yang
dilengkapi 5.760 petugas pemadam kebakaran lapangan. Jadi memang kondisi saat
ini masih sangat jauh dari ideal, apalagi penggunaan tenaga tidak tetap yang
tentu akan berkorelasi pada kinerja dan moral petugas.
Pemprop DKI
Jakarta juga seharusnya menganggarkan lebih banyak porsi untuk penyediaan dan
perawatan APAR di setia RT, khususnya di daerah yang sudah diidentifikasi rawan
kebakaran dan melakukan penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat di daerah
tersebut mengenai upaya-upaya pencegahan dan apa yang harus dilakukan saat
kebakaran terjadi sehingga dapat membantu kerja-kerja petugas pemadam kebakaran.
Edukasi
tentang bahaya instalasi listrik ilegal, penggunaan listrik yang aman,
penggunaan kompor yang aman dan tindakan awal saat kebakaran terjadi seperti
menghubungi petugas, tidak menumpuk barang-barang di jalan menuju lokasi
kebakaran atau tidak berkerumun di sepanjang jalan menuju lokasi kebakaran
adalah hal-hal yang harus ditanamkan kepada warga yang tinggal di daerah padat
penduduk, bahkan dapat diintegrasikan dalam pelajaran di sekolah sehingga
anak-anak di daerah rawan kebakaran akan memiliki kesadaran yang lebih mengenai
pencegahan bahaya kebakaran dan apa yang harus dilakukan saat kebakaran terjadi.
Eddy
Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia
Wednesday, September 25, 2013
Bakar Tongkang, Tradisi Tua dari Bagan Siapi-api
Malam itu asap dupa dengan wewangiannya yang khas merebak
penuh mistis di sekitar anjungan Provinsi Riau Taman Mini Indonesia Indah
(TMII), asap itu bersumber dari ribuan suku tionghoa yang sebagian besar adalah
masyarakat Bagan Siapi-api yang ada di Jakarta dan sekitarnya yang sedang
melakukan sebuah ritual turun temurun bernama Bakar Tongkang. Acara ini digelar
oleh masyarakat tionghoa dari Kabupaten Rokan Ilir.
Bakar Tongkang adalah sebuah tradisi suku tionghoa yang
sempat dilarang di masa kekuasaan Orde Baru, namun tetap dilakukan secara
sembunyi-sembunyi oleh masyarakat tionghoa di Bagan Siapi-api pada saat itu.
Ritual yang berakar dari tradisi bahari para leluhur orang tionghoa di Bagan
ini, telah dilakukan sejak 128 tahun yang lalu dan tetap dilestarikan hingga
kini. Masyarakat Bagan percaya bahwa ritual ini akan membuat laut senantiasa
memberikan berkahnya bagi masyarakat Bagan yang menggantungkan diri pada hasil
laut.
Tongkang yang dimaksud adalah sebuah perahu yang dibuat
dengan ukuran sesuai petunjuk dewa, sedang desainnya konon merupakan bentuk
tongkang yang digunakan warga tionghoa awal yang berlayar dari Desa
Songkla-Thailand dan mendarat di Bagan pada tahun 1826. Ritual di TMII ini
sebenarnya sekaligus merupakan agenda wisata pemerintah Riau, untuk lebih
memperkenalkan tradisi Bakar Tongkang yang memang telah ditempatkan menjadi
salah satu agenda wisata andalan provinsi ini. Warga Tionghoa dan pemerintah
Riau mempunyai ambisi membawa tradisi Bakar Tongkang go internasional. Sebuah
ambisi yang cukup beralasan, sebab selama ini di Bagan sendiri, tradisi ini
telah menyedot perhatian wisatawan domestik maupun manca negara.
Pada perayaan terakhir, wisatawan dari Cina, Hongkong,
Singapura dan Australia pun datang ke Bagan untuk menyaksikan secara langsung
tradisi unik ini. Untuk perayaan di TMII, menurut Jhoni, salah seorang panitia
penyelenggara, ukuran yang digunakan adalah 8 x 3.2 m dan untuk melengkapi
upacara ini dilibatkan 12 orang yang trans atau kemasukan dewa-dewa tertentu.
Kedua belas orang yang disebut Luk Thong inilah yang mengawal selama perjalanan
arak-arakan tongkang. Penyelenggara,
Prosesi
Upacara Bakar Tongkang di TMII diawali dengan proses
mengundang para dewa agar memasuki raga para Luk Thong. Orang-orang terpilih
ini, melakukan sejumlah ritual dengan diiringi tetabuhan yang berbunyi sangat
nyaring. Suasana menjadi sedemikian mistis, diantara asap dupa yang semakin
pekat dan tetabuhan yang riuh rendah, sorak sorai umat membahana pada saat satu
persatu Luk Thong mengalami trans yang ditandai gerakan kepala yang
menggeleng-geleng dengan sangat cepat, dan mulai memukul-mukulkan sejenis bola
besi yang tajam ke tubuhnya.
