Pendataan di kampung-kampung DKI Jakarta, 2008 |
UU No. 12 tahun 2006 telah menjadi suatu tonggak penting dalam kewarganegaraan RI. Berbagai kasus dan peraturan yang telah menyebabkan kaburnya
identitas kewarganegaraan seseorang atau sekelompok orang seharusnya segera
dapat diselesaikan setelah terbitnya UU tersebut diatas.
Namun, pemahamam
aparat birokrasi di tingkat menengah ke bawah ternyata masih dipenuhi dengan
pemahaman dan prasangka mengenai kewarganegaraan yang tidak sejalan dengan UU
kewarganegaraan yang baru. Bahkan kecenderungan mendiskriminasi etnis tertentu
masih terus dipelihara, dengan motif mendapatkan keuntungan materi dari korban
yang dipersulit. Oleh karena itulah, kemudian muncul kegiatan pendataan
terhadap para pemukim keturunan India, Arab, Tionghoa, dan lain-lain yang
status kewarganegaraannya tidak jelas (stateless) untuk ditegaskan oleh
Menteri Hukum dan HAM bahwa mereka adalah WNI sehingga selanjutnya harus diperlakukan
secara setara di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana amanat konstitusi.
Kegiatan pendataan, apabila dibicarakan dalam tataran wacana dan konsep
seolah menjadi suatu kegiatan yang sangat mudah, padahal di lapangan tidak
demikian adanya. Kesulitan muncul justru karena target pendataan adalah
orang-orang yang tidak memiliki dokumen sama sekali, sehingga keberadaan mereka
juga menjadi misteri tersendiri di tengah-tengah lautan manusia yang memiliki
dokumen. Kendala kedua adalah, karena merasa tidak “resmi” para pemukim tanpa
dokumen ini cenderung menghindar dan tertutup mengenai hal tersebut kepada
orang baru, apalagi terhadap pegawai pemerintah. Kendala ketiga adalah, pada
umumnya mereka tinggal di tempat-tempat yang terisolir, berpendidikan rendah,
dan tingkat ekonominya lemah sehingga akses informasi pun sangat terbatas
sehingga usaha sosialisasi standar tidak dapat menjangkau mereka. Jadi, mencari
para pemukim tidak berdokumen sama sekali ini, bagai menjadi seorang arkeolog
mencari jejak manusia purba.
Penemuan jejak-jejak purba di bidang arkeologi sebagian besar berasal dari
temuan yang tidak terduga yang ditindaklanjuti oleh para arkeolog, dan pada
satu lokasi temuan maka pencarian diperluas dari lokasi temuan pertama. Pada
kegiatan pendataan, lokasi pencarian memang bisa dilokalisir pada
kantung-kantung Tionghoa di suatu daerah, tapi itupun masih tidak membantu
karena berbeda dengan jejak-jejak purba yang tidak bergerak, obyek pada
pendataan adalah manusia yang lebih banyak merasa bahwa masalah kepemilikan
dokumen-dokumen tersebut adalah masalah privat yang sensitif. Diperlukan metode
yang tepat untuk dapat membuka tabir ketakutan panjang yang terjadi akibat
diskriminasi parah yang dialami lebih dari tiga dasawarsa.
Sebenarnya langkah untuk menyelesaikan masalah ini telah dilakukan dua kali,
yakni pada yakni di era 80-an dan 90-an dengan metode “pemutihannya.” Hanya
saja pada kedua kesempatan tersebut, sikap pemerintahan orba yang koruptif,
kolutif dan nepotis tetap melanggengkan diskriminasi untuk menangguk keuntungan
bagi kelompok penguasa saat itu, sehingga masalah kewarganegaraan belum
terselesaikan sepenuhnya. Meski demikian tetap kedua kesempatan tersebut
merupakan gelombang penyelesaian masalah pemukim tidak berdokumen, meski kalau
dipandang dari kaca mata hari ini metodenya terlihat kurang tepat. Dengan
adanya dua gelombang penyelesaian masalah kewarganegaraan di atas, apa yang
dilakukan hari ini adalah menyusuri sisa-sisa dari pemukim tionghoa tanpa
dokumen yang tidak terselesaikan dalam dua kali gelombang penyelesaian
sebelumnya.
Hidup tanpa dokumen sama sekali di jaman modern ini, adalah bagaikan kutukan
yang sangat mengerikan bagi para pemukim. Anak-anak tak bisa sekolah tanpa akta
kelahiran, status perkawinan tidak pernah jelas karena tidak bisa mengurus
perkawinan tanpa KTP, mengurus KTP diminta membuktikan kewarganegaraan, malah
terkadang mereka diberikan surat-surat seolah-olah mereka adalah WNA. Tanpa
dokumen berarti tertutupnya lapangan pekerjaan yang layak, tanpa dokumen berarti
masa depan yang suram dan penuh penderitaan.
