Monday, December 30, 2013

8 Arah Positif Revisi UU Adminduk

Administrasi Kependudukan merupakan sesuatu yang vital bagi suatu bangsa karena data-data kependudukan yang valid akan sangat menentukan dalam mengambil berbagai kebijakan, dari pembangunan, pendidikan, kesehatan hingga pertahanan dan keamanan. Indonesia baru memiliki UU Administrasi Kependudukan tahun 2006, yakni UU Nomor 23 Tahun 2006 yang dalam perjalanannya ternyata memang membutuhkan perubahan sesuai  perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

Penyesuaian pertama terjadi melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ketentuan sidang di pengadilan bagi penduduk yang terlambat melaporkan kelahiran melebihi batas waktu satu tahun. Sedangkan perubahan kedua baru saja disahkan 26 November 2013 lalu oleh DPR RI. Perubahan yang terjadi sebagian besar tampaknya sudah memenuhi tuntutan masyarakat dan memberi arah yang positif menuju tertib adminduk di Indonesia.

Adapun 8 perubahan positif tersebut yakni pertama perubahan stelsel aktif dari penduduk ke negara, sehingga dokumen kependudukan dimaknai sebagai hak penduduk dan kewajiban negara. Jadi negara yang wajib bekerja serius agar semua penduduk memiliki dokumen kependudukan, bukan sebaliknya. Kedua, perubahan asas dalam pengurusan akta kelahiran dari asas peristiwa menjadi asas peristiwa yang dapat dilayani di domisili, sehingga pendatang ber-KTP DKI Jakarta tapi belum memiliki akta kelahiran misalnya, dapat mengurusnya di domisilinya meski lahir di luar Propinsi DKI Jakarta, tempat lahirnya tetap tercatat sesuai dimana peristiwa terjadi. Ketentuan ini adalah kunci penyelesaian kasus-kasus pendatang di kota besar yang pada umumnya tidak memiliki akta kelahiran dan kesulitan apabila diwajibkan mengurus akta kelahiran ke daerah asalnya sebagaimana ketentuan lama yang masih menggunakan asas peristiwa secara murni.

Ketiga, pemberlakuan KTP Elektoronik seumur hidup bagi WNI dan sesuai ijin tinggal bagi WNA, termasuk KTP-el yang sudah diterbitkan sebelum perubahan UU. Hal ini akan meringankan bagi rakyat yang selama ini setiap 5 tahun harus menyiapkan anggaran dan waktu untuk mengurus perpanjangan KTP. Di sisi pemerintah hal ini akan mengurangi beban anggaran dan pekerjaan terutama di kelurahan, sehingga tentu diharapkan energi yang ada dapat dialihkan untuk pekerjaan produktif lainnya.

Keempat, perluasan kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam hal Administrasi Kependudukan menjadi lintas daerah dan vertikal hingga ke tingkat kabupaten/kota, yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi menuju tertib adminduk. Hal ini juga mempermudah pengawasan, fasilitasi, pembinaan, pemantauan, evaluasi dan standarisasi syarat, prosedur seluruh administrasi kependudukan serta penyediaan blangko KTP Elektronik dan dokumen kependudukan lainnya di seluruh wilayah Indonesia oleh Kemdagri.

Kelima, penggratisan biaya pengurusan dan penerbitan seluruh dokumen kependudukan seperti Akta Kelahiran, KTP, KK, Akta Kematian dan lain-lain. Seluruh biaya untuk urusan administrasi kependudukan akan ditanggung APBN yang disalurkan ke pemerintah daerah melalui mekanisme Dana Dekonsentrasi dan Dana Pembantuan.

Keenam, seluruh peraturan pelaksana UU Adminduk yang semula di level Peraturan Pemerintah diturunkan ke level Peraturan Menteri sehingga logikanya akan lebih cepat dan mudah untuk segera melengkapi perubahan UU ini dengan peraturan pelaksananya. Ketujuh, pengelolaan data kependudukan dipusatkan di Kemdagri, sementara pemprop dan pemkab/pemkot hanya berwenang menyajikan data, itupun yang sudah dikonsolidasikan dan divalidasi Kemdagri.

Kedelapan, penghapusan kata “Dinas” pada ketentuan mengenai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) karena memang tidak semua daerah memiliki Dinas Kependudukan, ada yang dalam bentuk Badan misalnya. Prioritas pembentukan UPT tidak lagi tergantung daerah tapi diatur melalui Permen, sehingga pelayanan catatan sipil yang selama ini dilakukan di tingkat kabupaten/kota akan turun ke tingkat kecamatan melalui pembentukan UPT Instansi Pelaksana. Unit ini diberi kewenangan menerbitkan akta kelahiran, kematian, perkawinan dan akta catatan sipil lainnya. Sementara di tingkat kelurahan dibuka peluang pengangkatan Petugas Registrasi dari luar PNS, sehingga tidak ada alasan bagi pemkab/pemkot tidak dapat menyediakan Petugas Registrasi di kelurahan. Petugas inilah ujung tombak pelayanan yang bertugas memproses pengurusan berbagai dokumen kependudukan di setiap kelurahan.  

Total perubahan UU ini berjumlah 31, namun sebagian adalah perbaikan redaksional, perubahan frasa negatif ke positif dan konsekuensi dari 8 perubahan di atas. Sungguh kita harus mengapresiasi Kemdagri atas perubahan progresif ini, sehingga sekarang kita bisa membayangkan akan dengan lebih mudah mengurus berbagai dokumen kependudukan, jauh dari pungli dan birokrasi berbelit-belit, dan pelayanannya dekat dengan rumah. Tantangan selanjutnya bagi Menteri Dalam Negeri adalah untuk segera menerbitkan 8 Permen terkait perubahan UU ini setelah disahkan Presiden, sehingga semua konsepsi segera menjadi realitas.


Eddy Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI)

Thursday, November 7, 2013

Tertib Adminduk di Era Otonomi Daerah

Data kependudukan dan catatan sipil merupakan suatu hal yang sangat vital karena menyangkut banyak kepentingan strategis nasional, namun hingga Indonesia memiliki presiden ke-6, tertib administrasi kependudukan belum juga tercapai. 

Artinya masih banyak rakyat Indonesia yang tidak tercatat dalam sistem administrasi kependudukan negeri ini, padahal data-data semacam itu sangat menentukan dalam perencanaan pembangunan nasional di berbagai bidang hingga menjadi salah satu alat efektif untuk mencegah korupsi. 


Salah satu contohnya adalah tingkat kepemilikan akta kelahiran yang masih sangat rendah di kalangan anak-anak berusia 0-4 tahun, yakni 59% (Susenas, 2011), dan angka tersebut akan menjadi lebih besar apabila ditambah persentase orang dewasa yang tidak memiliki akta kelahiran. Rendahnya tingkat kepemilikan akta kelahiran ini sangat memprihatinkan mengingat Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak, 23 tahun yang lalu. 


Pasal 7 konvensi ini, menyatakan bahwa setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya sehingga akan mempunyai hak atas sebuah nama dan kewarganegaraan serta hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya. Indonesia sebagai negara peserta diwajibkan menjamin pelaksanaan hak-hak ini sesuai dengan hukum yang berlaku. Pada tahun 2012 lalu Indonesia bahkan telah meratifikasi protokol opsional dalam Konvensi Hak-Hak Anak, yakni terkait perdagangan anak, prostitusi anak dan pelibatan anak dalam konflik bersenjata.


Konvensi di atas diterjemahkan ke dalam UU HAM 1999, yang menyatakan bahwa setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan, dan diatur lebih rinci dalam UU Perlindungan Anak 2002 yang diantara pasal-pasalnya menyatakan bahwa identitas diri setiap anak yang dituangkan dalam akta kelahiran harus diberikan sejak kelahirannya, dan pembuatan akta kelahiran merupakan tanggung jawab pemerintah dan tidak dikenai biaya.


Secara yuridis, apabila seseorang tidak tercatat kelahirannya berarti keberadaannya tidak diakui oleh negara sehingga hak-haknya pun akan diabaikan. Fakta rendahnya kepemilikan akta kelahiran di Indonesia seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah akan besarnya ancaman perdagangan anak, manipulasi data, dan lain-lain yang berpangkal pada ketidakjelasan identitas diri dan status kewarganegaraannya. Tanpa Akta Kelahiran berarti tanpa nama secara legal, dan tidak memiliki bukti kewarganegaraan yang bermakna tidak ada perlindungan dari negara manapun di muka bumi ini, sehingga rentan menjadi korban kejahatan.


Otonomi Daerah dan Adminduk

Fakta di atas menunjukkan bahwa tertib administrasi kependudukan merupakan kebutuhan dan kewajiban suatu negara dalam rangka memberikan perlindungan kepada warganya. Hal ini juga menjadi spirit lahirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan pada tahun 2006. Namun di era otonomi daerah saat ini, untuk mewujudkan tertib adminduk secara nasional merupakan tantangan tersendiri, karena di dalam UU Otonomi Daerah hanya 6 urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat yaitu Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional dan Agama. Namun Otonomi daerah seharusnya tidak hanya dipahami sebagai bentuk pelimpahan sebagian wewenang pemerinah pusat kepada pemerintah daerah dalam konteks demokratisasi, namun juga terkait dengan optimalisasi pelayanan kepada rakyat. 