Suasana makin meriah tat kala, salah satu Luk Thong membuat
Hu yang kemudian menjadi rebutan umat. Para Luk Thong yang pipinya ditusuk
dengan paku ini, kemudian satu persatu digiring oleh serombongan penabuh dan
pengiringnya untuk memberkati altar-altar yang ada. Umat yang berada di sekitar
altar dengan penuh kesungguhan tampak mengacung-acungkan dupa dan mengucapkan
permohonan, sementara para Luk Thong tampak seolah-olah sedang berkomunikasi
dengan dewa di altar-altar tersebut. Setiap Luk Thong mewakili karakteristik
dewa tertentu, ada yang membawa pedang dan juga gada berduri.
Setelah semua Luk Thong melakukan ritual di setiap altar,
kemudian mereka diarahkan menuju Tongkang dan semuanya melakukan ritual di
depan tongkang. Umat mulai berbaris di sepanjang jalan, dengan dupa di tangan
bersiap-siap mengikuti arak-arakan menuju panggung utama dimana Tongkang akan
di bakar di depan tamu undangan yang terdiri dari pemerintah Riau dan beberapa
duta besar serta masyarakat umum. Dari Anjungan Riau, tongkang yang diangkat
puluhan orang mulai diarak, pada posisi terdepan adalah beberapa replika dewa
dari kertas yang rata-rata menunggang kuda, kemudian barulah tongkang dan
dibelakangnya dengan dupa ditangan ribuan umat dengan khusyuk mengikuti,
sementara di kanan kiri tampak masyarakat umum turut menyaksikan.
Lampion-lampion yang di pasang sepanjang jalan menuju
panggung utama menambah semarak suasana. Setelah tiba di panggung utama, acara
dilanjutkan dengan mendengarkan sambutan dari pemerintah Riau yang diwakili
kepala dinas pariwisata Propinsi Riau karena Gubernur Riau tidak dapat hadir. Sementara
diantara undangan, tampak hadir Bupati Rokan Ilir, anggota DPD Riau, duta besar perancis dan
RRC.
Sorak sorai umat yang mengiringi prosesi persiapan
pembakaran Tongkang menenggelamkan pengeras suara, sehingga seolah tak
menghiraukan acara sambutan. Setelah sambutan selesai segera panitia, tokoh
Tionghoa Bagan Siapi-api dan Bupati Rokan Ilir didaulat menuju panggung untuk
menekan tombol kembang api yang memancar seperti air mancur di kanan kiri
tongkang. Selanjutnya mereka juga melakukan penyulutan api untuk membakar
tongkang. Segera saja api melalap tongkang yang terbuat dari kertas dari
triplek beserta ornamennya yang khas tersebut. Masyarakat yang memegang dupa
tampak semakin khusyuk memanjatkan permohonannya selama tongkang terbakar.
Uniknya, arah jatuh tiang tongkang adalah hal yang paling
di nanti-nantikan, sehingga begitu tiang tongkang jatuh seluruh umat bersorak
gembira. Menurut beberapa tokoh yang ditemui di lokasi, arah jatuh tersebut
menandakan dimana rejeki akan melimpah, jika jatuhnya ke arah laut berarti
usaha yang berkaitan dengan lautan rejekinya akan melimpah dan sebaliknya
apabila ke arah darat, maka usaha-usaha di darat lah yang akan memberi rejeki
berlimpah.
Asal Mula Tradisi Bakar Tongkang
Dari penuturan beberapa orang panitia Bakar Tongkang di TMII ini, ritual
masyarakat tionghoa Bagan ini sudah dimulai ketika 18 orang warga Tionghoa
bermarga Ang, mendarat pertama kali di tanah Bagan pada 1826 Masehi. Pelayaran
18 orang yang
berasal dari Cina namun sempat mendarat di Thailand sebelum akhirnya
menyeberang ke Bagan ini, menggunakan tiga kapal kayu yang disebut wang kang
atau tongkang. Satu diantara mereka adalah seorang
perempuan. Leluhur masyarakat Tionghoa Bagan ini berasal dari Cina yang sempat
bermigrasi ke Desa Songkla di Thailand pada 1825 Masehi. Mereka adalah,
Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia,
Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un
Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang
Tjie Tui.
Di
Thailand mereka tidak menetap terlalu lama karena kondisi disana tidak aman.
