Artinya masih banyak rakyat Indonesia yang tidak tercatat dalam sistem administrasi kependudukan negeri ini, padahal data-data semacam itu sangat menentukan dalam perencanaan pembangunan nasional di berbagai bidang hingga menjadi salah satu alat efektif untuk mencegah korupsi.
Salah satu contohnya adalah tingkat kepemilikan akta kelahiran yang masih sangat rendah di kalangan anak-anak berusia 0-4 tahun, yakni 59% (Susenas, 2011), dan angka tersebut akan menjadi lebih besar apabila ditambah persentase orang dewasa yang tidak memiliki akta kelahiran. Rendahnya tingkat kepemilikan akta kelahiran ini sangat memprihatinkan mengingat Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak, 23 tahun yang lalu.
Pasal 7 konvensi ini, menyatakan bahwa setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya sehingga akan mempunyai hak atas sebuah nama dan kewarganegaraan serta hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya. Indonesia sebagai negara peserta diwajibkan menjamin pelaksanaan hak-hak ini sesuai dengan hukum yang berlaku. Pada tahun 2012 lalu Indonesia bahkan telah meratifikasi protokol opsional dalam Konvensi Hak-Hak Anak, yakni terkait perdagangan anak, prostitusi anak dan pelibatan anak dalam konflik bersenjata.
Konvensi di atas diterjemahkan ke dalam UU HAM 1999, yang menyatakan bahwa setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan, dan diatur lebih rinci dalam UU Perlindungan Anak 2002 yang diantara pasal-pasalnya menyatakan bahwa identitas diri setiap anak yang dituangkan dalam akta kelahiran harus diberikan sejak kelahirannya, dan pembuatan akta kelahiran merupakan tanggung jawab pemerintah dan tidak dikenai biaya.
Secara yuridis, apabila seseorang tidak tercatat kelahirannya berarti keberadaannya tidak diakui oleh negara sehingga hak-haknya pun akan diabaikan. Fakta rendahnya kepemilikan akta kelahiran di Indonesia seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah akan besarnya ancaman perdagangan anak, manipulasi data, dan lain-lain yang berpangkal pada ketidakjelasan identitas diri dan status kewarganegaraannya. Tanpa Akta Kelahiran berarti tanpa nama secara legal, dan tidak memiliki bukti kewarganegaraan yang bermakna tidak ada perlindungan dari negara manapun di muka bumi ini, sehingga rentan menjadi korban kejahatan.
Otonomi Daerah dan Adminduk
Fakta di atas menunjukkan bahwa tertib administrasi kependudukan merupakan kebutuhan dan kewajiban suatu negara dalam rangka memberikan perlindungan kepada warganya. Hal ini juga menjadi spirit lahirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan pada tahun 2006. Namun di era otonomi daerah saat ini, untuk mewujudkan tertib adminduk secara nasional merupakan tantangan tersendiri, karena di dalam UU Otonomi Daerah hanya 6 urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat yaitu Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional dan Agama. Namun Otonomi daerah seharusnya tidak hanya dipahami sebagai bentuk pelimpahan sebagian wewenang pemerinah pusat kepada pemerintah daerah dalam konteks demokratisasi, namun juga terkait dengan optimalisasi pelayanan kepada rakyat. Aksentuasi otonomi daerah secara konseptual sesungguhnya adalah kepada masyarakat lokal, bukan kepada elit-elit lokal. Otonomi daerah memberikan kebebasan lebih besar kepada rakyat di tingkat lokal untuk berpartisipasi terhadap jalannya pemerintahan, dapat menentukan kepala daerah sendiri, dan memiliki akses yang lebih luas dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Namun dalam implementasinya yang terjadi hanya pergeseran kekuasaan kepada elit lokal, sehingga lahirlah perda-perda bermasalah yang dibuat hanya dengan pertimbangan lokalistis sempit tanpa pertimbangan kepentingan nasional bahkan ada yang bias agama.
Dalam menciptakan tertib administrasi kependudukan secara nasional, pemerintah daerah memegang peranan yang sangat vital karena pelayanan administrasi kependudukan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Namun sampai saat ini belum banyak daerah yang memiliki pelayanan publik yang ideal sebagaimana dituntut dalam UU Pelayanan Publik, bahkan daerah istimewa seperti DKI Jakarta sekalipun hingga saat ini belum memiliki payung hukum untuk pelayanan satu atap sebagaimana yang telah diterapkan di Bandung misalnya.
Sungguh terlalu memang, sebuah Ibu Kota Negara gagal menjadi barometer bagi daerah lain, ironisnya justru DPRD DKI Jakarta lah yang terus saja menunda pengesahan berbagai Rancangan Perda yang sesungguhnya dapat mengoptimalkan pelayanan terhadap masyarakat dan meminimalisir korupsi atau bentuk penyalahgunaan wewenang lainnya seperti Pelayanan Terpadu Satu Atap, Tender online dan lain-lain. Padahal Jokowi Ahok sangat mendambakan keseluruhan sistem yang meminimalisir peluang terjadinya korupsi di lingkungan birokrasi Pemprop DKI Jakarta tersebut, dapat segera terealisir.
Seluruh perbaikan dalam pelayanan publik pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, memperbaiki iklim investasi, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks administrasi kependudukan, pelayanan yang baik akan mendorong masyarkat untuk tertib memenuhi dokumen kependudukan dan catatan sipilnya. Oleh karena itu, seluruh elemen kekuasaan seharusnya bersinergi mewujudkan suatu pelayanan publik yang profesional dan meninggalkan praktik-praktik kotor selama ini.
Peraturan perundang-undangan sesungguhnya telah menetapkan suatu standar pelayanan minimal, mengingat demikian beragamnya kondisi tiap-tiap daerah. Namun tanpa target yang jelas, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang mubasir karena inisiatif untuk meningkatkan pelayanan minimal ke pelayanan yang “optimal” sangat tergantung pada niat baik kepala daerah. Sesungguhnya perlu ada pengaturan tentang penetapan target dan mekanisme intervensi pemerintah pusat, apabila pemerintah daerah tidak/gagal memenuhi target yang telah ditetapkan dalam hal pelayanan publik. Sekedar contoh persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang masih bermasalah misalnya, sesungguhnya tidak perlu terjadi seandainya sejak dulu pemerintah daerah diberikan target yang jelas dan terukur untuk mewujudkan tertib administrasi di daerahnya masing-masing. Tertib Adminduk akan memudahkan proses E-KTP yang juga berarti memudahkan penetapan DPT.
Jadi hulunya adalah reformasi birokrasi, karena birokrasi yang ruwet dan penuh pungli adalah tembok penghalang terbesar yang mematikan inisiatif masyarakat mengurus berbagai dokumen pentingnya. Otonomi daerah seharusnya dapat mempercepat proses reformasi birokrasi di daerah yang berimplikasi pada terciptanya tertib administrasi kependudukan di Indonesia. Namun di saat kekuasaan daerah sudah telanjur dibajak oleh para perompak yang hanya memikirkan cara memperkaya diri dan golongannya, maka reformasi birokrasi adalah sesuatu yang merugikan bagi mereka sehingga tidak akan pernah dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Kepala daerah dan DPRD yang tidak memihak pada reformasi birokrasi, tidak berusaha sungguh-sungguh menciptakan pelayanan publik yang profesional adalah mereka yang tidak pantas diberi kepercayaan lagi pada Pemilu 2014, dan Pilkada di daerah masing-masing.
Eddy Setiawan, Peneliti Institut Kewarganegaraan Indonesia