Aksentuasi otonomi daerah secara konseptual sesungguhnya adalah kepada masyarakat lokal, bukan kepada elit-elit lokal. Otonomi daerah memberikan kebebasan lebih besar kepada rakyat di tingkat lokal untuk berpartisipasi terhadap jalannya pemerintahan, dapat menentukan kepala daerah sendiri, dan memiliki akses yang lebih luas dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Namun dalam implementasinya yang terjadi hanya pergeseran kekuasaan kepada elit lokal, sehingga lahirlah perda-perda bermasalah yang dibuat hanya dengan pertimbangan lokalistis sempit tanpa pertimbangan kepentingan nasional bahkan ada yang bias agama. 


Dalam menciptakan tertib administrasi kependudukan secara nasional, pemerintah daerah memegang peranan yang sangat vital karena pelayanan administrasi kependudukan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Namun sampai saat ini belum banyak daerah yang memiliki pelayanan publik yang ideal sebagaimana dituntut dalam UU Pelayanan Publik, bahkan daerah istimewa seperti DKI Jakarta sekalipun hingga saat ini belum memiliki payung hukum untuk pelayanan satu atap sebagaimana yang telah diterapkan di Bandung misalnya. 


Sungguh terlalu memang, sebuah Ibu Kota Negara gagal menjadi barometer bagi daerah lain, ironisnya justru DPRD DKI Jakarta lah yang terus saja menunda pengesahan berbagai Rancangan Perda yang sesungguhnya dapat mengoptimalkan pelayanan terhadap masyarakat dan meminimalisir korupsi atau bentuk penyalahgunaan wewenang lainnya seperti Pelayanan Terpadu Satu Atap, Tender online dan lain-lain. Padahal Jokowi Ahok sangat mendambakan keseluruhan sistem yang meminimalisir peluang terjadinya korupsi di lingkungan birokrasi Pemprop DKI Jakarta tersebut, dapat segera terealisir.


Seluruh perbaikan dalam pelayanan publik pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, memperbaiki iklim investasi, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks administrasi kependudukan, pelayanan yang baik akan mendorong masyarkat untuk tertib memenuhi dokumen kependudukan dan catatan sipilnya. Oleh karena itu, seluruh elemen kekuasaan seharusnya bersinergi mewujudkan suatu pelayanan publik yang profesional dan meninggalkan praktik-praktik kotor selama ini.  


Peraturan perundang-undangan sesungguhnya telah menetapkan suatu standar pelayanan minimal, mengingat demikian beragamnya kondisi tiap-tiap daerah. Namun tanpa target yang jelas, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang mubasir karena inisiatif untuk meningkatkan pelayanan minimal ke pelayanan yang “optimal” sangat tergantung pada niat baik kepala daerah. Sesungguhnya perlu ada pengaturan tentang penetapan target dan mekanisme intervensi pemerintah pusat, apabila pemerintah daerah tidak/gagal memenuhi target yang telah ditetapkan dalam hal pelayanan publik. Sekedar contoh persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang masih bermasalah misalnya, sesungguhnya tidak perlu terjadi seandainya sejak dulu pemerintah daerah diberikan target yang jelas dan terukur untuk mewujudkan tertib administrasi di daerahnya masing-masing. Tertib Adminduk akan memudahkan proses E-KTP yang juga berarti memudahkan penetapan DPT. 


Jadi hulunya adalah reformasi birokrasi, karena birokrasi yang ruwet dan penuh pungli adalah tembok penghalang terbesar yang mematikan inisiatif masyarakat mengurus berbagai dokumen pentingnya. Otonomi daerah seharusnya dapat mempercepat proses reformasi birokrasi di daerah yang berimplikasi pada terciptanya tertib administrasi kependudukan di Indonesia. Namun di saat kekuasaan daerah sudah telanjur dibajak oleh para perompak yang hanya memikirkan cara memperkaya diri dan golongannya, maka reformasi birokrasi adalah sesuatu yang merugikan bagi mereka sehingga tidak akan pernah dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Kepala daerah dan DPRD yang tidak memihak pada reformasi birokrasi, tidak berusaha sungguh-sungguh menciptakan pelayanan publik yang profesional adalah mereka yang tidak pantas diberi kepercayaan lagi pada Pemilu 2014, dan Pilkada di daerah masing-masing.


Eddy Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia


Sunday, October 27, 2013

Satoe Indonesia

Kaum muda di belahan dunia manapun memang memiliki kodrat untuk menjadi bagian dari pembaharuan, perombakan, hingga pemberontakan. Pancaran energi kaum muda inilah yang juga tampak dalam salah satu momentum penting berdirinya sebuah negara bangsa yang diberi nama Indonesia, yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 belasan tahun setelah kaum muda terpelajar mulai menggunakannya sebagai nama media atau organisasinya.

Wilayah nusantara dulunya memiliki berbagai sebutan seperti  Nan Hai atau Kepulauan Selatan (Tiongkok), Dwipantara atau Kepulauan Tanah Seberang (India), Jaza’ir al-Jawi atau Kepulauan Jawa (Arab), Hindia Belakang (Eropa), Nederlandsch-Indie atau Hindia Belanda (Belanda), To-Indo atau Hindia Timur (Jepang), dan Insulinde atau Kepulauan Hindia (E. Douwes Dekker).  

Usul untuk memberikan nama yang lebih spesifik pertama kali dilontarkan dalam Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia Volume IV yang terbit di Singapura pada tahun 1850, oleh George Samuel Windsor Earl seorang etnolog dan James Richardson Logan seorang Sarjana Hukum. Earl mengajukan dua alternatif penamaan dalam artikelnya On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations di halaman 71, yakni Melayunesia atau Indunesia dan merekomendasikan Melayunesia.

Logan pada salah satu catatan kaki artikelnya The Etnology of The Indian Archipelago di halaman 254 menyatakan lebih memilih istilah geografi “Indonesia” yang merupakan sinonim lebih pendek dari Kepulauan Hindia, dan sejak itu ia konsisten menggunakannya dalam berbagai karya ilmiahnya dan kemudian digunakan secara umum oleh kalangan akademisi khususnya di bidang etnologi dan geografi. Namun Belanda sebagai penjajah nusantara menenal istilah Indonesia tidak secara langsung dari Logan tapi melalui karya Adolf Bastian,  seorang guru besar etnologi dari Universitas Berlin yang mengambil istilah Indonesia dari karya Logan yang diserap dalam bahasa Belanda menjadi Indische.

Politik Etis yang mulai diberlakukan Belanda 1901 adalah salah satu hal yang akhirnya melahirkan kaum muda terpelajar di nusantara, diantaranya Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara agar lebih egaliter dan melepaskan diri dari primordialisme. Dewantara adalah bagian dari kaum muda terpelajar pertama yang menggunakan istilah Indonesia untuk organisasinya yaitu Indonesische Persbureau ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 di usia 24 tahun.

Dewantara diasingkan  karena keberanian dan ketajaman tulisannya Als Ik Eens Nederlander Was (Andai Aku Seorang Belanda), yang mengkritik keras rencana perayaan 100 tahun bebasnya Belanda dari penjajahan Perancis yang ironisnya akan dirayakan di sebuah negeri dimana Belanda sedang bertindak sebagai sang penjajah; Hindia Belanda. Setahun sebelum diasingkan, ia bersama dua kawannya pada saat kuliah kedokteran yaitu E.F.E Douwes Dekker seorang peranakan Belanda yang kemudian mengganti nama menjadi Danudirja Setiabudi dan Cipto Mangunkusumo mendirikan organisasi politik pertama di Hindia Belanda dengan tujuan Indonesia merdeka, yakni Indische Partij.

Kaum muda dengan berbagai dinamika di masa kolonilisme kala itu, terus bergerak dan membangun kesadaran tentang suatu bangsa yang dapat dibangun oleh seluruh entitas di Hindia Belanda kala itu. Interaksi antar bangsa, bangkitnya nasionalisme dan berdirinya negara bangsa dengan melepaskan diri dari penjajahan sebagaimana terjadi di Tiongkok dan belahan lainnya, menambah keyakinan kaum muda di Hindia Belanda untuk membentuk suatu negara bangsa di atas keberagaman nusantara.

Proto Nasionalisme

Bentuk-bentuk persatuan antar suku bangsa di nusantara sebenarnya sudah terjadi sejak lama, misalnya pada Perang Sepanjang 1740-1743. Perang ini sesungguhnya merupakan perlawanan terbesar dalam sejarah nusantara yang dilakukan oleh pasukan gabungan dari suku Jawa, Tionghoa dan Bali. Perang ini dipicu pembantaian keji yang diotaki Belanda terhadap masyarakat Tionghoa di Batavia 1740, puluhan ribu orang Tionghoa menjadi korban dari orang dewasa hingga bayi bahkan pasien di rumah sakit pun tak luput dari pembantaian keji tersebut.