Akhirnya, para imigran ini kembali berlayar dengan menggunakan tiga kapal
mencari daerah yang lebih aman. Hanya satu dari ketiga tongkang tersebut yang
selamat pada saat mendarat di Bagan. Satu
tongkang yang selamat ini dipercaya membawa patung Dewa Tai Sun di haluan dan
Dewa Ki Ong Ya di rumah kapal. Merekalah yang menjadi penduduk awal di Bagan
dan menggantungkan hidup sebagai nelayan, dan setelah berkembang mereka
membangun bang liu atau gudang penampungan ikan.
Beberapa waktu setelah menetap dimulailah tradisi
Bakar Tongkang, yang menurut Bapak Santosa salah seorang panitia,
diadakan untuk mengucap syukur dan memohon rejeki serta kebulatan tekad untuk
tetap bertahan di daerah perantauan. Sehingga mereka membakar semua benda-benda yang dibawa
pada saat pertama kali mendarat, termasuk tongkang yang ditumpangi. Dari
sinilah kemudian berkembang tradisi Bakar Tongkang yang masih dilakukan oleh
keturunan mereka pada saat ini.
Meski sempat bernasib sama
sebagaimana tradisi tionghoa lainnya pada masa orde baru, ritual bakar tongkang
ini sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid dilakukan secara teratur dan terbuka
setiap tahun. Bagan Siapi-api, sebuah kota yang sangat lekat dengan Bandar ikan
ini pada masa keemasannya pernah menjadi penghasil ikan terbesar kedua di dunia
setelah Norwegia. Namun, akibat salah urus, maraknya penggunaan pukat harimau
dan tidak pro aktifnya pemerintah pada masa lalu membangun Bagan Siapi-api
secara berkesinambungan,
Bagan saat ini tidak lagi
diperhitungkan sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia. Entah bagaimana
perasaan 18 orang perintis tersebut melihat kondisi ini, yang pasti tradisi
bakar tongkang sekarang telah menjadi salah satu agenda wisata andalan Pemprov
Riau maupun Kabupaten Rokan Ilir, layaknya berbagai peninggalan nenek moyang
dari masa lalu, seperti juga candi-candi dan benda peninggalan sejarah lainnya,
tradisi tua ini memang dapat dimanfaatkan untuk menambah pundi-pundi daerah.
Namun satu hal yang harus
benar-benar diperhatikan adalah bagaimana berlaku seimbang dan mengelola secara
cerdas, sehingga ada keseimbangan antara usaha melestarikan dan pemanfaatannya
sebagai obyek wisata. Selain hal tersebut, satu pertanyaan yang perlu dijawab
oleh suku Tionghoa di Bagan adalah apakah sudah ada transformasi nilai-nilai
yang terkandung dalam tradisi ini dari kaum yang lebih tua kepada kaum muda
Tionghoa disana? Sebab tanpa hal tersebut, sebuah tradisi hanya akan menjadi ritual
tanpa makna yang membingungkan dan akhirnya ditinggalkan oleh generasi yang
lebih muda.
Semoga ritual Bakar Tongkang
ini tidak bernasib demikian, tidak menjadi tradisi yang kering, tapi menjadi
tradisi yang sarat nilai, yang dapat dipahami dan dihayati tidak hanya bagi
suku Tionghoa tapi juga anak bangsa lainnya. Nilai-nilai yang dapat dipelajari
dari leluhur yang memulai tradisi ini antara lain, keberanian, keuletan
berusaha, memiliki rasa syukur terhadap apa yang diberikan alam dan menghargai
kepercayaan leluhur. Sesuatu yang mungkin tidak lagi dimiliki oleh kaum muda
tionghoa saat ini, yang telah hanyut dan tersesat di dunia materialisme.
Alih-alih menghargai tradisi
leluhur, saat ini kaum muda tionghoa telah banyak yang tercerabut dari akar
budayanya sendiri, entah karena kepungan dunia materi maupun ideologi keagamaan
yang tidak ramah terhadap budaya. Sehingga dapat kita saksikan saat ini, kaum
muda yang hedon dan merasa modern padahal sejatinya bersandar penuh kegamangan
pada tradisi yang sebenarnya asing bagi dirinya. Segelintir kaum muda yang
masih berusaha mengenali dan memahami tradisi leluhurnya, semoga memiliki
kekuatan dan kebulatan tekad sebagaimana nenek moyangnya dahulu untuk tidak
hanyut dan ditaklukkan oleh mainstream. Sehingga tradisi akan memberikan
manfaat yang jauh lebih berharga daripada sekedar materi.
Eddy Setiawan, Maret 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)