Pelayanan publik profesional adalah dambaan semua warga |
Tentu kita semua menyambut baik dan memberikan apresiasi
tertinggi terhadap langkah-langkah perbaikan nyata yang telah dilakukan gubernur
dan wakil gubernur, mulai dari lelang jabatan hingga sidak-sidak ke tingkat
kecamatan dan kelurahan yang hasilnya sudah bisa dirasakan masyarakat saat ini
dengan membaiknya pelayanan di kelurahan.
Namun apabila ingin terjadi akselerasi reformasi birokrasi
di DKI Jakarta, seharusnya tidak hanya gubernur yang melakukan blusukan dan
sidak, tetapi juga anggota DPRD dalam rangka menyerap aspirasi warga dan
melakukan fungsi pengawasan. DKI Jakarta memiliki 44 Kecamatan dan 256
Kelurahan, kalau cuma mengandalkan
seorang gubernur untuk sidak tentu tidak akan memadai, sementara per tahun 2014 nanti jumlah DPRD DKI Jakarta
adalah sebanyak 106 orang, jika separuhnya saja juga rajin blusukan maka logikanya
aparat di tingkat pelaksana akan semakin tertib dan terarah melakukan
reformasi.
Pelayanan publik yang baik tentu memenuhi asas kepastian,
keterjangkauan, dan tidak diskriminatif, apalagi semenjak reformasi 1998 sudah
terbit berbagai produk perundangan mulai UU HAM, UU Kewarganegaraan, UU Adminduk, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnis hingga UU Pelayanan Publik yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip
kesetaraan tanpa diskriminasi. Namun perlu kiranya senantiasa kita ingatkan
agar petugas pelaksana maupun masyarakat harus mendukung dalam implementasinya.
Jangan sampai aturan bagus implementasinya gabus, misal untuk pencatatan
perkawinan, jangan sampai masih dibedakan lagi antara Tionghoa dan yang lain
tempat pelayanannya, yang satu di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sementara
yang lain di Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebagaimana yang selama
ini masih dipraktikkan di DKI Jakarta.
Praktik seperti itu bersandar pada Pergub Nomor 35 Tahun 2007
yang memang masih membeda-bedakan pelayanan berdasarkan golongan sebagaimana pembagian
penduduk Hindia Belanda di jaman kolonial (staatblad), dimana untuk golongan
Eropa dan Tionghoa dilayani di Dinas (Propinsi) sedangkan Pribumi di Suku Dinas
(Kabupaten/Kota). Namun Pergub yang diskriminatif tersebut sudah diubah dengan
Pergub Nomor 93 Tahun 2012, sehingga tidak boleh ada lagi perbedaan tempat
pelayanan seperti itu. Implementasinya tentu membutuhkan pengawasan dan
ketegasan sikap masyarakat, kita semua harus berani berkat tidak pada sikap dan
perlakuan diskriminatif.
Perubahan ke arah yang positif sedang berlangsung di DKI
Jakarta, namun sangat tidak adil jika kita bebankan seluruh tanggung jawab
perubahan itu ke satu atau dua orang saja, kita semua harus berpartisipasi jika
merasa perubahan itu perlu dan penting. Petugas pelayanan publik harus berubah
sesuai semangat jaman, demikian juga masyarakat. Jangan lagi permisif terhadap
pungli, diskriminasi dan ketidakprofesionalan petugas pelayanan publik. Namun
Pemprov DKI Jakarta juga perlu memikirkan adanya “insentif” khusus bagi PNS
yang bertugas di bidang pelayanan publik sehingga seimbang reward and punishmentnya.
UU Pelayanan Publik juga mengamanatkan, agar pelayanan publik itu selain profesional juga terjangkau dalam artian lokasinya dekat
dengan masyarakat. Pemprov DKI Jakarta sesungguhnya dapat membentuk Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) misalnya, sebagaimana diatur dalam UU Administrasi
Kependudukan di seluruh kecamatan di DKI Jakarta, sehingga akan mengefisienkan
banyak hal termasuk mengurangi kemacetan. Jadi penduduk cukup mengurus akta
kelahiran, KTP, KK, Akta Pernikahan dan lain-lain di kelurahan, kelurahanlah
yang memproses secara administratif, selanjutnya warga tinggal mengambil
hasilnya di kelurahan. Inilah bentuk stelsel aktif negara dalam pelayanan
administrasi kependudukan dan catatan sipil. Inilah salah satu wujud Jakarta
yang modern dan bermartabat yang pasti bisa direalisasikan sepanjang kita semua
mau menjadi energi positif bagi Jakarta Baru.
negeri ini butuh orang yg berani, jujur, tegas dan mau bekerja..., negeri ini sangat kaya begitupun dgn jakarta kota besar yg seharusnya sangat kuat sayangnya masih dikelola oleh orang2 sakit jiwa yg berhalusinasi pada kepuasan duniawi tanpa batas..., mampukah energi positif mempengaruhi endapan lumpur yg sudh menghitam disepanjang kali yg mengelilingi jakarta raya ini....?
ReplyDelete