Kerajaan Belanda yang khawatir akan kemarahan Kerajaan Tiongkok akhirnya bisa bernapas lega karena Kaisar Tiongkok, Kian Liong menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa di Batavia tidak diakuinya sebagai bagian dari rakyatnya karena sudah meninggalkan negerinya, sehingga ia tidak terlalu mempersoalkan pembantaian tersebut. Reaksi yang berbeda justru datang dari tokoh Tionghoa di Batavia dan Jawa bagian tengah, yakni Sauw Pan Djiang (lidah Jawa menyebutnya Sepanjang) dan Tan Sin Ko (Singseh) yang memimpin Laskar Tionghoa bersekutu dengan pasukan Jawa dibawah pimpinan Sunan Amangkurat V alias R.M Garendi dan Raden Mas Said atau lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyowo yang kelak menjadi Mangkunegara I. Perang ini juga melibatkan Untung Surapati yang memimpin pasukan campuran Bali dan Jawa di daerah Jawa bagian Timur.   

Serangan dimulai di daerah Gandaria wilayah selatan Batavia yang kemudian menjalar hampir di seluruh pulau Jawa bagian barat, tengah hingga timur, namun anehnya kepingan sejarah persatuan itu tidak pernah diajarkan dalam mata pelajaran sejarah di sekolah hingga hari ini. Padahal baik dalam hal skala, cakupan wilayah, jumlah pasukan yang terlibat serta dampak kerugian terhadap Belanda, perang ini jauh melebihi Perang Diponegoro 1825-1830.

Kaum Muda Pembaharu

Perjuangan yang lebih sistemik dan memiliki arti politik yang penting mulai bergema tat kala para mahasiswa mulai bergerak baik melalui media maupun organisasi, sebut saja majalah Hindia Poetra Hatta yang diterbitkan kembali oleh Mohammad Hatta dan rekan-rekannya yang mulai mengkritisi praktik kolonialisme Belanda di Hindia Belanda dan menyebarkan semangat antikolonial. Dengan berani pada tahun 1924, saat majalah ini dipimpin M. Nazir Datuk Pamoentjak namanya diubah menjadi Indonesia Merdeka, sedangkan nama organisasi yang semula Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang didirikan 1908 hampir berbarengan dengan organisasi pribumi di Hindia Belanda yakni Boedi Oetomo, kemudian diubah menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925, dan setahun kemudian Hatta menjadi Ketua organisasi yang secara sistematis melakukan propaganda kemerdekaan Indonesia tersebut.

Benih-benih nasionalisme tersebut terus bertumbuh ditengah berbagai halangan dari penjajah. Sukarno adalah salah satu pelopor dan penganjur yang gigih semangat persatuan seluruh suku di Hindia Belanda, sampai-sampai ia kerap diledek para pelajar Jakarta dengan sebutan “Bapak Persatuan dari Bandung.” Namun anjuran Sukarno inilah yang menjadi salah satu pemicu diskusi antar kaum muda seperti Mohammad Yamin, Sugondo Djojopuspito, Maruto, Pandu Kartawiguna, seorang anak SMA yang kelak menjadi Perdana Menteri I Republik Indonesia bernama Syahrir di kamar Mohammad Yamin di Jalan Braga pertengahan tahun 1927.

Wacana yang dilontarkan Syahrir dalam diskusi itu menurut Sugondo, sosok sentral dibalik gerakan Sumpah Pemuda, adalah hal yang sangat tepat dan merangsang terwujudnya Sumpah Pemuda. Si anak SMA yang menjadi target intelijen Polisi Belanda karena tulisan-tulisannya itu, merespon pertanyaan Yamin “Bung Karno minta kita bersatu, itu….bagaimana menurut kalian?

Pada gilirannya, Syahrir berpendapat “Kalian bicara persatuan, tapi tanpa suatu tindakan penjiwaan terhadap persatuan itu, mana bisa? Persatuan itu bukan sekedar konsepuntuk menyatukan sebuah perjuangan, tapi sebuah gagasan baru, sebuah jaman baru dan lebih besar lagi ‘persatuan’ itu adalah sebuah peradaban baru. Bisa nggak kalian bikin sebuah peradaban baru bernama Indonesia, sebuah peradaban yang bisa saja seagung ‘Peradaban Yunani’, ‘Peradaban Romawi’, atau ‘Peradaban Eropa Barat’ itulah tujuan dari persatuan.”

Akhirnya pada tanggal 28 Oktober 1928, di tengah-tengah alam kolonialisme yang sangat tidak ramah tersebut Sugondo yang menjadi Ketua Panitia Kongres Pemuda II harus mengakali agar intel Belanda tidak membubarkan acara, agar polisi hanya memandang kegiatan ini sebagai kegiatan debat biasa dan membuat setting sedemikian sehingga perdebatan antar mahasiswa dan pelajar tidak berkepanjangan sehingga mempermudah lahirnya apa yang sekarang kita sebut sebagai Sumpah Pemuda.

Panitia berhasil mengumpulkan 71 orang dari berbagai organisasi pemuda dengan latar belakang beragam berkumpul di sebuah rumah di Jl. Kramat No. 106 milik Sie Kok Liong asal Semarang, yang juga dipakai sebagai markas Jong Java dan di penghujung acara menyerukan tekad untuk bersatu menjadi satu entitas, satu bangsa, satu tanah air, dan memilih bahasa persatuan: Indonesia. Organisasi-organisasi pemuda yang umumnya menggunakan kata “Jong” didepan nama daerah tersebut, sesungguhnya lebih banyak merupakan organisasi berdasarkan daerah asal bukan kesukuan, kecuali Jong Batak dan Jong Islamieten yang berbasis kesukuan dan agama. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya peserta Sumpah Pemuda seperti Kwee Thiam Hong yang mewakili Jong Sumatranen, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie yang merupakan perwakilan Jong Java, Jong Celebes dan lain-lain. Pemuda keturunan Arab yang tidak terlibat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober, di pimpin AR Baswedan kemudian menggelar Sumpah Pemuda keturunan Arab di Semarang.

Seluruh kepingan sejarah itu sangat penting untuk memahami konteks berdirinya negara bangsa yang sepakat diberi nama Indonesia ini, untuk menyadari betapa Indonesia dibentuk, diperjuangkan dan dicita-citakan oleh seluruh elemen yang ada di Hindia Belanda kala itu. Maka ketika momen persiapan membentuk negara bangsa di BPUPKI Soetardjo secara jelas menyatakan bahwa sebelum terbentuknya negara Indonesia, baik golongan pribumi, golongan timur asing (Tionghoa, Arab dan lain-lain) maupun golongan Eropa memiliki status yang sama sebagai Nederlandsch Onderdaan (Kaula Negara Belanda) sesuai hukum yang berlaku sebelum terbentuknya sistem hukum negara Indonesia.

Sistem hukum Indonesia kemudian memberikan status kewarganegaran Indonesia kepada semua orang yang lahir di Indonesia, atau sudah tinggal di Indonesia sejak 17 Agustus 1940 tanpa memandang suku bangsa, agama dan ras, kecuali yang bersangkutan menolak.  Spirit inilah yang seharusnya senantiasa kita ingat, sehingga dapat menepis semua prasangka antar suku, agama ataupun ras yang membentuk republik ini yang hanya akan memecah belah dan merugikan kita semua. Merunut pada pemikiran para pendiri bangsa ini, konsepsi putra daerah misalnya harus dimaknai sebagai setiap orang sudah tinggal di suatu daerah sejak kelahirannya bukan atas dasar kesukuannya. Sehingga anak-anak transmigran asal Jawa dan Bali misalnya, yang sudah lahir di Lampung, Kalimantan dan lain-lain adalah putra daerah bersangkutan.  

Ingatlah selalu bahwa semua entitas tersebut telah memberi warna dan berperan dalam pembentukan negara bangsa ini, mereka telah hidup dan berinteraksi dalam waktu yang panjang, sama-sama merasakan penderitaan di masa kolonial dan akhirnya berani bermimpi dan memperjuangkan satu negara bangsa dengan nama Indonesia, dengan kaum muda sebagai lokomotifnya. Kini di masa kekejaman dan kekuasaan para koruptor, kembali kita bisa saksikan bahwa negeri ini masih dapat menggantungkan harapan pada kaum mudanya. Kemenangan Timnas U-19 di piala AFF dibawah binaan Indra Sjafri, hingga munculnya kepala-kepala daerah reformis yang juga umumnya berusia relatif muda adalah bukti bahwa masih ada kaum muda yang memiliki idealisme dan kecintaan tulus terhadap negeri ini, kecintaan yang tuntas pada satoe Indonesia.

Eddy Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia

Sunday, October 20, 2013

DR. B.R. AMBEDKAR Perlawanan terhadap Diskriminasi di India

           
Peradaban manusia terus berkembang sejak masa pra sejarah hingga saat ini, segala bentuk “ketidakberadaban” secara sistematis di kikis dan diganti dengan “keberadaban”, bahkan 57 tahun yang lalu tepatnya 10 Desember 1948 sejarah manusia telah mencatat lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). 

Sebagai salah satu perangkatnya disusun sebuah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (PSBDR)-1965 dan telah disebarluaskan sejak 1969, namun hingga saat ini masih saja terjadi konflik antar kelompok dengan latar belakang perbedaan suku, agama, ras sebagai simbol permusuhan.

Berbagai kasus besar diskriminasi sempat menjadi perhatian dunia internasional, seperti kasus Afro-Amerika di USA, Yahudi di Eropa, Apartheid di Afrika Selatan, namun kasus diskriminasi di Asia seperti masalah Dalit di India misalnya, tidak mendapat perhatian yang cukup dari dunia internasional. Padahal lebih dari 100 negara telah menjadi peserta dan pendukung Konvensi Internasional tentang PSBDR, termasuk di dalamnya India. 

