Administrasi
Kependudukan merupakan sesuatu yang vital bagi suatu bangsa karena data-data
kependudukan yang valid akan sangat menentukan dalam mengambil berbagai
kebijakan, dari pembangunan, pendidikan, kesehatan hingga pertahanan dan
keamanan. Indonesia baru memiliki UU Administrasi Kependudukan tahun 2006,
yakni UU Nomor 23 Tahun 2006 yang dalam perjalanannya ternyata memang
membutuhkan perubahan sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Penyesuaian
pertama terjadi melalui judicial review
di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ketentuan sidang di pengadilan
bagi penduduk yang terlambat melaporkan kelahiran melebihi batas waktu satu
tahun. Sedangkan perubahan kedua baru saja disahkan 26 November 2013 lalu oleh DPR
RI. Perubahan yang terjadi sebagian besar tampaknya sudah memenuhi tuntutan
masyarakat dan memberi arah yang positif menuju tertib adminduk di Indonesia.
Adapun 8 perubahan
positif tersebut yakni pertama perubahan stelsel aktif dari penduduk ke negara,
sehingga dokumen kependudukan dimaknai sebagai hak penduduk dan kewajiban
negara. Jadi negara yang wajib bekerja serius agar semua penduduk memiliki
dokumen kependudukan, bukan sebaliknya. Kedua, perubahan asas dalam pengurusan
akta kelahiran dari asas peristiwa menjadi asas peristiwa yang dapat dilayani
di domisili, sehingga pendatang ber-KTP DKI Jakarta tapi belum memiliki akta
kelahiran misalnya, dapat mengurusnya di domisilinya meski lahir di luar Propinsi
DKI Jakarta, tempat lahirnya tetap tercatat sesuai dimana peristiwa terjadi. Ketentuan
ini adalah kunci penyelesaian kasus-kasus pendatang di kota besar yang pada
umumnya tidak memiliki akta kelahiran dan kesulitan apabila diwajibkan mengurus
akta kelahiran ke daerah asalnya sebagaimana ketentuan lama yang masih
menggunakan asas peristiwa secara murni.
Ketiga,
pemberlakuan KTP Elektoronik seumur hidup bagi WNI dan sesuai ijin tinggal bagi
WNA, termasuk KTP-el yang sudah diterbitkan sebelum perubahan UU. Hal ini akan
meringankan bagi rakyat yang selama ini setiap 5 tahun harus menyiapkan
anggaran dan waktu untuk mengurus perpanjangan KTP. Di sisi pemerintah hal ini
akan mengurangi beban anggaran dan pekerjaan terutama di kelurahan, sehingga
tentu diharapkan energi yang ada dapat dialihkan untuk pekerjaan produktif lainnya.
Keempat,
perluasan kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam hal Administrasi Kependudukan
menjadi lintas daerah dan vertikal hingga ke tingkat kabupaten/kota, yang
diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi menuju tertib adminduk.
Hal ini juga mempermudah pengawasan, fasilitasi, pembinaan, pemantauan, evaluasi
dan standarisasi syarat, prosedur seluruh administrasi kependudukan serta
penyediaan blangko KTP Elektronik dan dokumen kependudukan lainnya di seluruh
wilayah Indonesia oleh Kemdagri.
Kelima, penggratisan
biaya pengurusan dan penerbitan seluruh dokumen kependudukan seperti Akta
Kelahiran, KTP, KK, Akta Kematian dan lain-lain. Seluruh biaya untuk urusan
administrasi kependudukan akan ditanggung APBN yang disalurkan ke pemerintah
daerah melalui mekanisme Dana Dekonsentrasi dan Dana Pembantuan.
Keenam,
seluruh peraturan pelaksana UU Adminduk yang semula di level Peraturan
Pemerintah diturunkan ke level Peraturan Menteri sehingga logikanya akan lebih
cepat dan mudah untuk segera melengkapi perubahan UU ini dengan peraturan
pelaksananya. Ketujuh, pengelolaan data kependudukan dipusatkan di Kemdagri,
sementara pemprop dan pemkab/pemkot hanya berwenang menyajikan data, itupun
yang sudah dikonsolidasikan dan divalidasi Kemdagri.
Kedelapan, penghapusan
kata “Dinas” pada ketentuan mengenai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) karena
memang tidak semua daerah memiliki Dinas Kependudukan, ada yang dalam bentuk
Badan misalnya. Prioritas pembentukan UPT tidak lagi tergantung daerah tapi diatur
melalui Permen, sehingga pelayanan catatan sipil yang selama ini dilakukan di
tingkat kabupaten/kota akan turun ke tingkat kecamatan melalui pembentukan UPT
Instansi Pelaksana. Unit ini diberi kewenangan menerbitkan akta kelahiran,
kematian, perkawinan dan akta catatan sipil lainnya. Sementara di tingkat kelurahan
dibuka peluang pengangkatan Petugas Registrasi dari luar PNS, sehingga tidak
ada alasan bagi pemkab/pemkot tidak dapat menyediakan Petugas Registrasi di
kelurahan. Petugas inilah ujung tombak pelayanan yang bertugas memproses
pengurusan berbagai dokumen kependudukan di setiap kelurahan.
Total
perubahan UU ini berjumlah 31, namun sebagian adalah perbaikan redaksional,
perubahan frasa negatif ke positif dan konsekuensi dari 8 perubahan di atas.
Sungguh kita harus mengapresiasi Kemdagri atas perubahan progresif ini,
sehingga sekarang kita bisa membayangkan akan dengan lebih mudah mengurus
berbagai dokumen kependudukan, jauh dari pungli dan birokrasi berbelit-belit,
dan pelayanannya dekat dengan rumah. Tantangan selanjutnya bagi Menteri Dalam
Negeri adalah untuk segera menerbitkan 8 Permen terkait perubahan UU ini
setelah disahkan Presiden, sehingga semua konsepsi segera menjadi realitas.
Eddy Setiawan, Peneliti Institut
Kewarganegaraan Indonesia (IKI)