Dari kondisi ini, tentu kita tidak bisa kemudian hanya berbicara
seolah-olah mereka adalah angka-angka statistik yang dapat dibaca tanpa perasaan.
Mereka adalah saudara kita yang hidup, berhasil menemukan 1 orang pemukim tanpa
dokumen berarti kesempatan memberikan masa depan yang lebih baik kepada 1 orang
manusia. Manusia yang telah turun temurun merasakan derita akibat
ketidakjelasan status kewarganegaraan yang berujung pada ketiadaan dokumen sama
sekali.
Jadi dalam kegiatan pendataan, jumlah besar tentu akan menggembirakan namun
seberapa besar sisa-sisa pemukim tidak berdokumen di Indonesia? Tidak satu
mahluk pun dapat memastikannya. Karena itu, jumlah sebenarnya bukanlah ukuran
dalam kegiatan semacam ini. Bisa jadi di suatu kota korban yang masih tersisa
ada 5 orang, bagaimana mungkin dipaksakan menjadi 5.000 orang demi memenuhi
selera kita sebagai aktivis yang ingin membantu? Maka timbul pertanyaan, pendataan
ini sebenarnya untuk kepentingan siapa? Memuaskan para pegiat, pejabat dan para
funding dengan angka-angka yang besar atau menyelamatkan orang per orang
demi para korban itu sendiri?
Para pegiat sosial dan pekerja kemanusiaan acap terjebak oleh angka-angka
besar yang tentu memukau sebagai sebuah hasil kerja, tapi jangan lupa bahwa
yang sedang dibicarakan disini adalah manusia, bukan sekedar angka. Analogi
yang tepat mungkin adalah usaha tim penyelamat pada saat gempa di Sechuan
terhadap para korban yang terjebak di reruntuhan gedung-gedung besar. Tim penyelamat,
dengan bantuan anjing pelacak, berbagai alat berat yang harganya mahal serta
biaya operasional yang besar dan segala cara tetap berusaha melakukan
penyelamatan meski awalnya mereka tentu tidak tahu berapa orang yang masih
hidup di antara reruntuhan tersebut? Alat berat dan tenaga manusia harus tetap dikerahkan,
meski ternyata hanya ada 1 orang yang selamat.
1 orang menjadi penting karena yang diselamatkan adalah sebuah kehidupan,
kehidupan seorang manusia yang sedemikian berharganya. Jadi dalam aktivitas pendataan,
menemukan “hanya” 1 orang adalah sebuah hasil perjuangan yang harus dihargai
dengan layak, karena yang dibicarakan adalah nasib seorang manusia, bukan
sekedar angka tak bernyawa dan tak berperasaan. Bagaikan artefak purbakala yang
penting untuk ilmu pengetahuan, demikianlah ia harus digali, dengan super
hati-hati, dan ketelitian penuh, tiap inchinya bahkan harus ditiup dengan
tekanan angin tertentu, kemudian dengan hati-hati disapu menggunakan kuas, agar
tidak rusak oleh gesekan yang keras.
Demikian juga dalam hal pendataan pemukim, kompleksitas sejarah sosial
politik yang melatarbelakangi munculnya para pemukim tionghoa yang tidak
berdokumen sama sekali ini, membuat para pemukim tersebut bagaikan jejak purbakala
yang tertimbun oleh berbagai material sejalan berlalunya sang waktu. Ia menjadi
rapuh dan rentan terhadap berbagai alat yang mungkin digunakan untuk menemukannya.
Dibutuhkan kerja keras, kesabaran, dan ketelitian ekstra serta seni dalam
memaikan “kuas” yang sedemikian lembut untuk mengikis berbagai material keras
yang menutupinya, sehingga akhirnya semua dapat ditemukan dalam kondisi seutuh
mungkin.
Selain misi memberikan masa depan yang lebih baik dengan kepemilikan
dokumen, hal terpenting yang tidak boleh dikesampingkan adalah proses
pendidikan terhadap masyarakat untuk membangun kesetaraan dan senantiasa berani
menegakkan kebenaran dan keadilan serta perlawanan terhadap diskriminasi selama
proses pencarian pemukim berlangsung. Proses pendidikan ini menjadi penting
agar masalah serupa tidak akan pernah terjadi lagi di masa depan, dan
meningkatkan partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam memperbaiki kondisi
pemerintahan di tengah-tengah alam demokrasi.
UU No. 12 tahun 2006 membuka kesempatan untuk menuntaskan masalah kewarganegaraan
di Indonesia, khususnya bagi para pemukim yang telah turun temurun di Indonesia.
Mereka sebenarnya adalah WNI sejak dahulu, hanya saja mengalami kesialan akibat
administrasi pemerintahan di masa lalu yang penuh kebingungan. Mudah-mudahan kali
ini benar-benar menjadi misi terakhir untuk menuntaskan masalah kewarganegaraan
RI, misi untuk menyelamatkan para pemukim tidak berdokumen yang masih tersisa.
Jakarta, Maret 2008.