Tulisan ini disarikan dari berbagai diskusi dengan kawan-kawan dari komunitas Dalit dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi, secara formal maupun informal pada saat penulis yang mewakili HIKMAHBUDHI mengikuti Konferensi INEB di Nagaloka, Nagpur, India dengan tema utama Konferensi INEB kali ini adalah “Buddhism and Social Equality”  sedang Sub temanya adalah “Transcending Barriers: DR. Ambedkar and the Buddhist World” pada tanggal 9-16 Oktober 2005. Dalam tulisan ini, kata Hindu mengacu pada Hindu historis-institusional di India, bagaimana pun hal-hal yang diungkap disini adalah realitas sosial di India hingga hari ini. 

Sebagai negara yang telah menjadi peserta dan pendukung PSBDR seharusnya setiap negara tersebut wajib untuk peduli dan melakukan usaha untuk melenyapkan diskriminasi yang masih terhadi di negaranya sehingga praktek pembiaran (neglected) yang dilakukan pemerintah India adalah pelanggaran terhadap konvensi yang telah ditetapkan bersama dan merupakan tindakan yang tidak ksatria. Sangat jelas pada konvensi pasal 2 bab 1 menyebutkan bahwa negara-negara peserta mengutuk diskriminasi rasial, dan berusaha menggunakan semua cara yang memadai, secepatnya melakukan kebijakan penghapusan diskriminasi rasial dengan segala bentuknya, dan mengembangkan saling pengertian diantara semua ras dan demi lima  tujuan yaitu:

Pertama, setiap negara peserta berusaha tidak akan terlibat dalam praktek diskriminasi rasial terhadap individu, kelompok orang atau lembaga, dan menjamin bahwa aparatur pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan nasional maupun daerah, harus bertindak sesuai tanggung jawab ini;

Kedua, setiap negara peserta tidak membantu, membalas, atau mendukung diskriminasi ras yang dilakukan oleh siapa pun atau organisasi mana pun;

Ketiga, setiap negara peserta wajib melakukan tindakan-tindakan yang efektif untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah, nasional dan daerah, untuk memperbaharui, mencabut atau membatalkan undang-undang dan peraturan yang berpengaruh menciptakan atau mengembangkan diskriminasi rasial di manapun;

Keempat, setiap negara peserta wajib, dengan segala cara yang tepat termasuk perundang-undangan apabila keadaan membutuhkan, melarang dan mengakhiri diskriminasi rasial yang dilakukan secara perorangan maupun secara berkelompok atau oleh suatu organisasi;

Kelima setiap negara peserta berusaha mendorong, apabila perlu, organisasi atau gerakan multi-ras yang terpadu dan berbagai cara lainnya untuk menghilangkan hambatan-hambatan antar-ras, dan mencegah segala tindakan yang cenderung memperkuat pembagian ras.   

Berdasarkan konvensi tersebut diskriminasi rasial dideskripsikan sebagai segala bentuk perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pilihan yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan, pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang lain dari kehidupan masyarakat. 

 Di India modern saat ini ternyata masih terjadi diskriminasi atas nama kasta, salah satu yang paling fenomenal adalah diskriminasi terhadap kaum Dalit, sebuah golongan masyarakat India yang dianggap berada di luar sistem kasta yang ada (outcaste/untouchable/mahar). Bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami kaum ini sungguh tidak masuk akal dan di luar batas-batas kemanusiaan, namun tetap berlangsung hingga saat ini sebab memang dipelihara oleh kelompok kasta di atasnya yang diuntungkan oleh adanya sistem kasta ini yang menguasai India secara sosial politik dan ekonomi.

Praktik diskriminasi terhadap kaum dalit ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-4, sering disebut juga sebagai “Apartheid terselubung India”, yang telah menyebabkan demikian banyak manusia mengalami segregasi dari manusia pada umumnya dan hanya menjadi kelompok manusia yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan paling kotor, rendah dan tidak berarti. Mereka juga dimarginalisasi, disingkirkan dari pergaulan sehari-hari bahkan sekedar menginjak bayangannya pun sudah menjadi kesialan bagi kasta diatasnya.

Kaum dalit di cap sebagai orang yang tercemar dan kotor sehingga tidak pantas hidup berdampingan dengan wajar dengan mereka yang merasa lebih tinggi dan bersih. Untouchability berakar pada sistem kasta Hindu-India yang merupakan hirarki sosial yang bertahan paling lama di muka bumi. Secara garis besar terdapat 4 kasta utama yakni Brahmana (pendeta dan guru), Ksatria (penguasa dan tentara), Waisya (pedagang/pengusaha) dan Sudra (pekerja). Disamping kasta utama ini terdapat ribuan sub-kasta yang dikenal sebagai “jati”, sistem kasta sebenarnya adalah pembagian berdasarkan pekerjaan, sekte, daerah dan garis bahasa.

Dalit berada di luar keempat kasta utama diatas, digolongkan sebagai kelompok yang sangat nista untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sangat kotor dan rendah seperti membuang bangkai binatang, menguliti binatang, membersihkan tempat penampungan limbah dan berbagai pekerjaan yang dianggap nista oleh kasta lainnya. Kata Harijan yang memiliki arti “anak tuhan” sempat dikampanyekan Mahatma Gandhi untuk menyebut komunitas outcaste ini namun kata Dalit tampaknya lebih umum digunakan, berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti hancur, terdiskriminasi atau orang yang dihancurkan. Ironisnya di dalam komunitas Dalit sendiri terbagi atas lebih dari 70 sub kasta.

Secara legal formal sebenarnya untouchability sudah dihapuskan sejak disusunnya konstitusi India pada tahun 1950 pada pasal 16. DR. Bhimrao Ramji Ambedkar demikian nama lengkapnya, ia adalah seorang Dalit yang memegang peranan penting dalam penyusunan konstitusi India dan sampai saat ini tetap dipuja oleh para pengikutnya; komunitas Dalit dan telah menjadi ikon bagi gerakan Dalit. Ia adalah seorang tokoh besar yang dengan kesadaran dan penuh keberanian di tengah-tengah kontroversi mengubah agamanya menjadi Buddha, dan langkah ini menjadi begitu terkenal karena diikuti oleh jutaan pengikutnya.

Pengalaman masa kecilnya penuh dengan penindasan hanya karena ia seorang yang Dalit telah membentuk tekadnya untuk memerangi ketidakadilan itu. Sekedar contoh saat kecil ia pernah didorong dari gerobak karena pemilik gerobak tahu dia seorang Dalit, di lain waktu karena hausnya ia minum di sumur umum dan seseorang mengetahui hal tersebut akhirnya masa datang dan memukulinya hingga babak belur, demikian juga saat hendak mencukur rambutnya Bhim kecil harus menerima penolakan karena si tukang cukur tidak mau menyentuh orang outcaste, pernah saat hendak berangkat ke sekolah, karena hujan lebat Bhim berteduh di emperan rumah seseorang, saat penghuninya melihat serta merta dengan penuh marah ia mendorong Bhim sehingga jatuh di kubangan lumpur dan beserta semua buku-bukunya.

Pengalaman-pengalaman pahit dan menyedihkan yang sangat melecehkan eksistensi kemanusiaan seperti inilah yang harus dihadapi bahkan oleh seorang anak kecil yang terlahir di komunitas Dalit di India, bahkan mungkin banyak yang lebih pahit dari pengalaman Bhim kecil. Namun semua hal inilah yang membentuk kesadaran dalam diri Bhim dan menjadi bara yang terus menyala dalam dadanya untuk memerangi ketidakadilan ini.

Perjuangan untuk menghapus ketidakadilan terhadap komunitas untouchable ini  sebenarnya telah dimulai sejak lama, sekedar contoh tahun 1883 Sayaji Rao Gaekwad, Maharaja dari Baroda sudah mendirikan sekolah untuk kaum Dalit sehingga dapat dinilai bahwa beberapa raja Hindu sebenarnya juga tidak setuju akan ketidakadilan yang terjadi terhadap kaum ini. Sejak sebelum merdeka hingga setelah merdeka di India terdapat banyak orang-orang besar yang mendedikasikan hidupnya untuk menegakkan kebenaran dan prinsip yang mereka yakini, Ambedkar adalah salah satunya.

Desa Ambavade di distrik Ratnagiri Propinsi Konkan yang terletak di negara bagian Maharashtra adalah tempat kelahiran Bhimrao anak ke-14 dari Ramji Sakpal. Ambedkar lahir pada tanggal 14 April 1891 dengan nama Bhimrao Ambavadekar. Salah seorang pamannya yang menjadi biarawan pernah menyatakan kepada ayah Bhimrao, bahwa ia akan mendapat seorang putera yang nantinya akan menjadi orang terkenal di dunia. Demikianlah kemudian Ambedkar lahir dan ibundanya meninggal lima tahun kemudian. Nama Ambavadekar akhirnya diubah menjadi Ambedkar oleh salah seorang gurunya pada masa sekolah menengah atas, gurunya adalah seorang brahmin dengan nama keluarga Ambedkar dan ia sangat kagum dan senang akan kecerdasan Bhimrao Ambavadekar sehingga kemudian mempersilakan Bhim untuk menggunakan nama keluarganya yaitu Ambedkar.

Sejak muda Ambedkar sangat suka membaca buku, meski pun miskin tapi ayahnya sangat mendukung kegemarannya membaca buku bahkan terkadang ayahnya sampai meminjam uang untuk membelikan Ambedkar buku. Keluarga ini tinggal di daerah termiskin, rumah mereka sangat sempit hanya terdiri dari satu ruangan dan segala aktivitas dilakukan disitu mulai memasak, tidur, belajar dan untuk kambing peliharaan.

Sejak sekolah dasar berbagai perlakuan diskriminasi dialaminya, salah satu yang paling  menyakitkan baginya adalah larangan untuk membaca Veda karena ia seorang Mahar, sebagai seorang India dia merasa sangat terhina karena anak-anak dari luar India saja diperbolehkan membacanya. Selain itu bila anak lain boleh duduk di kursi, anak-anak Dalit harus duduk di atas tikar dan itu pun harus membawa sendiri dari rumah, bahkan pernah saat Bhim disuruh menyelesaikan soal matematika di papan tulis anak-anak lain berteriak bahwa kotak bekal mereka ada di belakang papan sehingga mereka takut tercemar karena Bhim akan menyentuh papan tulis. Sehingga setelah semua anak mengambil kotak bekalnya barulah Bhim dapat menggunakan papan tulis, sementara guru matematikanya tidak sedikit pun merasa terusik menyaksikan ketidakadilan ini.

Setelah lulus dari sekolah menengah ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tinggi Elphistone dan memperoleh gelar B.A pada tahun 1912 dan kemudian ayahnya berkeinginan Ambedkar mencari kerja di Bombay, karena kondisi keuangannya sangat tidak memungkinkan untuk membiayai Ambedkar melanjutkan ke universitas. Adalah Keluskar, salah seorang guru Ambedkar di sekolah tinggi yang simpatik padanya dan kerap kali memberi buku-buku bermutu karena ia sangat menghargai kegemaran Ambedkar membaca buku, salah satu buku Buddhis pertama Ambedkar; Buddha-Charitra (Kisah Hidup Buddha) adalah pemberiannya.

Keluskar lah yang membantu Ambedkar untuk bertemu dengan Raja Sayaji Rao Gaekwad seorang raja di negara Baroda yang memiliki pandangan liberal yang akhirnya memberikan beasiswa kepada Ambedkar. Sebelum memberikan beasiswa, sang raja bertanya kepada Ambedkar karena ia menyatakan akan mempelajari banyak subyek. “Apa yang akan kamu lakukan setelah mempelajari semua itu?” Ambedkar menjawab “Setelah mempelajari semua itu, saya akan menemukan penyebab dari keadaan komunitas saya sehingga saya dapat melakukan reformasi sosial” Karena mengetahui potensi yang dimiliki Ambedkar, Raja Sayaji mengirim Ambedkar ke Universitas Colombia-Amerika untuk meneruskan pendidikannya.

Amerika yang liberal tidak mengenal untouchability hal ini sangat berkesan bagi Ambedkar, disini Ambedkar merasa diberlakukan secara sama dan ia bebas untuk belajar apapun, dan ia sempat mengutip Shakespear pada salah satu surat ke sahabatnya untuk mengungkapkan kebahagiaannya dapat belajar di Amerika “In the life of man now and again there is a swelling wave; if a man uses this opportunity, it will carry him towards his fortune”. Di negeri Paman Sam inilah ia menimba ilmu politik, etika, antropologi, ilmu sosial dan ekonomi dan akhirnya memperoleh gelar gelar M.A dan Ph.D, selanjutnya ia ingin menyelesaikan pendidikannya di bidang ekonomi di Inggris namun ditolak oleh pejabat pendidikan negara tapi di kemudian hari dikabulkan atas rekomendasi dari Raja Baroda.

Karena proposalnya tidak dikabulkan Ambedkar harus kembali ke India untuk mengabdi di pemerintahan Baroda sesuai janjinya sebelum menerima beasiswa, ia kembali ke India pada tahun 1917 sebagai seorang yang berpendidikan tertinggi di India masa itu. Namun India tetaplah India dengan sistem kastanya yang diskriminatif sebagaimana masa sebelum ia belajar ke Amerika, jadi meski Ambedkar menduduki jabatan penting di pemerintahan kerajaan Baroda namun ia tetap merasakan ketidakadilan. Bahkan pesuruh di kantornya pun tidak mau mengantarkan dokumen-dokumen yang Ambedkar perlukan secara langsung, tapi dengan cara melemparkan ke arahnya, tidak ada yang membawakannya air minum dan ia tidak diberi jatah tempat tinggal sebagaimana pegawai lain setingkatnya karena mereka tidak mau bertetangga dengan orang kasta rendahan.

Apalagi pegawai-pegawai lainnya semua memperlakukannya bagai biang penyakit, bahkan mereka yang non Hindu pun memperlakukannya dengan tidak semestinya. Sementara Raja tidak dapat melakukan apapun, karena tindakan diskriminatif ini bersumber dari agama, raja tidak bisa menentangnya secara langsung. Karena tidak mendapat tempat tinggal akhirnya Ambedkar menyewa sebuah wisma dengan menggunakan nama Persia, namun tidak bertahan lama karena orang-orang Persia pun tahu ia seorang Dalit dan mengusirnya dengan sangat tidak terhormat. Saat itu semua orang di Baroda tidak mau membantunya, sehingga akhirnya ia meninggalkan Baroda dan kembali ke Bombay dan berusaha mencari kerja namun tak satu pun perusahaan mau menerimanya karena ia seorang Dalit, demikian juga saat ia membuka usaha hingga akhirnya Sekolah Tinggi Sydenham Bombay membutuhkan seorang Profesor Ekonomi.

Sydenham adalah nama seorang bangsawan mantan gubernur Bombay yang cukup kenal dengan Ambedkar, demikianlah akhirnya Ambedkar mendapatkan pekerjaan. Setelah dua tahun, kembali ia melanjutkan pendidikan ke London dan Jerman sehingga akhirnya ia memiliki gelar M.A, Ph.D, D.Sc, menguasai bidang hukum, siap untuk beraksi, memasuki dunia politik dengan persiapan yang komprehensif bukan untuk kepentingan pribadi tapi kepentingan komunitasnya; kaum Dalit. Langkah pertamanya adalah membentuk organisasi bernama Bahishkrit Hitkarini Sabha (Komunitas untuk Kesejahteraan Kaum Tersisih) pada awalnya di wilayah Bombay, tujuannya adalah membangun asrama-asrama untuk mempromosikan dan menyebarkan pendidikan untuk kaum Dalit, membuat perpustakaan dan pusat pendidikan untuk pembangunan budaya dan mengkampanyekan penghapusan untouchability

    Usaha penghapusan untouchability dari dalam pemerintahan telah diawali Raja Baroda yang telah memberikan beasiswa kepada kaum Dalit yang berpotensi, sementara dari masyarakat sendiri terdapat Mahatma Phule dan isterinya yang mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan kaum Dalit. Mahatma Phule adalah seorang Sudra, ia bahkan rela diusir dari rumahnya karena sang ayah menganggap puteranya ikut tercemar karena berkumpul dengan kaum Dalit. DR. Ambedkar mendedikasikan salah satu bukunya; Who Were The Shudras kepada orang yang ia anggap guru ini.

 Usaha lain adalah dari anggota Dewan di Bombay, ia bernama Bole seorang reformis sosial yang mengajukan resolusi yang pada intinya menyatakan bahwa semua fasilitas umum negara seperti pengadilan, sekolah, rumah sakit, kantor, penginapan, sumur, tangki air dan sebagainya dapat digunakan oleh kaum Dalit. Resolusi ini disetujui namun pada pelaksanaannya kembali tertabrak hegemoni kaum Brahmin yang diuntungkan oleh sistem kasta ini, seperti di Kota Mahad di Maharashtra meski resolusi ini sudah ditetapkan tapi tetap kaum Dalit tidak diperbolehkan mengambil air di tangki umum, padahal kaum muslim dan bahkan ternak pun bebas minum di tangki tersebut.

Hal ini mengundang Ambedkar melakukan aksi di tangki air tersebut pada saat diadakannya Konferensi Kasta Tertindas di kota tersebut pada tahun 1927 yang diketuai oleh Ambedkar, sedang para peserta yang rata-rata aktivis dari kaum dalit ini tidak hanya datang dari negara bagian Maharashtra tapi bahkan dari Gujarat. Di akhir konferensi diadakanlah aksi yang melibatkan tak kurang dari 10.000 orang, aksi damai yang dipimpin Ambedkar berjalan lancar hingga mereka mencapai tangki air Chowdar dan kemudian dipimpin Ambedkar mereka mengambil air dengan telapak tangan dan meminumnya.

Namun kemudian dikalangan masyarakat Hindu tersebar isu bahwa kaum Dalit akan menduduki salah satu kuil mereka sehingga terjadilah kerusuhan, peristiwa ini dikenal dalam sejarah India sebagai “Chowdar Tank Case”. Namun bagaimana pun, tangki tersebut telah “tercemar” lalu bagaimana mereka “mensucikan” kembali? Setelah aksi ini, dengan dipimpin kaum brahmin tangki dikosongkan, kemudian ditaburi berbagai produk sapi seperti susu, dadih, mentega murni, urin dan kotoran sapi sembari para brahmin membacakan mantra, dan kemudian tangki dianggap suci kembali, Ironis!

Pada tahun yang sama juga terjadi aksi pembakaran kitab Manusmrti (Hukum Manu), sebuah kitab yang merupakan sumber dari semua aturan menyangkut kasta. Kitab ini mengatur siapa boleh makan dengan siapa, siapa boleh mengawini siapa, siapa boleh menyentuh siapa, juga memuat hukuman bagi yang melanggar, misal apabila seorang sudra yang menganggap mengajar kaum Brahmana adalah tugasnya harus dihukum dengan cara memasukkan minyak panas ke dalam mulut dan telinganya. Pembakaran kitab ini membuat guncangan besar terhadap kaum ortodok Hindu seluruh India dan merupakan simbol penolakan kaum Dalit terhadap kekuasaan dan kitab-kitab Hindu.

Aksi di tangki air Chowdar di Mahad merupakan simbol perlawanan awal yang penting, karenanya setelah konferensi di Mahad tersebut DR. Ambedkar mendirikan koran untuk memperkenalkan pemikiran-pemikirannya kepada masyarakat luas, namanya Excluded India dan isu pertama yang diangkat adalah “Chowdar Tank Case”. Kembali Ambedkar merencanakan untuk mengadakan aksi bersama-sama pengikutnya ke tangki air tersebut, namun karena alasan hukum dan keamanan para pengikutnya akhirnya dibatalkan namun secara jalur hukum Ambedkar terus memperjuangkannya dan akhirnya tahun 1937 Pengadilan Tinggi Bombay memenangkan kaum Dalit untuk dapat menggunakan tangki air tersebut. Sebuah kemenangan kecil di tengah perjuangan untuk menghapus untouchability, menuntut persamaan, kebebasan dan keadilan bagi semua, namun penting sebagai titik pijak awal perjuangan.

Berbagai gerakan dilakukan Ambedkar dan jutaan pengikutnya untuk menuntuk hak-hak mereka, gerakan massa, politik, hukum, bahkan gerakan diplomasi internasional. Karena sistem kasta di India telah menyebabkan mereka tidak memiliki hak ekonomi dan politik. Tak jarang Ambedkar harus berhadapan dengan Mahatma Gandhi yang memiliki cara pandang yang berbeda dalam hal untouchability ini. Gandhi adalah seorang berkasta yang mengklaim berdiri di atas semua golongan, namun kaum Dalit menyangkal hal ini dan kenyataan pun tidak berkata demikian. Gandhi setuju pada saat kaum Muslim, Kristen dan Sikh memiliki sistem pemilihan terpisah, hal ini sejalan dengan demokratisasi namun pada saat Ambedkar menuntut sistem pemilihan terpisah untuk Dalit pada tahun 1932, Gandhi melakukan gerakan penolakan dengan gerakan “Mogok Makan hingga Mati”-nya yang terkenal itu.

Ambedkar menjadi begitu dibenci di India kala itu karena Gandhi adalah seorang tokoh besar bagi India. Ambedkar dihadapkan pada pilihan membiarkan Gandhi mati sehingga dapat menimbulkan kerusuhan hebat di India antara penganut kasta Hindu dan kaum Dalit atau berkompromi, ia terpaksa memilih yang kedua karena tidak ingin terjadi pembantaian terhadap kaumnya. Hal ini semakin memperkuat keyakinan kaum Dalit bahwa yang dapat menjadi penyelamat mereka hanyalah seorang Dalit juga, sebab tanpa pernah merasakan betapa pahitnya kenyataan hidup sebagai kaum Untouchable maka mereka tidak akan mungkin dapat memahami secara utuh permasalahan ini.

Pada tahun 1935 Ambedkar membuat pernyataannya yang terkenal bahwa ia boleh lahir sebagai seorang Hindu tapi tidak akan mati sebagai Hindu, 12 tahun kemudian ia menjadi Menteri Hukum pertama paska kemerdekaan India namun setelah 4 tahun beliau mengundurkan diri dari kabinet. Sisa Hidupnya kemudian didedikasikan bagi pengembangan Buddhisme di India, hal ini diumumkannya pada tahun 1954 dan dua tahun kemudian pada sebuah upacara di Nagpur, Ambedkar menjadi seorang Buddhis yang diikuti ratusan ribu pendukungnya saat itu tepatnya tanggal 14 Oktober 1956.

Adalah U Chandramani, seorang bhikkhu senior yang menjadi pemimpin upacara saat Ambedkar menyatakan tiga perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Peristiwa ini adalah sebuah peristiwa besar yang begitu mengejutkan semua orang di India, bahkan bagi Buddhisme di India ini sangat berarti bagi kebangkitan Buddhis setelah ratusan tahun berusaha ditenggelamkan. Dengan menjadi Buddhis, Ambedkar berharap kaum Dalit merasakan pembebasan secara sosial, psikologi dan spiritual disamping kesadarannya yang tinggi bahwa Buddhisme pernah nyaris punah dari India dan kemudian bangkit kembali, ia tidak ingin Buddhisme punah kembali sehingga setelah ia menyatakan tiga perlindungan dan memohon lima sila dari Bhikkhu, selanjutnya ia membaca 22 sumpah yang ia buat bagi kaum Dalit kemudian mentahbiskan para pengikutnya.

Prosesinya berlangsung sebagai berikut, pengikut Ambedkar pertama-tama mengikuti upacara pentahbisan dengan menyatakan tri sarana dan panca sila kemudian setelahnya tahap kedua mereka menyatakan 22 sumpah untuk memperjelas dan benar-benar memisahkan Buddhis dari Hindu. Perlu dipahami, pada saat itu tertanam anggapan bahwa seorang Buddhis adalah juga seorang Hindu dan hal ini telah begitu mengakar di India, biasa dikatakan bahwa Hindu bagaikan samudra yang luas, Buddhisme hanyalah salah satu sungai kecilnya. Hal inilah yang berusaha dikikis oleh Ambedkar, sehingga para pengikutnya diharapkan benar-benar berusaha mempelajari ajaran Buddha bukan sekedar menyebut diri seorang Buddhis tapi tidak memahami ajaran yang sebenarnya. Akhirnya budaya pentahbisan ala Ambedkar ini menjadi upacara tahunan yang mereka sebut Dhammadiksa/Diksabumi. 

Sampai saat ini acara ini terus berlangsung sebagai acara tahunan dimana komunitas Dalit dari berbagai daerah berkumpul di vihara dimana Ambedkar ditahbiskan menjadi seorang Buddhis, di tengah-tengah Konferensi INEB para peserta diajak ikut berpartisipasi dalam acara ini meski dengan pengawalan ekstra ketat sebab di acara ini terlibat begitu banyak massa, ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang berkumpul dari seluruh India. Acara serupa juga diselenggarakan di wilayah-wilayah lain namun dengan jumlah massa yang tentunya tidak sebanyak di Maharashtra, sebab secara sosio-historis-politis memang merupakan wilayah Dalit.

Perjuangan Ambedkar bersama-sama komunitasnya adalah sebuah perjuangan yang panjang dan tidak mudah untuk merebut hak-hak mereka, perjuangan ini masih terus berlanjut hingga hari ini, terutama perjuangan untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai Buddhis. Ironisnya di tanah Buddha, mereka bahkan baru mulai membangun vihara-vihara sederhana dan tidak ada bhikkhu yang dapat memberikan dhamma pada mereka karena aturan manajemen vihara-vihara tua yang dikuasai kaum Brahmin.

Sebagaimana sub tema konferensi, salah satu tujuan dari konferensi INEB kali ini adalah untuk menyingkirkan halangan antara perjuangan Ambedkar dan komunitas Buddhis Internasional. Komunitas Buddhis di India membutuhkan dukungan yang cukup dari seluruh dunia untuk dapat berdiri tegak di India. Pengalaman historis mereka berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu sistem kasta dan trauma panjang akibat tindakan-tindakan yang sangat merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan yang telah mereka alami sebagai kaum Dalit, tingkat pendidikan yang rendah, kemiskinan dan lain sebagainya telah membentuk karakter yang eksplosif dalam diri mereka.

 Salah satu masalah mendasar yang dihadapi komunitas Dalit paska meninggalnya DR. Ambedkar 6 minggu setelah beliau menjadi Buddhis adalah kecenderungan penekanan yang salah pada perjuangan DR. Ambedkar, yang lebih banyak ditransformasikan kepada komunitas Dalit yang sebagian besar telah menjadi Buddhis ini adalah kritik Ambedkar terhadap sistem kasta Hindu dan mereka anggap hal ini sebagai Buddhisme. Hal ini juga mungkin terjadi akibat minimnya jumlah bhikkhu, namun di akhir konferensi beberapa pimpinan organisasi Buddhis dari kaum Dalit menyatakan bahwa mereka siap bekerja sama dengan para Lama dari Tibet untuk memberikan Buddha Dhamma yang sebenarnya kepada komunitas Buddhis di India. Sebuah tesis sederhana mungkin dapat kita renungkan bahwa Tibet mungkin memang harus meninggalkan kenyamanan tanah kelahirannya yang begitu kental akan spiritual untuk membangkitkan kembali Buddhisme di tanah Buddha melanjutkan perjuangan Ambedkar bersama-sama jutaan pengikutnya.

Eddy Setiawan, Ketua Umum PP HIKMAHBUDHI periode 2005-2007

Thursday, October 17, 2013

Setahun Karya Jokowi Ahok: Apa Kabar Pawang Geni?

Setahun sudah Jokowi dan Basuki memimpin DKI Jakarta, berbagai terobosan dan program pro rakyat telah dilaksanakan sebagaimana janji kampanye mereka tahun lalu. Persoalan kemacetan telah dijawab dengan dilanjutkannya proyek MRT dan Monorel serta penambahan armada Trans Jakarta, penataan terhadap beberapa lokasi pun telah dilakukan seperti Tanah Abang, Pasar Gembrong dan lain-lain. 

Banjir telah diantisipasi dengan revitalisasi beberapa waduk, perbaikan pintu air dan pembangunan sumur resapan di berbagai lokasi. Keberpihakan kepada masyarakat miskin pun telah ditunjukkan dengan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar, serta relokasi yang manusiawi dari warga yang digusur ke rusun-rusun yang telah disiapkan. Budaya Betawi kini diperkuat melalui berbagai festival hingga kewajiban menggunakan pakaian Betawi di hari Jumat bagi PNS di Pemprop DKI Jakarta.

Reformasi birokrasi telah dimulai dengan lelang jabatan untuk tingkat Camat dan Lurah dengan tujuan mendapatkan the right man in the right place, dan akan terus dievaluasi sehingga nantinya birokrasi yang melayani dapat terwujud. Sentuhan tahun pertama untuk keindahan kota DKI Jakarta adalah taman-taman yang lebih rimbun dan tertata, perbaikan dan pelebaran trotoar, pengurangan billboard di lokasi-lokasi yang tidak seharusnya, pengecetan tembok-tembok fly over dan sebagainya.

Setahun bukanlah waktu yang panjang untuk merealisasikan berbagai program, sehingga keberhasilan Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2012-2017 ini patut diapresiasi, dan perlu didukung dengan masukan konstruktif terhadap hal-hal yang masih belum atau terlambat terealisir, salah satunya adalah menyangkut persoalan kebakaran yang kerap melanda perkampungan-perkampungan di Ibu Kota tercinta ini.
Jokowi pernah mencanangkan Pawang Geni sebagai salah satu solusi penanggulangan bahaya kebakaran di kampung-kampung dengan akses yang sempit. Dengan ukurannya yang kecil, Pawang Geni diharapkan mampu menjangkau dengan cepat pusat kebakaran meskipun berada di gang yang sempit, oleh karena itu rencananya pemadam kebakaran mini ini akan dibagikan ke setiap pemukiman padat penduduk di DKI Jakarta.

Namun hingga saat ini kita belum mendengar atau menyaksikan bagaimana aksi Pawang Geni dalam beberapa kebakaran yang terjadi akhir-akhir ini. Kebakaran di Jakarta adalah musibah yang berulang dari tahun ke tahun, padatnya penduduk di beberapa wilayah dan instalasi listrik yang semrawut adalah pangkalnya sedangkan ujungnya adalah kondisi hidran yang tidak laik.  Jadi proses pencegahan harus melibatkan PLN untuk menertibkan sambungan ilegal dan merapikan serta merevitalisasi seluruh jaringan kabelnya, bahkan jika mungkin kelak seluruh instalasi listrik ditempatkan di bawah tanah. Meski membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tapi tentu hal tersebut tidak seberapa dibanding penderitaan ribuan warga korban kebakaran secara kuantitatif maupun kualitatif.

Jika kita simak dengan baik, hampir di setiap kebakaran yang terjadi di DKI Jakarta muncul keluhan soal hidran yang tidak berfungsi, penyebab sesungguhnya bukanlah hidran yang rusak tapi sumber air yang tidak memadai karena masih mengandalkan PDAM, padahal tekanan airnya bisa kita rasakan sendiri di rumah yaitu sangat lemah dan sering mati. Jadi cukup aneh apabila DKI Jakarta sampai saat ini masih mengandalkan sumber air dari PDAM untuk keperluan hidran. 

Alternatifnya adalah penggunaan sumber air tersendiri untuk hidran, penambahan jumlah hidran kering agar selang petugas Damkar dapat mencapai daerah dengan akses jalan yang sempit, penambahan jumlah tendon dan tangki air untuk Damkar, serta solusi berupa unit Pawang Geni (motor pemadam) yang dapat bergerak lebih cepat di pemukiman padat penduduk sebagaimana pernah dicanangkan Jokowi di awal masa menjabatnya juga merupakan salah satu solusi yang baik. Sayang pemberitaan tentang distribusi dan tingkat efektivitas Pawang Geni tidak segencar wacana awalnya.

Motor pemadam ini seharusnya diprioritaskan untuk daerah rawan kebakaran dan didistribusikan kepada RT-RW dengan jumlah yang proporsional sesuai kepadatan penduduknya. Selain itu DKI Jakarta juga perlu menambah jumlah petugas Pemadam Kebakaran yang saat ini hanya memiliki sekitar 3.100 petugas itupun separuhnya adalah pegawai tidak tetap dan tidak seluruhnya merupakan petugas lapangan.

Idealnya per 10.000 penduduk terdapat minimal 1 unit mobil pemadam kebakaran lengkap dengan 6 petugas, maka dengan jumlah penduduk DKI Jakarta 9.600.000 orang saat ini seharusnya Ibu Kota RI ini memiliki minimal 960 unit mobil pemadam kebakaran yang dilengkapi 5.760 petugas pemadam kebakaran lapangan. Jadi memang kondisi saat ini masih sangat jauh dari ideal, apalagi penggunaan tenaga tidak tetap yang tentu akan berkorelasi pada kinerja dan moral petugas.

Pemprop DKI Jakarta juga seharusnya menganggarkan lebih banyak porsi untuk penyediaan dan perawatan APAR di setia RT, khususnya di daerah yang sudah diidentifikasi rawan kebakaran dan melakukan penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat di daerah tersebut mengenai upaya-upaya pencegahan dan apa yang harus dilakukan saat kebakaran terjadi sehingga dapat membantu kerja-kerja petugas pemadam kebakaran.

Edukasi tentang bahaya instalasi listrik ilegal, penggunaan listrik yang aman, penggunaan kompor yang aman dan tindakan awal saat kebakaran terjadi seperti menghubungi petugas, tidak menumpuk barang-barang di jalan menuju lokasi kebakaran atau tidak berkerumun di sepanjang jalan menuju lokasi kebakaran adalah hal-hal yang harus ditanamkan kepada warga yang tinggal di daerah padat penduduk, bahkan dapat diintegrasikan dalam pelajaran di sekolah sehingga anak-anak di daerah rawan kebakaran akan memiliki kesadaran yang lebih mengenai pencegahan bahaya kebakaran dan apa yang harus dilakukan saat kebakaran terjadi.


Eddy Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia

Wednesday, September 25, 2013

Bakar Tongkang, Tradisi Tua dari Bagan Siapi-api



 Malam itu asap dupa dengan wewangiannya yang khas merebak penuh mistis di sekitar anjungan Provinsi Riau Taman Mini Indonesia Indah (TMII), asap itu bersumber dari ribuan suku tionghoa yang sebagian besar adalah masyarakat Bagan Siapi-api yang ada di Jakarta dan sekitarnya yang sedang melakukan sebuah ritual turun temurun bernama Bakar Tongkang. Acara ini digelar oleh masyarakat tionghoa dari Kabupaten Rokan Ilir.

Bakar Tongkang adalah sebuah tradisi suku tionghoa yang sempat dilarang di masa kekuasaan Orde Baru, namun tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh masyarakat tionghoa di Bagan Siapi-api pada saat itu. Ritual yang berakar dari tradisi bahari para leluhur orang tionghoa di Bagan ini, telah dilakukan sejak 128 tahun yang lalu dan tetap dilestarikan hingga kini. Masyarakat Bagan percaya bahwa ritual ini akan membuat laut senantiasa memberikan berkahnya bagi masyarakat Bagan yang menggantungkan diri pada hasil laut.

Tongkang yang dimaksud adalah sebuah perahu yang dibuat dengan ukuran sesuai petunjuk dewa, sedang desainnya konon merupakan bentuk tongkang yang digunakan warga tionghoa awal yang berlayar dari Desa Songkla-Thailand dan mendarat di Bagan pada tahun 1826. Ritual di TMII ini sebenarnya sekaligus merupakan agenda wisata pemerintah Riau, untuk lebih memperkenalkan tradisi Bakar Tongkang yang memang telah ditempatkan menjadi salah satu agenda wisata andalan provinsi ini. Warga Tionghoa dan pemerintah Riau mempunyai ambisi membawa tradisi Bakar Tongkang go internasional. Sebuah ambisi yang cukup beralasan, sebab selama ini di Bagan sendiri, tradisi ini telah menyedot perhatian wisatawan domestik maupun manca negara.

Pada perayaan terakhir, wisatawan dari Cina, Hongkong, Singapura dan Australia pun datang ke Bagan untuk menyaksikan secara langsung tradisi unik ini. Untuk perayaan di TMII, menurut Jhoni, salah seorang panitia penyelenggara, ukuran yang digunakan adalah 8 x 3.2 m dan untuk melengkapi upacara ini dilibatkan 12 orang yang trans atau kemasukan dewa-dewa tertentu. Kedua belas orang yang disebut Luk Thong inilah yang mengawal selama perjalanan arak-arakan tongkang. Penyelenggara,

Prosesi
Upacara Bakar Tongkang di TMII diawali dengan proses mengundang para dewa agar memasuki raga para Luk Thong. Orang-orang terpilih ini, melakukan sejumlah ritual dengan diiringi tetabuhan yang berbunyi sangat nyaring. Suasana menjadi sedemikian mistis, diantara asap dupa yang semakin pekat dan tetabuhan yang riuh rendah, sorak sorai umat membahana pada saat satu persatu Luk Thong mengalami trans yang ditandai gerakan kepala yang menggeleng-geleng dengan sangat cepat, dan mulai memukul-mukulkan sejenis bola besi yang tajam ke tubuhnya.

Suasana makin meriah tat kala, salah satu Luk Thong membuat Hu yang kemudian menjadi rebutan umat. Para Luk Thong yang pipinya ditusuk dengan paku ini, kemudian satu persatu digiring oleh serombongan penabuh dan pengiringnya untuk memberkati altar-altar yang ada. Umat yang berada di sekitar altar dengan penuh kesungguhan tampak mengacung-acungkan dupa dan mengucapkan permohonan, sementara para Luk Thong tampak seolah-olah sedang berkomunikasi dengan dewa di altar-altar tersebut. Setiap Luk Thong mewakili karakteristik dewa tertentu, ada yang membawa pedang dan juga gada berduri.

Setelah semua Luk Thong melakukan ritual di setiap altar, kemudian mereka diarahkan menuju Tongkang dan semuanya melakukan ritual di depan tongkang. Umat mulai berbaris di sepanjang jalan, dengan dupa di tangan bersiap-siap mengikuti arak-arakan menuju panggung utama dimana Tongkang akan di bakar di depan tamu undangan yang terdiri dari pemerintah Riau dan beberapa duta besar serta masyarakat umum. Dari Anjungan Riau, tongkang yang diangkat puluhan orang mulai diarak, pada posisi terdepan adalah beberapa replika dewa dari kertas yang rata-rata menunggang kuda, kemudian barulah tongkang dan dibelakangnya dengan dupa ditangan ribuan umat dengan khusyuk mengikuti, sementara di kanan kiri tampak masyarakat umum turut menyaksikan.

Lampion-lampion yang di pasang sepanjang jalan menuju panggung utama menambah semarak suasana. Setelah tiba di panggung utama, acara dilanjutkan dengan mendengarkan sambutan dari pemerintah Riau yang diwakili kepala dinas pariwisata Propinsi Riau karena Gubernur Riau tidak dapat hadir. Sementara diantara undangan, tampak hadir Bupati Rokan Ilir,  anggota DPD Riau, duta besar perancis dan RRC.

Sorak sorai umat yang mengiringi prosesi persiapan pembakaran Tongkang menenggelamkan pengeras suara, sehingga seolah tak menghiraukan acara sambutan. Setelah sambutan selesai segera panitia, tokoh Tionghoa Bagan Siapi-api dan Bupati Rokan Ilir didaulat menuju panggung untuk menekan tombol kembang api yang memancar seperti air mancur di kanan kiri tongkang. Selanjutnya mereka juga melakukan penyulutan api untuk membakar tongkang. Segera saja api melalap tongkang yang terbuat dari kertas dari triplek beserta ornamennya yang khas tersebut. Masyarakat yang memegang dupa tampak semakin khusyuk memanjatkan permohonannya selama tongkang terbakar.

Uniknya, arah jatuh tiang tongkang adalah hal yang paling di nanti-nantikan, sehingga begitu tiang tongkang jatuh seluruh umat bersorak gembira. Menurut beberapa tokoh yang ditemui di lokasi, arah jatuh tersebut menandakan dimana rejeki akan melimpah, jika jatuhnya ke arah laut berarti usaha yang berkaitan dengan lautan rejekinya akan melimpah dan sebaliknya apabila ke arah darat, maka usaha-usaha di darat lah yang akan memberi rejeki berlimpah.    

Asal Mula Tradisi Bakar Tongkang

Dari penuturan beberapa orang panitia Bakar Tongkang di TMII ini, ritual masyarakat tionghoa Bagan ini sudah dimulai ketika 18 orang warga Tionghoa bermarga Ang, mendarat pertama kali di tanah Bagan pada 1826 Masehi. Pelayaran 18 orang yang berasal dari Cina namun sempat mendarat di Thailand sebelum akhirnya menyeberang ke Bagan ini, menggunakan tiga kapal kayu yang disebut wang kang atau tongkang. Satu diantara mereka adalah seorang perempuan. Leluhur masyarakat Tionghoa Bagan ini berasal dari Cina yang sempat bermigrasi ke Desa Songkla di Thailand pada 1825 Masehi. Mereka adalah, Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui.
Di Thailand mereka tidak menetap terlalu lama karena kondisi disana tidak aman. Akhirnya, para imigran ini kembali berlayar dengan menggunakan tiga kapal mencari daerah yang lebih aman. Hanya satu dari ketiga tongkang tersebut yang selamat pada saat mendarat di Bagan. Satu tongkang yang selamat ini dipercaya membawa patung Dewa Tai Sun di haluan dan Dewa Ki Ong Ya di rumah kapal. Merekalah yang menjadi penduduk awal di Bagan dan menggantungkan hidup sebagai nelayan, dan setelah berkembang mereka membangun bang liu atau gudang penampungan ikan.
Beberapa waktu setelah menetap dimulailah tradisi Bakar Tongkang, yang menurut Bapak Santosa salah seorang panitia, diadakan untuk mengucap syukur dan memohon rejeki serta kebulatan tekad untuk tetap bertahan di daerah perantauan. Sehingga mereka membakar semua benda-benda yang dibawa pada saat pertama kali mendarat, termasuk tongkang yang ditumpangi. Dari sinilah kemudian berkembang tradisi Bakar Tongkang yang masih dilakukan oleh keturunan mereka pada saat ini.
Meski sempat bernasib sama sebagaimana tradisi tionghoa lainnya pada masa orde baru, ritual bakar tongkang ini sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid dilakukan secara teratur dan terbuka setiap tahun. Bagan Siapi-api, sebuah kota yang sangat lekat dengan Bandar ikan ini pada masa keemasannya pernah menjadi penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Namun, akibat salah urus, maraknya penggunaan pukat harimau dan tidak pro aktifnya pemerintah pada masa lalu membangun Bagan Siapi-api secara berkesinambungan,
Bagan saat ini tidak lagi diperhitungkan sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia. Entah bagaimana perasaan 18 orang perintis tersebut melihat kondisi ini, yang pasti tradisi bakar tongkang sekarang telah menjadi salah satu agenda wisata andalan Pemprov Riau maupun Kabupaten Rokan Ilir, layaknya berbagai peninggalan nenek moyang dari masa lalu, seperti juga candi-candi dan benda peninggalan sejarah lainnya, tradisi tua ini memang dapat dimanfaatkan untuk menambah pundi-pundi daerah.
Namun satu hal yang harus benar-benar diperhatikan adalah bagaimana berlaku seimbang dan mengelola secara cerdas, sehingga ada keseimbangan antara usaha melestarikan dan pemanfaatannya sebagai obyek wisata. Selain hal tersebut, satu pertanyaan yang perlu dijawab oleh suku Tionghoa di Bagan adalah apakah sudah ada transformasi nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini dari kaum yang lebih tua kepada kaum muda Tionghoa disana? Sebab tanpa hal tersebut, sebuah tradisi hanya akan menjadi ritual tanpa makna yang membingungkan dan akhirnya ditinggalkan oleh generasi yang lebih muda.
Semoga ritual Bakar Tongkang ini tidak bernasib demikian, tidak menjadi tradisi yang kering, tapi menjadi tradisi yang sarat nilai, yang dapat dipahami dan dihayati tidak hanya bagi suku Tionghoa tapi juga anak bangsa lainnya. Nilai-nilai yang dapat dipelajari dari leluhur yang memulai tradisi ini antara lain, keberanian, keuletan berusaha, memiliki rasa syukur terhadap apa yang diberikan alam dan menghargai kepercayaan leluhur. Sesuatu yang mungkin tidak lagi dimiliki oleh kaum muda tionghoa saat ini, yang telah hanyut dan tersesat di dunia materialisme.
Alih-alih menghargai tradisi leluhur, saat ini kaum muda tionghoa telah banyak yang tercerabut dari akar budayanya sendiri, entah karena kepungan dunia materi maupun ideologi keagamaan yang tidak ramah terhadap budaya. Sehingga dapat kita saksikan saat ini, kaum muda yang hedon dan merasa modern padahal sejatinya bersandar penuh kegamangan pada tradisi yang sebenarnya asing bagi dirinya. Segelintir kaum muda yang masih berusaha mengenali dan memahami tradisi leluhurnya, semoga memiliki kekuatan dan kebulatan tekad sebagaimana nenek moyangnya dahulu untuk tidak hanyut dan ditaklukkan oleh mainstream. Sehingga tradisi akan memberikan manfaat yang jauh lebih berharga daripada sekedar materi. 

Eddy Setiawan, Maret 2006